Gafatar, Stigma Sesat Berakibat Dahsyat

Sumber :
  • ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang

VIVA.co.id - Aksi main hakim sendiri dipertontonkan massa, saat membakar kampung eks Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Desa Moton, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat.

Definisi 'Makar' Tidak Jelas, Pemerintah Salah Kaprah

Buntutnya, 1.119 jiwa kehilangan harta benda. Pembakaran ini menyebabkan ketakutan, khususnya bagi perempuan dan anak-anak eks Gafatar.

Mereka kini menjadi muhajir (orang yang berhijarah), sebelum dipulangkan ke daerah masing-masing. Pembakaran ini bentuk kemarahan warga yang merasa layak menjadi pengadil bagi sesamanya.

Hidayat Nurwahid: Islam Larang Perusakan Rumah Ibadah

Hal itu, tak lepas dari stigma sesat yang selama ini dilekatkan terhadap anggota Gafatar. Bahkan, saat mereka mengaku sudah tak lagi menjadi anggota organisasi itu. 

Selasa 19 Januari 2016, sekitar pukul 15.20 WIB, ratusan warga menyerbu permukiman eks anggota Gafatar. Api, kemudian menyenggau rumah-rumah kayu yang dibangun dua bulan terakhir.

Sebenarnya, kampung tersebut sudah dijaga aparat dari Kepolisian dan TNI.  Namun, rasio aparat dan massa yang tak sebanding, menyebabkan warga berani membakar habis hunian semi permanen tersebut.

Aksi ini dipertunjukkan jelas di depan aparat dan otoritas setempat. Bahkan, Bupati Mempawah, Ria Norsan yang datang ke lokasi mengaku kewalahan. Hingga pukul 18.00 WIB, suasana di Desa Moton masih mencekam hingga kemudian lebih dari seribu orang korban diangkut ke Bekangdam XII, Tanjung Pura, Pontianak, Kalbar.
 
Pembakaran itu memang tak memakan korban jiwa. Namun, harta benda eks Gafatar tutung terbakar. Terhitung, ratusan juta rupiah hangus sudah. Sementara itu, rasa panik dan kimput akibat diamuk massa menyisakan trauma bagi para korban.

Kasus Gafatar, Polisi Sudah Periksa 50 Saksi

Ekwan Sumarsono, salah seorang eks Gafatar asal Jawa Timur, mengatakan selama ini hidup dengan berladang di Mempawah. Demikian juga. dengan eks Gafatar lainnya. Namun, kini mereka tak lagi punya apa-apa.

"Tinggal baju saja yang ada di badan ini, kemarin kehujanan, sekarang sudah kering," kata Ekwan, yang kini berada di lokasi pengungsian Bekangdam XII Pontianak, Rabu 20 Januari 2016.

Para eks Gafatar yang berada di Bekangdam XII Pontianak, saat ini tengah menunggu giliran diangkut kembali ke daerah asal. Menurut Bupati Ria Norsan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan pihak Kemenko Polhukam.

Para muhajir akan dibawa pulang dengan kapal KRI Teluk Bone dan KRI Gilimanuk  milik Angkatan Laut. Bupati itu mengatakan, amuk massa terjadi akibat kegeraman terhadap Gafatar yang selama ini dikaitkan dengan laporan sejumlah orang hilang. Lebih lagi, Komunitas Gafatar dituding tertutup, hidup secara eksklusif.

"Ini mereka tertutup. Suku apapun datang ke Mempawah, silakan, asal sesuai prosedur," kata Ria.

Lain pula yang disayangkan Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis, yang tak mau sepenuhnya menyalahkan aksi massa. Menurutnya, para eks Gafatar memang sudah diperingatkan.

Menurutnya, mereka masuk ibarat mengendap-endap ke wilayah itu. Anehnya, sang gubernur justru melempar kesalahan ke jajaran pemda, yang menurutnya, tak memantau kehadiran orang-orang baru di daerahnya. Padahal, pemberitaan mengait orang hilang sudah santer terdengar. Pengawasan, kata dia, tak dijalankan dengan seharusnya.

"Kami sudah ingatkan ke pemda, supaya orang datang dan pergi diketahui. Kalau ada orang hilang di Jakarta, kami bisa tahu. Ini, termasuk lalai mengecek hal seperti itu," kata Cornelis, saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu 20 Januari 2016.

Aksi pengusiran terhadap kelompok Gafatar bukan kali ini saja terjadi. Pada Desember 2014, kelompok Gafatar dilarang warga Desa Toto Selatan, Gorontalo melakukan kegiatan. Gafatar dituduh sesat dan kegiatannya dibubarkan.

Sementara itu, pada Januari 2015, warga Lamgapang, Aceh, mengusir ormas Gafatar, karena dianggap memiliki akidah yang tidak sesuai dengan Islam. Lainnya, pada Maret 2015, pemerintah Kabupaten Bitung, Indramayu, Jawa Barat mengusir empat orang pemimpin Organisasi Gafatar dari daerahnya. Pemkab Bitung mengincitkan anggota Gafatar, dengan tudingan menyebarkan ajaran sesat. 

Pangkal keresahan masyarakat terhadap Gafatar bisa dirunut sejak awal 2016. Hilangnya dokter Rica Tri Handayani asal Lampung di Yogyakarta menjadi awal jejak Kepolisian menelusuri kasus tersebut.

Rica yang hilang sejak beberapa bulan lalu, diketahui  berada di Kalibar dan terafiliasi dengan Gafatar. Kasus ini sempat heboh di dunia maya. Tak lama, memicu banyaknya laporan orang dan keluarga hilang yang diidentifikasi memang terkait dengan Gafatar.
 
Organisasi ini didirikan di Jakarta, dan berkembang di sejumlah daerah di Jawa. Sebagai ormas, Gafatar mendeklarasikan diri pada 21 Maret 2011, dengan Ketua Mahful T. Tumanurung. 

Dirunut lebih jauh, organisasi ini disebut sebagai sempalan Negara Islam Indonesia (NII), yang kemudian pecah akibat perbedaan pendapat di antara elitenya.

Gafatar juga disebut-sebut sebagai Komunitas Millah Abraham, yang merupakan aliran Al Qiyadah Al Islamiyah pimpinan Ahmad Musadeq, yang pernah mengaku sebagai nabi. Perbedaan tafsir dalam hal salat, puasa dan zakat membuat Gafatar, kemudian dicap sesat, salah satunya oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh pada 21 Januari 2015.

Namun, cap sesat ini yang akhirnya dianggap sebagai salah satu pemicu tindakan kekerasan terhadap eks Gafatar, walaupun sebagian besar mengaku dan menyebut dirinya  tak lagi dinaungi Gafatar, seperti eks Gafatar di Moton, Mempawah tersebut.


 
Setara Institute menyatakan, aksi kekerasan dan tindakan main hakim sendiri oleh khalayak, tak lepas dari stigma sesat yang dilekatkan ke Gafatar melalui pernyataan publik selama ini.

Padahal, kepastian sesat itu masih belum dikonfirmasi oleh pemerintah dan MUI secara terpusat. Selain itu, dalam hak dasarnya, seluruh warga negara seharusnya mendapatkan perlindungan yang sama untuk hidup dan mendapatkan perlindungan hukum. Sayangnya, hal tersebut gagal dilakukan pemerintah dan aparat keamanan di Mempawah.

“Penyesatan tanpa proses pemeriksaan yang fair dan akuntabel yang dilakukan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan diafirmasi oleh aparat negara telah memicu kemarahan publik pada kelompok Gafatar,” kata Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi.

Sementara itu, Ketua Badan Pekerja KontraS Haris Azhar mengatakan kekerasan dengan mengatasnamakan apapun tidak boleh dilakukan. Kejadian main hakim sendiri oleh warga, menurut Haris, seharusnya bisa dibendung oleh tokoh agama dan masyarakat setempat.

Hal kejahatan, menurutnya, harus ditindak, namun didasarkan pada kejahatan itu, bukan karena identitasnya.

“Patut disayangkan, jika tindakan main hakim sendiri sampai terjadi. Apalagi, berbasis pada identitas keanggotaan organisasi seperti Gafatar,” kata Haris ketika dihubungi VIVA.co.id.

Hal ihwal perihal Gafatar sebagai ormas tidak terdaftar maupun ormas sesat, nyatanya memang tak memiliki versi tunggal. Gafatar, menurut Kementerian Dalam Negeri tidak bisa dibubarkan. Sebab, tidak terdaftar di kementerian tersebut.

Namun, beberapa daerah memang sempat memberikan izin operasional kegiatan Gafatar, meskipun belakangan izin itu banyak yang ditarik. Atas dasar tidak terdaftar itu, Kemendagri tidak bisa membubarkan organisasi ini. Namun, Gafatar bisa dilarang secara resmi melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) oleh menteri dalam negeri, jaksa agung dan menteri agama.

Kejadian pembakaran di Mempawah itu juga direspons oleh Istana Kepresidenan. Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung mengecam tindakan brutal massa yang meneror eks Gafatar yang sebenarnya tinggal menunggu waktu meninggalkan Mempawah. Pemerintah dijanjikan Pramono akan memenuhi hak-hak warga negara sebagaimana seharusnya.

“Bahwa kita boleh berbeda, tetapi tidak boleh melakukan tindak kekerasan terhadap siapa pun,” kata Pramono Anung di Kompleks Istana Negara, Rabu 20 Januari 2016.

Lebih jauh, menurutnya, aksi ini tak bisa dibiarkan. Agar tak menjadi preseden buruk, Istana meminta penegak hukum melacak dalang aksi pembakaran. Mereka harus diberikan efek jera. 

“Pemerintah akan tetap melihat, mempelajari dan mencari siapa dalang dari hal tersebut,” tuturnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya