Melirik Potensi dari Redupnya Surga Belanja Singapura

Suasana mal di Singapura yang kosong dan sepi pengunjung.
Sumber :
  • Reuters/Edgar Su

VIVA.co.id – Pamor Singapura yang selama ini terkenal sebagai "surga" belanja dunia, tampaknya mulai memudar. Pertokoan di sejumlah mal di Singapura, kini bertambah sepi dan ditinggalkan pengunjungnya.

Brand Lokal Bisa Besarkan Pasar Ritel Nasional, Asal...

Dikutip dari Reuters, penjualan pakaian dan sepatu di Singapura, turun 3,5 persen tahun-ke-tahun pada Maret dan 14,6 persen pada Februari. Merek pakaian Inggris New Look dan Celio Prancis pun berencana untuk menutup cabang di Singapura tahun ini.

Menurunnya animo belanja publik terlihat di pertokoan-pertokaan Singapura yang sepi pengunjung. Pemandangan lainnya di sepanjang jalan. Akibat pengunjung yang sangat sedikit, kasir toko justru sibuk bermain games di ponsel mereka.

Potensi Bisnis Ritel Cerah di Negara-negara Ini

Di daerah pinggiran kota di sisi barat dari Singapura, lebih dari dua per tiga pusat perbelanjaan bawah tanah yang telah dibuka selama hampir dua tahun juga tetap kosong.

Reputasi Singapura sebagai "surga belanja", di mana investor menggelontorkan dana sebesar US$7,25 miliar dalam lima tahun terakhir, mengalami pukulan perekonomian, karena melemahnya perekonomian lokal dan penurunan belanja turis.

Singapura, Surga Belanja yang Tak Lagi Diminati

Penurunan turis di Singapura, terjadi karena banyak faktor. China, salah satu negara penyumbang turis ke Singapura, yang beberapa waktu lalu mengalami perlambatan ekonomi dan saat ini tengah berjuang memberantas korupsi, telah membangun banyak pusat perbelanjaan mewah dan bahkan mendirikan "surga bebas pajak" di sebuah spot wisata lokal.

China melakukan itu untuk mengangkat konsumsi dan memacu pariwisata domestik. Kondisi itu dinilai berhasil, karena akhirnya banyak warga China yang memilih belanja di negaranya sendiri.

Meredupnya pamor Singapura sebagai "surga" belanja menyebabkan pergeseran pasar ritel di kawasan Asia Tenggara. Indonesia, Thailand, dan Malaysia semakin kompetitif dalam menarik minat investasi dan belanja masyarakat lokal maupun wisatawan.

Indonesia, Thailand, dan Malaysia memiliki beberapa produk lokal terbaik dengan versi yang lebih terjangkau. Misalnya saja, sebuah tas mewah yang dibuat oleh Coach, harganya bisa lebih murah dibandingkan di Singapura.

Di Bangkok dan Jakarta, ruang ritel telah meningkat 20-25 persen dalam lima tahun. Data tersebut, merujuk data  dari perusahaan real estate CBRE, diindikasikan dengan berkurangnya ruang kosong.
 
Berikutnya, perkuat kualitas produk nasional...

Perkuat kualitas produk nasional

Penjualan produk ritel bermerek di Singapura, yang selama ini dikenal sebagai surganya tempat belanja di kawasan Asia, sedikit banyak dipengaruhi oleh berubahnya pola belanja masyarakat Indonesia, khususnya kalangan menengah ke atas.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eny Sri Hartati mengungkapkan, penurunan tersebut terlihat dari berkurangnnya wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Singapura.

"Kalau mereka (kalangan menengah ke atas) mengurangi wisata belanja ke Singapura, otomatis ada alternatif dari perilaku belanja mereka itu," kata Eny kepada VIVA.co.id, Rabu, 8 Juni 2016.

Adanya perubahan perilaku belanja dari masyarakat menengah ke atas memberikan dampak positif terhadap peningkatan penjualan ritel kalangan menengah ke atas di Indonesia.

Dia mengatakan, untuk memiliki pasar ritel yang besar, Pemerintah Indonesia dan segenap pengusaha perlu memperhatikan basis produksi dalam negeri, dan memberikan kesadaran masyarakat terhadap produk berkualitas dalam negeri, agar aktivitas ekonomi berlangsung efisien.

Sejalan dengan itu, pemerintah juga harus dapat mendorong penciptaan produk-produk dalam negeri yang berkualitas internasional, kemudian memfasilitasi produsen dengan memberikan kemudahan-kemudahan kepengurusan merek dagang.

"Misalnya Indonesia, mulai menggarap produk-produk yang memiliki nilai kompetitif dan tidak harus bergantung dengan brand luar. Artinya, Indonesia memiliki basis produksi yang dapat juga menunjang pembesaran pasar ritel dalam negeri," ungkapnya.

Eni mengungkapkan, salah satu barang produksi Indonesia dipasarkan di pasar ritel Singapura dengan merek dagang Singapura. Umumnya, orang mengetahui produk tersebut adalah hasil produksi dalam negeri Singapura.

Padahal, menurutnya, Singapura tidak memiliki basis produksi dalam negeri. Sehingga, Singapura bergantung pada pasokan produksi negara lain untuk mengisi pasar ritel dalam negerinya.

"Artinya, sebenarnya yang punya kemampuan produksi kan Indonesia. Cuma, Singapura kan menang di jasa, di merek dagang. Merek-merek dagang kan dikeluarkannya di Singapura," ucapnya.

Karena itu, menurutnya, pengusaha di Indonesia harus bisa keluar dari ketergantungan brand-brand luar. Dia menekankan, para pengusaha harus percaya diri kalau produk-produknya layak berkompetisi baik di dalam maupun luar negeri.

"Jadi, ini dua sisi. Kalau pemerintah misalnya memberikan kemudahan, misalnya dengan memberikan (dana) intensif kepada pengusaha lokal. Kemudian, brand-brand asing diberi hambatan-hambatan, seperti non tariff barrier, pajak tinggi. Sedangkan yang brand lokal, tarif pajaknya dikurangi," sebutnya.

Jika begitu, menurutnya, ritel-ritel di Indonesia, terutama ritel modern, seperti swalayan, tidak bergantung dengan pasokan dan brand asing, melainkan brand-brand lokal.

Berikutnya, Indonesia dilirik investor ...

Indonesia dilirik investor  

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia, Roy Nicolas Mandey menyebut, Singapura yang bukan lagi surga belanja membuat investor juga mencari negara investasi lain yang potensial. Kondisi perekonomian Singapura yang cenderung stagnan, tidak dapat menahan hantaman dari goyangnya perekonomian global.

"Kalau di Singapura kan sudah stagnan. Pasarnya dengan segmen menengah atas sudah tidak dilirik lagi. Lebih banyak konsumen yang tidak loyal," kata dia saat dihubungi oleh VIVA.co.id di Jakarta, Selasa 7 Juni 2016.

Menurutnya, tren pasar di Indonesia justru berbanding terbalik dengan Singapura. Pasar Tanah Air dibidik oleh para investor untuk menanamkan modalnya, karena mereka percaya para kondisi perekonomian domestik yang masih dapat tumbuh meski melambat.

"Trennya di Indonesia justru terbalik. Di kita, jadi dilirik sama asing. Asing, jadi pada masuk. Ada beberapa pemain dari Jepang, sekaligus dari Turki akan masuk. Jadi, artinya pasar Indonesia cukup menjanjikan dengan tingkat kondisi ekonomi yang masih tumbuh," tuturnya.

Roy mengungkapkan, beberapa indikator yang menjadi landasan asing melirik pasar Indonesia di antaranya, kepercayaan pada ekonomi nasional yang bagus dengan menepati rangking ketiga setelah Tiongkok dan India. Kemudian, konsumsi dan daya beli dan konsumsi masyarakat Indonesia saat ini sudah lebih baik. Serta, tingkat produk domestik bruto Indonesia hampir US$4.000 per kepala.

Ditambah, lanjutnya, paket kebijakan ekonomi pemerintah diapresiasi positif oleh para investor, baik investor domestik maupun asing, menyangkut kemudahan investasi.

"Pemerintah lagi fokus deregulasi. Paket untuk investor dan pengusaha lebih mendorong daya saing. Beberapa faktor itu yang jadi Indonesia dilirik investor," ujarnya.

Potensi pasar yang besar di Indonesia dengan jumlah penduduk mencapai 240 juta menjadi daya tarik tersendiri para investor untuk membuka shopping center (pusat perbelanjaan/mal) di Indonesia.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyatakan, salah satu perusahaan asal Jepang, bahkan sudah berniat membangun tiga shopping center di Indonesia dalam waktu dua tahun ke depan. Diperkirakan, nilainya mencapai Rp900 miliar. Saat ini, perusahaan tersebut sedang dalam tahap research (penelitian) untuk lokasi proyek di wilayah Jabodetabek.

”Investor menargetkan proyek ini dapat selesai dalam dua tahun ke depan. Untuk itu, kami bantu terus, agar nilai investasinya bisa segera masuk,” kata Kepala BKPM, Franky Sibarani, dalam keterangannya, Selasa 7 Juni 2016.

Selain di Indonesia, perusahaan itu saat ini sudah memiliki cabang usaha di Kamboja. Indonesia tetap menjadi daya tarik bagi investor, karena potensi pasar yang begitu luas dan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN.

”Mereka sudah ada mitra lokal yang berpengalaman di bidangnya, tinggal tunggu lokasi yang tepat saja. Untuk rencana jangka panjang, jika ketiga shopping center di Jabodetabek ini sudah rampung, perusahaan berniat untuk mulai research di Surabaya dan Makassar,” lanjutnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya