Jangan Lengah Hadapi Kapal-kapal China di Laut Natuna

Kapal Penjaga Pantai China tengah mengawasi kilang minyak lepas pantai.
Sumber :
  • Reuters/Nguyen Minh/Files

VIVA.co.id – Untuk kali ketiga, China memantik kemarahan Indonesia dengan menerobos perairan Natuna dan tanpa dosa mencuri hasil laut di sana. Indonesia, sekali lagi, tidak akan mengubah sikapnya untuk tegas serta tidak akan membiarkan kapal asing mencuri ikan di perairan utara Natuna.
 
Berdasarkan data yang dikelola VIVA.co.id, insiden pertama terjadi pada Maret 2016. Saat itu, kapal pasukan penjaga pantai (coast guard) China membantu kapal nelayannya yang ditahan aparat Indonesia di dekat Natuna atas dugaan mencuri ikan.

Kerjasamanya dengan Iran dan Rusia Disebut Sumber Kejahatan oleh AS, China Murka

Kementerian Luar Negeri Indonesia sudah protes keras dan memanggil Duta Besar China di Jakarta. Insiden kedua terjadi akhir Mei 2016, di mana Beijing memprotes keras tindakan TNI AL yang menyita kapal ikan China di sebuah perairan di dekat Kepulauan Natuna, Indonesia.

Kapal China disita karena diduga menangkap ikan di wilayah Indonesia secara ilegal. Selanjutnya, insiden ketiga atau yang terbaru terjadi Jumat, 17 Juni, pekan lalu. Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) mendekati 12 kapal asing yang diduga mencuri ikan di Natuna.

Rusia, China dan Iran Mulai Satukan Kekuatan, AS Sebut Mereka sebagai Sumber Kejahatan

Kapal-kapal asing itu melarikan diri, namun ada satu kapal berbendera China yang berhasil ditangkap. Anehnya, dalam insiden terbaru ini, China justru protes keras dan menyalahkan Indonesia.

“Tindakan Indonesia melanggar hukum internasional,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying. Ia bersikeras bahwa delapan ABK dan kapal mereka beroperasi secara sah. Kegiatan penangkapan ikan di wilayah tersebut kata dia adalah aktivitas lumrah para warga China.

Rencana AS untuk Melarang TikTok Memicu Perpecahan Nasional

Menanggapi tindakan China itu, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan TNI Angkatan Laut sudah bertindak sesuai prosedur saat melakukan penangkapan terhadap kapal nelayan China.

Gatot menolak pernyataan pemerintah China yang menyebutkan nelayan mereka menangkap ikan di zona tradisional Tiongkok. "Kita tidak mengenal itu," tegas Gatot di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa 21 Juli 2016.

Kedaulatan harga mati

Menurut Gatot, kapal nelayan China telah masuk ke wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. TNI pun akhirnya melakukan penindakan sesuai prosedur. "Jadi kapal ini masuk ke ZEE kita. Kita lakukan prosesnya, hukum seperti biasa saja," ujarnya.

Sementara itu Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut B Panjaitan menegaskan siapa pun yang masuk wilayah kedaulatan RI harus meminta izin. "Kita tidak akan pernah menyerah mengenai kedaulatan," ucap Luhut.

Mengani klaim pemerintah China yang menyebut wilayah tersebut zona tradisional mereka, pemerintah Indonesia telah melakukan komunikasi diplomasi dengan pemerintah Cina.

"Kita juga ingin melihat lebih jernih lagi tentang aspek hukum internasional, bagaimana keadaan di sana. Nanti kita selesaikan. Yang penting kita tetap pelihara hubungan baik dengan China," kata purnawirawan jenderal TNI bintang empat ini.

Adapun Kementerian Luar Negeri menyatakan sikap serupa. Juru Bicara Kemlu RI, Arrmanatha Nassir, mengatakan, masalah penangkapan kapal ikan China adalah sebuah proses penegakan hukum. Ia meyakini semua negara akan menghormati langkah-langkah yang diambil oleh Indonesia, begitu pula sebaliknya.

"Kami ingin menegaskan bahwa semua negara harus menghormati proses penegakan hukum di Indonesia," katanya, menegaskan, di Gedung Kemlu, Jakarta, Selasa, 21 Juni 2016.

Ia menjelaskan, China adalah salah satu negara yang memiliki hubungan sangat baik dengan Indonesia, baik secara politik maupun ekonomi. Akan tetapi, Arrmanatha menegaskan kembali bahwa masalah penegakan hukum semua negara harus menghormati keputusan Indonesia.

Arrmanatha juga mengungkapkan bahwa Indonesia tidak memiliki overlapping claim di wilayah Laut China Selatan. "Kami tidak ada masalah di Laut China Selatan, kecuali Filipina, Malaysia dan Vietnam," kata dia.

Terkait dengan kebijakan sembilan garis pantai putus-putus yang diklaim China, Arrmanatha mengatakan Kemlu sudah meminta klarifikasi dari China mengingat hal tersebut tidak sesuai dengan UNCLOS 1982.

Harus action

Pengamat Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana, meminta pemerintah Indonesia harus meningkatkan hak kedaulatan wilayah di zona maritim.

Meskipun Indonesia bukan merupakan negara claimant state, Indonesia mempunyai hak atas sengketa daulat atas perairan Natuna dengan China, terutama di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

"Pihak TNI AL, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Luar Negeri RI harus tegas terhadap ZEE dan tidak bisa diam saja. Jika Indonesia tidak protes, sama artinya dengan membiarkan bahwa perairan Natuna merupakan traditional fishing ground China," ujar Hikmahanto.

Hal ini, ia melanjutkan, berkaitan dengan penangkapan kapal nelayan China oleh KKP dan TNI AL beberapa waktu lalu, yang masuk ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Menurut Hikmahanto, kejadian ini yang kemudian mendapat protes dari Pemerintah China, yang mengindikasikan bahwa China ingin menegaskan 9-Dashed Line atau Sembilan Garis Putus-putus dengan Indonesia.

"Dari indikasi insiden penangkapan nelayan China di ZEE, mengindikasi bahwa Pemerintah China mengatakan bahwa harusnya nelayan China tidak diproses hukum, karena masih berada dalam wilayah traditional fishing. Muncul indikasi bahwa ada seolah ada tumpang tindih 9-Dashed Line yang bersinggungan dengan ZEE," kata Hikmahanto.

Menurutnya, klaim China atas Sembilan Garis Putus-putus tersebut tidak berdasar dan tidak jelas koordinatnya. Pemerintah China sebelumnya menentukan garis batas tersebut berdasarkan histori.

Kendati demikian, Indonesia hingga saat ini secara resmi tidak mempunyai overlapping claim dengan Pemerintah China atas wilayah Laut China Selatan.

Sementara, Penasihat Senior Menteri Luar Negeri Urusan Maritim, Hashim Djalal, menduga bahwa China mencoba menyeret Indonesia ke dalam konflik Laut China Selatan. Ia juga menyebut insiden di Natuna menunjukkan upaya China untuk “menyudutkan” Indonesia.
 
”China yang dalam sengketa dengan Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei Darussalam, tampaknya mencoba menyeret Indonesia ke dalam sengketa ini,” kata dia. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya