Melacak Target Baru Teror ISIS

Tricolore Menara Eiffel untuk Hormati Korban Serangan Paris
Sumber :
  • Reuters/Benoit Tessier
VIVA.co.id - Paris telah diguncang tragedi berdarah tepat pada satu pekan lalu. Pada Jumat, 13 November malam, kota dengan ikon Menara Eiffel itu diterjang teror di empat lokasi berbeda dan menyebabkan 129 orang tewas. 
Gelar Operasi Antiteror, Polisi Kanada Lumpuhkan Tersangka

Kendati peristiwa tersebut sudah sepekan berlalu, namun ancaman akan adanya teror serupa di negara lain, termasuk di Prancis sendiri, belum hilang. Bahkan, usai serangan itu berhasil menimbulkan ketakutan, kelompok Islamic State of Iraq and al Sham (ISIS) yang mengklaim sebagai dalang, kian semangat menyebar teror. Setidaknya empat negara terbukti masuk dalam daftar yang akan disasar ISIS usai Paris. 
Bertemu Menteri Australia, Yasonna Bahas Soal Terorisme

Laman Express, Kamis, 19 November 2015 melansir kelompok pimpinan Abu Bakr al-Baghdadi itu sempat sesumbar melalui akun Twitter, London akan menjadi target teror selanjutnya. Ibukota Inggris itu diketahui juga pernah menjadi target serangan terorisme pada Juli 2005 lalu. Saat itu, sebanyak 52 pengguna kereta bawah tanah tewas dalam serangan bom yang dilakukan oleh kelompok ekstrimis dan terkait Al-Qaeda. 
ISIS Klaim Rampas Senjata Milik Tentara AS

Tetapi, pejabat berwenang di Inggris mengaku telah bekerja tanpa kenal lelah untuk mencegah ISIS melakukan aksi serupa. Pada bulan lalu, Kepala Badan Intelijen Inggris, MI5, Andrew Parker, mengakui petugas keamanan memang tidak yakin mampu menghentikan semua rencana teror di Negeri Ratu Elizabeth II itu. 

Namun, dalam cuitan lainnya, kelompok tersebut turut menyebut adanya dua ibu kota lainnya yang akan mereka serang, yakni Roma dan Washington DC. 

Soal ancaman untuk menyerang Washington DC, bahkan telah disampaikan ISIS melalui pesan video. Stasiun berita Channel News Asia, Selasa, 17 November 2015 melaporkan dalam video yang diunggah ISIS ke dunia maya diberi judul "kampanye perang suci". 


Pria yang bernama Al Ghareeb dan berasal dari Aljazair bertindak sebagai pembawa pesan. 

"Kami mengatakan, negara-negara yang ikut serta dalam kampanye perang suci, maka oleh Tuhan, kalian akan memiliki satu hari, dengan restu Tuhan, seperti yang terjadi di Prancis dan oleh Tuhan, ketika kami menghancurkan Prancis di pusat kota seperti Paris, maka kami bersumpah akan menyerang Amerika di pusat kotanya di Washington DC," kata pria itu. 

Al Ghareeb memperingatkan pemerintah negara barat, termasuk Amerika Serikat, mereka sudah sangat siap untuk melancarkan serangan lain ke sana. 

"Saya katakan negara-negara Eropa, kami datang, datang dengan sejumlah jebakan dan alat peledak. Kami datang dengan ikat pinggang peledak, peredam senapan dan kalian tidak akan sanggup menghentikan kami hari ini, karena kami jauh lebih kuat dibandingkan sebelumnya," kata dia.

Rencana lain yang sudah dieksekusi namun gagal menebar teror yakni di Jerman. Laman Mirror, Kamis, 18 November 2015 melansir kelompok teroris dari sel Afrika Utara berencana menyerang kota Hanover dengan menggunakan senjata penyerang dan rompi bom bunuh diri. Metode tersebut juga digunakan oleh teroris dalam serangan di Paris.

Informasi itu disampaikan oleh pejabat intelijen Prancis kepada mitra mereka, Jerman sebelum serangan terjadi. Berdasarkan bocoran informasi yang diterima Jerman, para teroris kemungkinan akan menyerang stadion sepak bola HDI Arena, di mana akan digelar pertandingan persahabatan antara tim Jerman dan Belanda. 

Harian Jerman, Bild, menyebut para teroris akan menggunakan kendaraan dengan akses resmi untuk masuk ke stadion seperti mobil ambulans, mobil van kru televisi atau kendaraan patroli keamanan, agar bisa menyelundupkan alat peledak. Rencana akhir mereka, bom akan diledakan tepat di tengah pertandingan persahabatan itu. 

Terlebih banyak pejabat tinggi Jerman, termasuk Kanselir Angela Merkel yang telah memastikan diri untuk ikut menonton pertandingan itu. Usai melakukan pemeriksaan, menurut laporan harian lokal, Kreiszeitung, petugas keamanan menemukan mobil ambulans yang telah dipenuhi alat peledak dan diparkir di luar stadion. 

Polisi pun langsung mengambil langkah pencegahan. Mereka langsung mengosongkan stadion HDI Arena yang sanggup menampung 49 ribu penonton. Kendaraan yang seolah-olah menyerupai ambulans dan penuh dengan alat peledak itu pun dibawa menjauhi stadion. 

Peringatan akan adanya teror di Hannover disebarluaskan polisi. Saat proses evakuasi berlangsung, sebuah jalan terpaksa diblokir polisi. 

Pertandingan persahabatan yang semula digelar Kamis malam kemarin akhirnya batal. Polisi lokal meminta kepada para fans untuk secepatnya pulang tanpa merasa panik. Tetapi, mereka meminta agar para fans berjalan kaki pulang ke rumah dan tidak menggunakan kereta. Sebab, jalur utama kereta api ditutup untuk kepentingan penyelidikan. 

Kanselir Merkel yang semula berniat menonton, membatalkan niatnya usai dikabari otoritas berwenang. Kelompok musik, Soehne Mannheims yang semula dijadwalkan mengisi konser usai pertandingan juga diminta meninggalkan stadion. 

Para staf yang membawa makanan diminta untuk meninggalkan mantel mereka dan keluar stadion, sedangkan jurnalis dilarang masuk. Walikota Hannover, Stefan Schostok, mengatakan kepada harian Bild, upaya tersebut diperlukan, sebab keselamatan menjadi prioritas utama mereka. 

Sementara, Menteri Dalam Negeri Jerman, Thomas de Meizere menolak untuk memberikan jawaban soal adanya teror di Hannover. 

"Jawaban dari pertanyaan ini malah akan menimbulkan keresahan di muka publik," kata de Meizere. 

Selain ancaman teror ke tempat umum, para teroris juga kerap menyasar pesawat penumpang sipil sebagai target. Sebelumnya, mereka berhasil melakukan teror serupa ke pesawat Airbus A321 maskapai Metrojet 9268 yang terbang dari Mesir menuju ke St. Petersburg, Rusia. ISIS mengklaim ada sebuah bom yang ditanam di bawah kursi penumpang. 

Alhasil, baru saja mengudara selama 23 menit, pesawat meledak dan menewaskan 224 penumpang. 

Setidaknya ancaman serupa terjadi pada tiga pesawat penumpang. Dua pesawat pertama merupakan maskapai Prancis, Air France, yang terpaksa mendarat darurat Rabu malam kemarin di Salt Lake City, Amerika Serikat dan Halifax, Kanada, karena adanya ancaman bom di pesawat.  Namun, usai kedua pesawat diperiksa oleh otoritas berwenang, tidak ditemukan bom di sana. 

Sehari sesudahnya, ancaman serupa menghampiri pesawat penumpang yang lepas landas dari Warsawa, Polandia. Pesawat tujuan resor Hurghada, Mesir, terpaksa mendarat darurat di kota di tepi Laut Hitam, Burgas, Bulgaria. Tetapi, usai dilakukan pemeriksaan, lagi-lagi ancaman itu hanya pepesan kosong. Namun, di satu sisi berhasil menciptakan kepanikan di diri penumpang. 

Selanjutnya mengapa Eropa?...


Mengapa Eropa?

Adanya serangan ke Paris, bahkan dua kali dalam satu tahun, menimbulkan tanda tanya besar, mengapa harus kota itu lagi yang dijadikan sasaran? Terlebih setelah Paris, kelompok ekstrimis terus menyasar kota-kota lain di Benua Eropa. Laman New York Times, Kamis, 18 November 2015 menyebut salah satu alasan mengapa Eropa menjadi sasaran rentan terorisme karena adanya keterlibatan yang intens dengan Suriah. 

Berdasarkan data yang dikutip NYT dari seorang peneliti di Pusat Kajian Radikalisasi Internasional di King College London, Shiraz Maher, lebih dari 1.000 warga Prancis telah berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS. Sementara, 600 warga Jerman turut mengikuti jejak warga Prancis. Belgia dengan penduduk sekitar 11 juta orang, memiliki 520 pejuang yang sudah berada di Suriah. Sementara, sekitar 750 warga Inggris ikut berjuang di sana. 

Maher memprediksi sebagian dari para pejuang asing itu dilaporkan telah kembali ke negara asal. 

"ISIS telah memobilisasi sukarelawan militer terbesar dalam sejarah akhir-akhir ini," kata Maher. 

Menurut analisanya, ancaman kembalinya pejuang asing ke negara asal, bukan sesuatu yang baru. Hal tersebut sudah terjadi sejak tahun 1980an, namun lalu lintas perjalanan mereka menuju dan dari Suriah lebih tinggi, sebab akses menuju ke Eropa kini lebih mudah. Berdasarkan hasil penelitian akademisi menunjukkan, tidak semua sukarelawan militer yang kembali ke negara asal akan menjadi teroris. Tetapi, 1 dari 10 sukarelawan militer berpotensi menjadi penebar teror. 

Sumber lain bahkan menyebut rasionya satu banding empat. 

Keterlibatan lain di Suriah yakni terkait upaya negara-negara tersebut yang berkoalisi dengan Negeri Abang Sam untuk memberantas ISIS. Prancis menjadi salah satu negara yang ikut terlibat. Harian Telegraph edisi 14 November 2015 melansir total terdapat lebih dari 10 pasukan Prancis yang kini dikerahkan ke luar negeri antara lain di Afrika Barat, Afrika Tengah dan Irak. 

Belum lagi, pada tanggal 7 November lalu, Presiden Prancis, Francois Hollande mengumumkan pemerintahnya akan mengerahkan sebuah pesawat pembawa jet tempur ke Teluk Persia untuk membantu menghancurkan ISIS. Maka, tak heran jika dalam laporan serangan ke Paris, terdengar salah satu pelaku meneriakan kalimat: "ini untuk Suriah". 

Analisa menarik lainnya yang disampaikan Telegraph mengenai Paris yang kerap dijadikan sasaran teror, yakni karena adanya perasaan terisolasi dan aspirasi yang tidak tersampaikan. Sebagai negara yang memiliki populasi Muslim yang besar, hanya sedikit individu dengan latar belakang Muslim yang menduduki posisi penting di bisnis atau politik. 

Alhasil banyak dari kelompok Muslim itu yang terlibat tindak kejahatan dan berakhir di penjara. Celakanya, justru proses radikalisasi narapidana di balik bui tergolong tinggi di Prancis. 

Kakak beradik Cherif Kouachi dan Amedy Coulibaly, yang menyerang kantor redaksi majalah Charlie Hebdo menjadi bukti nyata. Mereka tidak memiliki peluang untuk hidup lebih baik, terjerembab dalam tindak kriminalitas, berakhir di bui dan diradikalisasi. 

Dalam laporan Telegraph sebelumnya, disebut usai peristiwa serangan ke kantor Charlie Hebdo, Prancis kesulitan mengatasi tumbuhnya radikalisasi dari balik penjara. Mereka justru membatasi program de-radikalisasi. 

Hal tersebut juga disampaikan oleh mantan Menteri Kehakiman, Rachida Dati, yang kini menjadi pelapor di bidang radikalisasi, mengatakan Pemerintah Prancis kurang maksimal dalam melawan kaum ekstrimis yang berada di balik jeruji besi.

Alasan lain yang kemungkinan besar menjadi penyebab Eropa disasar kelompok ekstrimis karena adanya celah di perbatasan antar negara. Sementara, kini warga Eropa harus dihadapkan pada realita membanjirnya para pengungsi dari Timur Tengah, khususnya Suriah. 

Bukan tidak mungkin anggota kelompok ekstrimis menyusup dan berpura-pura menjadi pengungsi lalu ikut menyeberang ke Eropa. Dugaan itu seolah menjadi kenyataan ketika di dekat jasad pembom bunuh diri ditemukan paspor Suriah palsu. 

Belum lagi adanya laporan yang dikutip laman Express pada Kamis kemarin dan menyebut otoritas Turki baru saja menangkap delapan orang di bandara utama Ataturk, Istanbul. Menurut sumber di kepolisian, otoritas berwenang menangkap kedelapan orang itu, karena ditemukan peta yang digambar dengan tangan bagaimana rute untuk mencapai ke Jerman dari Turki.

Di peta itu tergambar lengkap detail bagaimana mereka harus menumpang perahu untuk menyelundupkan diri sendiri ke Pulau Kos, Yunani lalu menggunakan kereta dan bus untuk menuju ke Eropa. Menurut kantor berita Anadolu, kelompok itu berasal dari Kasablanka, Maroko. 

Kepada polisi, mereka mengaku sebagai turis yang tengah berkunjung ke Turki. Tetapi, hotel yang dijadikan rujukan mereka menginap membantah delapan pria itu telah melakukan pemesanan di sana. Khawatir delapan orang itu bagian dari kelompok ISIS yang menyamar, maka polisi menangkap mereka.

Selanjutnya cegah masuk teroris...


Cegah Masuk Teroris

Badan Intelijen Prancis, DSGE, kini sedang dituding oleh berbagai pihak telah gagal melakukan pencegahan. Bahkan, mereka seolah tidak belajar dari kejadian penyerangan ke kantor redaksi Charlie Hebdo pada bulan Januari lalu. 

Beberapa tersangka yang sebelumnya sudah masuk ke dalam pantauan mereka justru dibiarkan melengang bebas. Terlebih beberapa negara mitra sudah memberikan bocoran informasi mengenai beberapa individu, namun justru tidak direspons Prancis.


Menurut analis keamanan Prancis untuk organisasi IHS di London, Kit Nicholl, Prancis kekurangan sumber untuk menganilisa dan menilai individu yang berpotensi membawa potensi terorisme. 

Tak mau kebobolan lagi, perwakilan negara-negara Uni Eropa pada hari Jumat ini akan menggelar pertemuan darurat membahas rencana pengetatan pemeriksaan di titik perbatasan eksternal bagi pemegang paspor visa Schengen. Pemeriksaan itu juga berlaku bagi warga negara yang masuk ke dalam blok Schengen. 

Ide itu disampaikan oleh Pemerintah Prancis untuk mencegah tragedi berdarah kembali berulang. Dalam dokumen rancangan kesimpulan setebal enam halaman dan berhasil dilihat Reuters, para Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keadilan dari 26 negara akan menyepakati mengenai sistem pengetatan pengamanan yang segera diberlakukan. 

Bahkan, di dalam dokumen itu, UE berhak untuk melacak mata uang dan pembayaran tanpa identitas yang dilakukan melalui online. Selain itu, ke-26 negara sepakat untuk berbagi informasi intelijen, memperketat aturan mengenai kepemilikan senjata dan menghadapi para pejuang asing yang kembali ke negara asal. 

Poin penting yang kemungkinan akan disepakati yakni mengenai perkembangan saling berbagi data pelancong yang tengah berada di masing-masing negara. Dulu, aturan itu ditentang keras oleh para pemangku kepentingan UE dengan alasan melanggar privasi masing-masing individu. Tetapi, demi menjaga keamanan, aturan itu kemungkinan akan dicabut. 

Kendati para Menteri 26 negara semangat memberlakukan aturan baru mengenai keamanan, ekspresi dingin justru terlihat dari kepala pasukan polisi UE, Rob Wainwright. Menurut dia, aturan itu tetap tidak akan menjamin keamanan penuh bagi warga UE. 

"Sangat masuk akal jika kita berasumsi, serangan lebih jauh kemungkinan tetap bisa terjadi," kata Wainwright dalam sidang dengar Parlemen Eropa di Brussel hari Kamis kemarin. 
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya