Ojek Online, Sayang untuk Dilarang

Gojek.
Sumber :
  • kaskus

VIVA.co.id - Setahun ini, pelayanan transportasi berbasis aplikasi dalam jaringan (daring), seperti Gojek, GrabBike, Uber dan lainnya telah menjadi alternatif transportasi bagi masyarakat perkotaan di tengah kemacetan dan minimnya transportasi umum yang layak.

Mengenal Penyuntik Dana Gojek

Sayangnya, sejak pertama kali hadir di Indonesia, aplikasi pemesanan kendaraan transportasi online ini sudah mendapat tentangan dari pemerintah dan perusahaan-perusahaan taksi terkait legalitas dan keamanan.   

Hingga akhirnya, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan mengeluarkan surat pemberitahuan pelarangan beroperasi pelayanan pemesanan transportasi berbasis online tersebut, pada Kamis malam 17 Desember 2015. Surat tersebut ditandangani langsung oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, tertanggal 9 November 2015. 
Bikin Kompetisi Video, Gojek Tawarkan Hadiah Rp250 Juta

Pelarangan itu menyebutkan layanan transportasi daring menyalahi aturan karena tidak termasuk dalam klasifikasi angkutan umum, seperti diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 
Ada Gojek Ditabrak Sopir Taksi Hingga Tewas?

Dalam keterangannya, Kemenhub menyebutkan ojek sudah menyalahi peruntukkannya, karena tidak hanya menyediakan jasa transportasi antar orang, namun juga pengiriman paket, dan pemesanan makanan. Kemudian, kemudahan pemesanan dan murahnya tarif pada masa promo sekitar 35 persen dari angkutan umum bisa menimbulkan gesekan dengan moda transportasi lain.

Disebutkan pula, banyaknya masalah yang timbul sesama ojek, Gojek, Grabbike dengan moda transportasi lain yang menyangkut masalah kesenjangan pendapatan, keamanan dan keselamatan masyarakat berlalu lintas. Dengan terkoordinirnya Gojek atau Grabbike menyalahi aturan lalu lintas dalam pemanfaatan sepeda motor dan kendaraan pribadi yang dijadikan alat transportasi angkutan umum. 

Bahkan Menteri Perhubungan sudah menyurati Kepala Kepolisian RI Jenderal Polisi Badrodin Haiti untuk menindak layanan-layanan transportasi berbasis daring tersebut. 

Kebijakan Kemenhub tersebut sontak memicu kritikan keras dari masyarakat yang telah menikmati pelayanan transportasi berbasis daring. Masyarakat menggunakan tagar #SaveGojek sebagai bentuk penolakan terhadap keputusan Jonan tersebut. 

Gojek dibutuhkan masyarakat

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun turut tangan meminta Menteri Perhubungan tidak melarang aplikasi ojek. Jokowi bahkan akan memanggil menteri Jonan terkait hal itu. Diutarakannya, Gojek dan sejenisnya hadir karena memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

"Ojek itu hadir karena kebutuhan di masyarakat. Gojek itu hadir juga karena kebutuhan masyarakat," kata Jokowi, di Istana Bogor, Jumat, 18 Desember 2015.

Sebelumnya, Jokowi mengeluarkan kicauan di akun Twitter-nya. "Saya segera panggil Menhub. Ojek dibutuhkan rakyat. 

Jangan karena aturan rakyat jadi susah. Harusnya ditata -Jkw," kata Jokowi.

Kurang dari 24 jam sejak aturan itu dikeluarkan, Menteri Perhubungan Ignatius Jonan pun akhirnya mencabut surat edaran pelarangan ojek online setelah menuai protes keras dari masyarakat.

Meski begitu Jonan, tetap menegaskan bahwa berdasarkan UU 22 Tahun 2009, kendaraan roda dua tidak dimaksudkan untuk angkutan publik. Namun, realitas di masyarakat menunjukkan ada kesenjangan yang lebar antara kebutuhan transportasi publik dan kemampuan menyediakan angkutan publik yang layak serta memadai.

"Kesenjangan itulah yang selama ini diisi oleh ojek, dan beberapa waktu terakhir oleh layanan transportasi berbasis aplikasi seperti Gojek dan lainnya. Atas dasar itu, ojek dan transportasi umum berbasis aplikasi dipersilakan tetap beroperasi sebagai solusi sampai transportasi publik dapat terpenuhi dengan layak," ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat 18 Desember 2015.

Merespon protes masyarakat, Jonan mengusulkan agar dilakukan revisi UU No 22 Tahun 2009. "Maka itu, ayo kita ubah UU 2009 ini. Saran saya, kalau ini (ojek online) sebagai solusi sementara, sampai transportasi publik bisa menjangkau kebutuhan masyarakat layak," kata Jonan.

Kicau Jokowi juga direspons oleh pendiri sekaligus pendiri Gojek, Nadiem Makarim dalam akun Twitternya.   

"Terima kasih Presiden @Jokowi atas dukungan Bapak @jokowi yang telah melindungi ekonomi kerakyatan sebagai fondasi kekuatan bangsa Indonesia. Majulah Indonesia," tulis Nadiem dalam akun Twitter, Jumat, 18 Desember 2015.

Apabila Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan benar-benar dijalankan, Kemenhub tidak hanya mematikan ekonomi kerakyatan, tetapi juga kehidupan ratusan ribu pengemudi ojek online. 

Nadiem mengklaim Gojek memiliki jumlah sekitar 200 ribu pengemudi dan pengguna aplikasi Gojek mencapai delapan juta pengguna di seluruh Indonesia. Gojek sendiri sudah beroperasi di Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Bali dan Makassar. 

Fasilitas transportasi masih buruk

Sejak berdiri sejak 2011 dan semakin populer pada tahun 2015, Gojek sudah menjadi alternatif transportasi  masyarakat perkotaan untuk beraktivitas di tengah kemacetan jalan raya, dan fasilitas kendaraan umum yang buruk.  

"Ya heran sih, kenapa Pak Menteri Jonan kok baru sekarang melarangnya. Yang legal dan terdaftar aja masih ribet, semrawut. Kayak metromini, legal, terdaftar tapi bermasalah," kata seorang warga, Yerico (23), Jumat, 18 Desember 2015.

Sebagai pengguna jasa ojek online, Yerico mengakui keberadaan Gojek dan sejenisnya sangat membantu orang banyak. Terutama warga Jakarta yang terkungkung kemacetan lalu lintas.

Ojek online juga bisa mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. "Dia juga ngebuka lapangan kerja baru yang besar loh," ujar Yerico. 

Sementara itu, salah seorang pengguna ojek aplikasi online lainnya, Rizki (30), juga mengkritik kebijakan Menteri Jonan. Rizki menilai larangan Gojek beroperasi sangat disesalkan. Sebab, pemerintah sendiri belum memberikan alternatif lain transportasi publik yang layak dan nyaman.

"Suruh menterinya naik angkot, naik metromini ke kantor, gimana rasanya? Sopir ugal-ugalan, angkot bobrok," kata Rizki yang kerap menggunakan Gojek di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan ini.

Rizki meminta pemerintah bijak dalam mengambil kebijakan untuk kepentingan rakyat. Jangan hanya terpaku pada aturan baku soal transportasi yang belum banyak memberikan solusi atasi kemacetan.

Penataan kendaraan motor

Aplikasi pemesanan kendaraan umum berbentuk online sebenarnya bukan hal baru di dunia transportasi internasional. 

Uber, yang merupakan aplikasi pemesanan mobil kendaraan pribadi menyerupai taksi, sudah ada sejak 2009. Aplikasi yang berasal dari Amerika Serikat ini sudah melayani pengguna kendaraan umum di 58 negara dan 3.000 kota di seluruh dunia, termasuk Indonesia. 

Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi, menilai pemerintah melakukan kesalahan dalam menyikapi kemajuan zaman. Disampaikannya, pemerintah seharusnya mengatur aplikasi-aplikasi transportasi ini agar lebih nyaman, bukan pelarangan.

"Pemerintah itu seharusnya mengaturnya agar aman dan nyaman, bukan pelarangan. Karena, memang biasa, teknologi itu suka lebih cepat dari regulasi," ujar Heru saat dihubungi VIVA.co.id, Jumat, 18 Desember 2015.

Ia melanjutkan, apabila dilarang juga, apakah pemerintah telah menyediakan transportasi umum yang dapat memberikan kenyamanan serta menjangkau masyarakat yang rumahnya jauh dari jalan raya.

"Sementara ini, transportasi umum seperti TransJakarta belum memadai sampai ke kampung-kampung atau perumahan. Konsep TransJakarta belum menyeluruh. Jadi, sebelum ada pelarangan, pemerintah harus ada pertimbangan. Ada tidak transportasi yang menyediakan layanan hingga kampung-kampung atau mana pun?" tutur dia.

Mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) ini juga mencontohkan, kalau di luar negeri, masyarakatnya dimanjakan oleh sistem pelayanan transportasi. Sebab, setiap 100 meter, selalu ada kendaraan yang siap mengantarkan warganya itu.

"Sistem transportasi di kita itu belum lengkap, beda dengan di luar negeri. Setiap jalan 100-200 meter ada transportasi yang siap melayani," ucap dia.

Sementara, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok, tidak mempermasalahkan adanya Gojek, GrabTaxi/Grabbike, Uber, dan lainnya. 

"Saya sebagai gubernur tentu harus taat kepada Menteri Perhubungan, tetapi bagi saya, perusahaan kayak GrabCar, Uber, dan lainnya itu kan dia tidak terlarang. Dia terdaftar sebagai izin usahanya sebagai perusahaan aplikasi, bebas saja," ujar Ahok di Musem Fatahillah, Jakarta, Jum'at 18 Desember 2015.

Menurutnya, yang sebenarnya menjadi permasalahan adalah kendaraan yang dipakai. Khusus untuk roda empat, setiap armada wajib tes uji kelaikan (KIR) dan membayar pajak.  

Ahok menyatakan keberadaan Gojek tidak bisa diberantas seperti halnya ojek konvensional. Keberadaan keduanya membantu mobilitas masyarakat. Asalkan tidak melanggar aturan lalu lintas, Ahok tidak akan menindak Gojek maupun ojek konvensional.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya