Gempa Beruntun Guncang Nusantara, Jangan Panik

Ilustrasi gempa bumi Iran
Sumber :
  • REUTERS

VIVA.co.id - Empat hari belakangan ini, beberapa wilayah Indonesia diguncang gempa beruntun dengan skala beragam.

Data Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat sejak 25 sampai 28 Juli 2015, gempa melanda berbagai wilayah mulai dari Indonesia Barat sampai Indonesia Timur.

Sabtu subuh 25 Juli 2015, gempa berkekuatan 5,7 Skala Ritcher terjadi di 111 Km Tenggara Ciamis, Jawa Barat. Sehari kemudian, Minggu 26 Juli 2015 pukul 01.00 dinihari, gempa 5,2 SR terjadi di 89 Km Tenggara Sarmi, Papua. Lewat siang hari yang sama, gempa 6,3 SR terjadi di 150 Km barat daya Kabupaten Malang.

Gempa masih berlanjut. Secara beruntun gempa 5 SR terjadi di 115 Km Barat Daya Nias, Sumatera Utara pada 27 Juli 2015 pukul 06.55 WIB. Kemudian Selasa 28 Juli 2015, gempa terjadi di dua tempat yaitu di 75 Km Tenggara Mamberamoraya, Papua (gempa 7,2 SR), dan 78 Km Timur Laut di Kanowe Utara, Sulawesi Tenggara (gempa 5,1 SR).

Gempa beruntun tersebut menurut para pakar gempa hal yang biasa saja. Rangkaian gempa itu hanyalah fenomena bumi yang sudah umum dan normal, sebab profil geologi Indonesia memang ada di zona gempa. Diketahui wilayah Indonesia merupakan wilayah pertemuan antarlempeng.

Gempa yang muncul belakangan memang didahului aktivitas gunung berapi. Sebagaimana diketahui belum lama ini Gunung Raung di Jawa Timur dan Gunung Gamalama di Ternate mengalami erupsi. Maka ada sebagian warga yang menganggap gempa beruntun itu diakibatkan aktivitas vulkanik gunung tersebut.

Menanggapi anggapan itu, pakar gempa Suhardjono membantahnya. Menurut dia, tidak ada kaitan atau hubungan gunung meletus dengan terjadinya gempa.

"Gunung meletus dan gempa itu dipicu hal yang sama, dinamika aktivitas lempeng tektonik.Jadi bukan gempa memicu gunung meletus," kata dia kepada VIVA.co.id, Selasa 28 Juli 2015.

Mantan Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG itu mengatakan, aktivitas lempeng tektonik bisa mempengaruhi aktivitas vulkanik. Gempa menurutnya tak langsung menyebabkan gunung meletus.

Dia mengatakan gempa lebih dipicu pergeseran lempeng tektonik yang ada di bawah kerak bumi. Untuk wilayah Indonesia gempa terjadi karena adanya pergeseran antara lempeng Indo Australia dengan Eurasia.

Dinamika antarlempeng itu, kata dia, memang ada pemicunya yaitu aktivitas dalam perut bumi. Disebutkan pergeseran lempeng itu terjadi karena adanya arus konveksi dalam inti bumi. Arus tersebut muncul karena adanya panas dalam inti bumi.

"Jadi arus itu seperti arus di bawah laut, itu memicu dinamika lempeng di kulit bumi," katanya.

Arus konveksi akan terus ada selama bumi masih berputar. Nah dalam konteks dinamika lempeng di wilayah Indonesia, Suhardjono mengatakan jenisnya ialah subduksi atau bertumbukan.

Dia mengatakan dinamika lempeng di berbagai wilayah dunia beragam. Ada pergeseran lempang jenis bersimpangan, saling meninggalkan atau tumbukan. Jenis dinamika lempeng tumbukan terjadi di Nepal beberapa waktu lalu. Sedangkan untuk jenis saling meninggalkan menjadi karakteristik dinamika lempeng di Pasifik.

Untuk wilayah Indonesia, kata dia, dinamika lempeng yang memicu gempa yaitu jenis subduksi. Tumbukan ini terjadi salah satu lempeng bergerak ke atas, sedang lempeng lainnya bergerak ke bawah. Pergerakan ini menimbulkan tumbukan. Lempeng yang kuat akan mengalahkan lempang yang di bawahnya.

"Kalau di Indonesia itu tumbukan antara lempeng Indo Australia dan Eurasia. Lempeng Indo kalahkan Eurasia karena secara materialnya itu lebih compact, lebih tua," kata dia.

Dikatakan pergerakan lempang adalah fenomena yang biasa dan untuk itu pergerakan lempeng di suatu wilayah, tidak otomatis mempengaruhi pergerakan lempeng di wilayah lain. Karena pergerakan lempeng adalah fenomena alami.

Pergerakan antarlempeng memang mengakibatkan gempa. Namun dinamika lempeng itu akan mengeluarkan keseimbangan energi. Suhardjono mengibaratkan keseimbangan itu dengan tarik tambang. Saat kedua kelompok mengendurkan kekuatan tarikan, maka akan terjadi keseimbangan energi.

"Seperti tarik-tarikan, kalau sudah selesai kan lepaskan, maka kita akan berusaha untuk berdiri lagi. Itu keseimbangan energi," ujarnya.

Membuka mata

Sementara pakar gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Haryadi Permana mengatakan, gempa beruntun yang terjadi belakangan ini menyadarkan dan membuka mata peneliti atas hal yang baru.

Haryadi mengatakan riwayat gempa di Indonesia selama ini intens terjadi di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara. Namun dalam belakangan ini, kata dia, gempa melanda di Jawa Timur, yang selama ini 'luput' dari pantauan peneliti.

"Ini unik. Kita tak terlalu mengamati selepas, Jateng ke arah Timur. Pemahaman kita cukup lama jarang terjadi (di Jawa Timur), yang ada yaitu Jabar, Jateng, Flores NTT dan Papua," kata Haryadi yang menjabat Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI.

Peneliti 'buta' dengan wilayah Jawa Timur juga dikarenakan karakteristik geologi Provinsi paling timur Pulau Jawa itu. Haryadi menyoroti batuan di Pulau Jawa yang tertutup oleh produk gunung api yang mana memiliki profil geologi lebih muda dari patahan. Makanya, kata dia, sesar di wilayah Jawa Timur tertutup dan terhalang oleh gunung api.

Dengan adanya gempa di Malang, kata Haryadi, membuat peneliti sadar.

"Ini sadarkan peneliti untuk fokuskan (penelitian) ke Jatim. Sebab 2-4  tahun lalu sudah terjadi (gempa) di Malang, apalagi terakhir ini cukup sering, dalam seminggu ya," tutur dia kepada VIVA.co.id, Selasa 28 Juli 2015.

Mengakrabi gempa

Fenomena gempa juga penting untuk diketahui dan dipahami oleh masyarakat. Sebab dengan bekal ilmu pengetahuan yang cukup, maka warga akan lebih siap saat gempa tiba-tiba melanda.

Suhardjono mengatakan perlu bagi masyarakat di Indonesia lebih 'akrab' dengan gempa. Dengan demikian, maka masyarakat akan makin tahu dan kemudian 'menikmati' kejadian gempa.

Ia juga menekankan pemahaman kepada masyarakat bahwa sejatinya gempa itu tidak mematikan. Yang membahayakan bagi manusia dan lingkungan adalah infrastruktur bangunan dan gedung yang kerap mengubur warga.

Untuk itu warga perlu terus melatih diri serta mempersiapakan belajar gempa serta memahami peta risiko gempa.

"Itu perlu didorong. Meski BNPB sering push masyarakat tapi kalau mereka pandang nggak penting ya.... Ini pengetahuan masyarakat agar mereka aware. Latihan setiap saat membiasakan diri," kata dia.

Selain itu kearifan lokal juga bisa mendorong bagi warga untuk lebih tanggap dengan gempa.

Misalnya, di Jepang, mayoritas pintu rumah dan gedung di negeri itu tanpa dikunci. Hal ini membuat proses evakuasi bisa cepat, karena warga bisa langsung keluar bangunan. Namun, skema itu tak bisa diterapkan di Indonesia.

"Kalau di sini tanpa dikunci, ada maling," ujar dia.

Menurutnya salah satu kearifan lokal yang bisa diterapkan yaitu pembangunan rumah dengan landasan batu.

Di Jawa Barat pada zaman dulu, kata Suhardjono, setiap rumah panggung di bagian dasarnya diletakkan batu. Ternyata cara itu bisa meredam goncangan saat gempa.

"Saat goncangan, rumahnya bisa ikuti irama goncangan. Benar itu secara teori," kata dia.

Soal kearifan lokal untuk tanggapi gempa, Haryadi mengakui kurang terbangun di Indonesia. Masyarakat perlu lebih belajar dari respons atas bencana dari para leluhur.

Masyarakat saat ini tak dibekali oleh kurikulum bencana sehingga yang sadar adalah masyarakat yang sudah mengalami gempa saja.

"Warga Jogya, mulai anak muda makin peduli apa yang harus dilakukan. Tapi saat gempa berpindah, orang mungkin bisa melupakannya. Beberapa kawasan Pantai Barat Sumatera, Cianjur, Sukabumi sudah familiar. Daerah yang baru lebih intens melalui media pelajaran dari daerah sebelumnya (yang dilanda gempa)" kata dia.

Suhardjono menambahkan agar pengetahuan kearifan lokal bisa makin dipakai, setidaknya perlu disentuh dengan teknologi. Kearifan lokal tentang gempa menurutnya harus menjadi bagian pengembangan teknologi. Meskipun teknologi bukan untuk meramal presisi terjadinya gempa.

"Teknologi memang bukan menjawab ramalan, tapi mempercepat informasi datangnya gempa," kata dia.

Tips sederhana

Guna melatih tanggap saat gempa, warga diminta tak panik. Saat gempa, warga bisa melakukan langkah sederhana tapi penting untuk keselamatan.

Misalnya ketika berada di dalam ruangan saat gempa, jangan berlari ke luar rumah dulu.

"Tapi sembunyi dulu di rumah, jauhi kaca dan lampu bergantung. Tunggu semenit, biasanya gempa kan hitungan menit pendek," kata Haryadi.

Begitu keluar rumah, kata dia, jauhi pohon dan bangunan serta gedung. Usahakan jangan panik saat keluar dari rumah.

"Jangan berhamburan, agar tidak bertabrakan dengan yang lainnya," kata dia.

Pengetahuan sederhana lain juga bisa dilakukan. Suhardjono mengatakan bantal di ruang tamu bisa menjadi 'senjata jitu' saat gempa.

"Kalau goyang (gempa) bantal bisa nutupin kepala. Kalau di kamar mandi, kalau lampu mati harus lari ke mana. Itu hal sederhana," kata dia.

147 Rumah di Dompu Rusak Akibat Gempa
Ilustrasi/Banjir di Aceh

1,7 Juta Orang Indonesia Terdampak Bencana dalam Enam Bulan

Total korban meninggal akibat bencana mencapai 267 orang.

img_title
VIVA.co.id
5 Agustus 2016