Mati Perlahan di Kutukan Asap

Siswa gunakan masker.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

VIVA.co.id - Bencana kabut asap di Sumatera dan Kalimantan semakin mengerikan. Kadar oksigen semakin menipis dan mengancam kehidupan, karena udara sudah bercampur partikel membahayakan dari kebakaran hutan dan lahan.

"Kami karena kabut asap," ujar Tiara dalam jejaring sosialnya, ketika menyampaikan kondisi kabut asap di wilayahnya, Minggu 13 September 2015.

Ahli medis untuk Paru di RSUD Pekanbaru Riau, dr Azizman Saat, tidak menampik ketakutan 'mati perlahan' Tiara dari kutukan kabut asap di wilayahnya. Bahkan, ia pun menyerukan agar ada upaya evakuasi untuk warga di daerahnya.

Mengapa Praktik Bakar Hutan Berulang Lagi?

[Baca Juga: . Ini sangat berbahaya. Pemerintah seharusnya mengungsikan warga Riau," katanya, Senin 14 September 2015.

Peringatan ini memang menakutkan. Sebab, dengan jumlah kadar seperti itu, sangat tidak mungkin dihirup oleh warga di Pekanbaru Riau yang mencapai 1,1 juta jiwa.

Bencana kabut asap di Sumatera dan Kalimantan

Satelit Lapan Deteksi 232 Hotspot Jelang Puncak Kemarau

Terbakar dulu, baru padamkan

Presiden Joko Widodo, Kamis lalu, memerintahkan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo untuk mengirimkan 1.050 personel mereka di Sumatera.

Ribuan tentara ini ditugaskan untuk membantu tim yang telah ada sebelumnya, untuk yang merebak di Sumatera, sekaligus juga untuk membantu menangkap para pelaku pembakaran.

Jelang Puncak Kemarau,Titik Api di Sumatera Meningkat

[Baca Juga: .

Namun miris, hingga kini tetap belum terlihat upaya nyata untuk menanggulangi, atau mencegah bencana ini. Tahun ini saja, pemerintah mengaku sudah menerjunkan 20 unit pesawat untuk ditugaskan melakukan pemboman air.

Setidaknya, sudah juga sudah diguyurkan di Sumatera, bersama lebih dari 176 ton garam demi merangsang agar hujan turun.

Presiden Joko Widodo

Tak diketahui, sampai kapan upaya ini akan terus dipertahankan. Namun, upaya konvensional dan serupa tiap tahun ini selalu diterapkan pemerintah, ketika kabut asap mulai mengamuk.

Lalu, bersamaan dengan itu di kepolisian, secara beruntun mulai diumumkan para . Meski tak dirinci jelas, sejak kapan para pelaku pembakaran ini diincar, namun sudah ditetapkan setidaknya ada 107 orang yang jadi tersangka.

"Sementara, untuk tersangka ada 107 orang. 68 perkara sudah masuk penyidikan dan 21 perkara sudah dinyatakan lengkap," ujar Kepala Bagian penerangan Umum Mabes Polri Kombes Pol Suharsono.

[Baca Juga: ]

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho, menyebut idealnya memang harus ada penanganan permanen terhadap bencana ini.

Langkah itu pun harus dimulai dari penanganan secara fisik hingga ke langkah penegakan hukum. Sehingga, tidak ada kesan bahwa penanganan serupa dengan pola seperti 'Terbakar dulu baru dipadamkan' terjadi lagi.

[Baca Juga: ]

"Kunci utama mengatasi kebakaran hutan dan lahan adalah penegakan hukum. Sudah banyak UU, peraturan, juknis, dan lainnya yang mengatur, namun faktanya tetap dibakar," kata Sutopo.

Ia pun mencontohkan kejadian di Pekanbaru Riau. Di wilayah ini, kebakaran hutan dan lahan sangat berkaitan erat dengan kesengajaan yang dilakukan oleh oknum, atau kelembagaan.

Di mana sudah menjadi kebiasaan bahwa membakar hutan adalah cara paling mudah dan hemat biaya untuk membuka sebuah kawasan. "Buka lahan dengan membakar cukup butuh biaya Rp600 ribu hingga Rp800 ribu. Sedangkan tanpa membakar butuh biaya Rp3,5 juta hingga Rp5 juta per hektarenya," kata Sutopo.

Berapa dampak kerugian asap

Sejauh ini, memang belum ada rincian akumulatif perihal dampak kutukan asap ini pada tahun ini. Namun, diperkirakan jika tahun lalu saja kerugian bencana ini mencapai Rp50 triliun, di tahun ini akan lebih dari itu.

"Dampak kebakaran lahan dan hutan lebih besar dibandingkan jenis bencana lainnya di Indonesia," kata Sutopo.

Kabut asap di Riau yang tampak dari satelit

Meski belum bisa dirinci lengkap, namun dipastikan sebanyak dari bencana ini. "Jumlah itu (25,6 juta) belum mencerminkan berapa kerugian ekonominya. Kami masih mengkalkulasi," kata Sutopo.

[Lihat Juga: (FOTO) Kebakaran Hutan, Jambi Diselimuti Kabut Asap]

Yang jelas, 'kutukan asap' ini memang sudah mengancam kesehatan bagi warga di Sumatera dan Kalimantan. Buruknya kualitas udara yang terjadi setiap tahun sejak 18 tahun silam, sudah mengendap dan berpotensi menjadi ancaman kesehatan.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Prof. Tjandra Yoga Aditama mengakui adanya . Kondisi itu memungkinkan bagi warga yang secara rutin terpapar oleh kabut asap.

"Angka kematian akibat dampak kesehatan asap kebakaran hutan biasanya amat kecil dan relatif, namun bukan berarti harus diabaikan dan disepelekan," ujarnya.

Inikah solusi?

Baru-baru ini, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya mulai mewacanakan untuk merevisi .

Upaya adminstratif lewat kebijakan ini dipercaya akan 'menekan' angka pembakaran hutan di Indonesia. Sebab, lewat UU ini pemerintah mempercayai telah diberikan celah bagi para pelaku pembakar hutan untuk berlindung.

"UU itu perlu direvisi sebagai bagian dari upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan," kata Siti, ahad lalu.

[Baca Juga: ]

Sebagaimana termaktub dalam pasal 69 ayat (2), menurut Siti, memang diperkenankan ada aktivitas pembakaran lahan dengan maksimal luasan dua hektare. Dan, tentunya dengan membuat terlebih dahulu sekat bakar untuk mengantisipasi perluasannya.

"(Namun) Kenyataannya pembakaran kerap tak terkontrol," kata Siti.

Karena itu, direncanakan nantinya dalam revisi itu akan ada skema insentif bagi masyarakat yang tidak membakar lahan. Misalnya, menyediakan pembiayaan tanpa bunga, atau membantu pembukaan lahan secara mekanis. “Insentifnya seperti apa, nanti akan didetailkan,” katanya.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Herman Khaeron menyambut positif perihal rencana tersebut. Ia menekankan, saat ini memang harus ada larangan bagi warga untuk membakar lahan mereka.

". Dengan ini pembakaran lahan dan hutan dapat diminimalisir dan dihilangkan," katanya.

Apa pun itu, kutukan asap harus diakhiri dari Indonesia. Komitmen pemerintah dan masyarakat soal ini harus diperkokoh. Jangan cuma seperti asap yang sebentar kemudian hilang ditiup angin.

Konsistensi Indonesia lewat ratifikasi perjanjian kabut asap, patut diperkuat. Sensitifitas pemerintah yang hingga kini tak kunjung menetapkan bencana kabut asap sebagai bencana nasional juga harus dievaluasi.

[Baca Juga: ]

Sehingga, kutukan ini tidak lagi dianggap sebagai kutukan yang melekat dan tak bisa hilang. "Kami akan berupaya maksimal dalam dua minggu kami bisa mengatasi kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap," janji Kepala BNPB Willem Rampangilei, saat di Riau awal September lalu. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya