Menakar Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Pengerjaan Proyek Jalan Tol Becakayu
Sumber :
  • VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi

VIVA.co.id – Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di kawasan Asia Timur dan Pasifik akan tetap bertahan dalam jangka waktu tiga tahun ke depan. Meski begitu, kawasan ini akan tetap menghadapi tantangan dan berbagai risiko besar untuk tumbuh.

Bank Dunia dan IMF Berlomba Suntik Dana Miliaran Dolar ke Ukraina

“Pertumbuhan Indonesia akan naik secara stabil, dari 4,8 persen pada tahun 2015, menjadi 5,5 persen di tahun 2018,” kata Wakil Presiden Bank Dunia Victoria Kwakwa, Jakarta,pertengahan pekan ini.

Menurut Kwakwa, di antara negara-negara berkembang besar, prospek paling kuat berada di Filipina, di mana pertumbuhan ekonominya diharapkan mampu menembus angka 6,4 persen tahun ini, serta Vietnam yang meski tahun ini pertumbuhannya akan terhambat, namun bisa kembali pulih di 2017.

Situasi Mencekam, Bank Dunia dan IMF Pindahkan Staf dari Ukraina

Proyeksi pertumbuhan Indonesia yang mencapai 5,5 persen di tahun 2018, menurut Kwakwa akan tetap bergantung pada kenaikan investasi publik, dan suksesnya perbaikan iklim investasi, serta perbaikan dari kenaikan penerimaan.

“Sementara di Malaysia, pertumbuhan akan jatuh secara tajam ke 4,2 persen di tahun 2016, dari 5 persen tahun lalu. Ini disebabkan permintaan global yang melemah, terhadap minyak dan produksi ekspor,” ujar Kwakwa.

Kemenkeu: Pertumbuhan Ekonomi 2021 yang Dirilis BPS Sesuai Prediksi

Disamping itu, laporan Bank Dunia juga menyebutkan prospek pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang kecil telah memburuk, terutama yang beriorientasi komoditas.

“Walaupun ada prospek yang menjanjikan, pertumbuhan di kawasan ini bergantung berbagai risiko besar. Pengetatan keuangan global, pertumbuhan global yang terus melambat, atau perlambatan di Tiongkok yang datang lebih awal dari yang sudah diantisipasi,” tutur Kepala Ekonom Bank Dunia Kawasan Asia Timur dan Pasifik, Sudhir Shetty.

Sementara itu Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan World Economic Outlook, menyatakan pertumbuhan di negara berkembang Asia, terutama India tetap tangguh.

Namun, lembaga yang berbasis di Washington itu mengatakan, investasi swasta akan dibatasi, demikian dikutip dari laman thediplomat, Kamis 6 Oktober 2016. 

Menurut IMF, China terlihat berkembang sebesar 6,6 persen tahun ini dan 6,2 persen tahun depan, turun dari kenaikan PDB 6,9 persen tahun lalu. 

Di tempat lain, produk domestik bruto (PDB) lima negara di ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam diharapkan akan berkembang dari dari 4,8 persen tahun ini menjadi 5,1 persen pada tahun 2017. 

Dengan adanya peningkatan kinerja pada tahun 2016 di Indonesia, Filipina dan Thailand dibandingkan dengan rekan-rekan mereka.

"Penundaan kenaikan konsumsi, pelonggaran kebijakan moneter akan mendukung konsumsi swasta dalam waktu dekat," kata IMF.

Sedangkan secara gobal, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia semakin melambat dan hanya akan tumbuh sekitar 3,1 persen di 2016, turun dari 3,2 persen pada tahun lalu. Ekonomi dunia akan mulai naik pada 2017 menjadi 3,4 persen.

Dilansir CNN Money, Rabu 5 Oktober 2016, dalam laporan World Economic Outlook, IMF menyebut penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi global adalah semakin lambatnya pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat (AS) dan keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa.

Bahkan ekonomi AS diperkirakan akan tumbuh hanya 1,6 persen pada tahun ini, turun dari 2,6 persen di 2015. Proyeksi terakhir ini bahkan lebih rendah 0,6 persen dari proyeksi IMF sebelumnya tiga bulan lalu.

Revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi AS ini dilakukan IMF setelah melihat angka pertumbuhan ekonomi AS pada April hingga Juni lalu yang hanya tumbuh 1,4 persen.  Kinerja ekonomi AS jauh di bawah ekspektasi para ekonom.

"Ekonomi AS telah kehilangan momentum selama beberapa kuartal, dan ekspektasi kenaikan pada kuartal kedua di 2016 tidak terjadi," kata IMF.  

Meski demikian ekonomi negara-negara berkembang akan menguat. IMF mengharapkan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang naik menjadi 4,2 persen tahun ini, setelah lima tahun berturut-turut mengalami penurunan.

IMF menyatakan pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat menyebabkan suku bunga tetap rendah untuk waktu lama.
 
Asumsi makro 

Sebelumnya pemerintah bersama Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik membahas pembahasan asumsi makro ekonomi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2017 bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat.

Dari seluruh indikator asumsi makro ekonomi RI, perbedaan mencolok terjadi pada asumsi pertumbuhan ekonomi nasional pada 2017 mendatang. Parlemen memandang, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh di kisaran 5,05-5,2 persen.

Realisasi pertumbuhan ekonomi dalam dua tahun terakhir yang relatif jauh dari asumsi yang ditetapkan dalam postur kas keuangan negara, dianggap parlemen menjadi alasan tersendiri pertumbuhan ekonomi tahun depan diperkirakan tumbuh di batas bawah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam kesempatan sama mengapresiasi perhatian yang diberikan oleh usulan parlemen terkait asumsi pertumbuhan ekonomi. Namun, pemerintah tetap pada proyeksi yang sebelumnya sudah disampaikan.

"APBN adalah instrumen untuk pelaku usaha. Sinyal bagi seluruh masyarakat, apakah pemerintah memiliki optimisme. Karenanya, saya anggap 5,1-5,2 persen adalah dua angka yang relatif cukup menggambarkan," ujar Menkeu di gedung parlemen Jakarta, Rabu malam, 7 September 2016 silam.

Gubernur BI Agus Martowardojo menyampaikan pendapat serupa terkait asumsi pertumbuhan. Meskipun bank sentral memperkirakan asumsi pertumbuhan di kisaran 5,1-5,5 persen, namun angka 5,2 persen memang menjadi yang paling realistis.

"Kami lihat titik pertumbuhan 2017 diperkirakan tumbuh lebih rendah 5,2 persen dan ini memperhitungkan risiko global," katanya.

Namun, setelah mendengar berbagai macam usulan maupun keluhan yang disampaikan oleh para anggota dewan, Menkeu pada akhirnya mengukuhkan untuk mematok asumsi pertumbuhan ekonomi di angka 5,1 persen.

"Saya lebih comfortable dengan 5,1 persen. Saya setuju, tidak ingin mengulangi adanya revisi pemotongan ke bawah," kata Menkeu.

Ia menegaskan, akan tetap mengupayakan penerimaan perpajakan secara maksimal. Menkeu mengaku, akan berkoordinasi dengan jajaran di bawah kementeriannya, untuk menggenjot penerimaan.

"Saya akan tetap usahakan penerimaan perpajakan tetap maksimal. Setiap minggu berhubungan dengan Kanwil, begitu juga dengan bea dan cukai," katanya.

Sementara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mempertanyakan model penelitian yang digunakan sejumlah lembaga internasional seperti Bank Dunia maupun IMF, dalam proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

"Mereka itu membuat model logika umum saja. (Saya) enggak (sepakat dengan proyeksi mereka)," kata Darmin di Jakarta, Rabu 5 Oktober 2016.

Menurut Darmin, Indonesia di mata dunia dikenal sebagai negara dengan penghasil bahan mentah, maupun dari hasil pertambangannya. Ketika harga komoditas terjun ke bawah, maka otomatis tiang penyangga perekonomian pun akhirnya berimbas.

Landasan tersebut, kata Darmin, akhirnya dipergunakan oleh sejumlah lembaga internasional untuk memproyeksikan pertumbuhan ekonomi. Mantan Direktur Jenderal Pajak itu pun tak sepakat dengan proyeksi yang disampaikan ke publik, .

"World Bank maupun IMF  bisa punya model sendiri. Kami juga ada model sendiri dalam menghitung," katanya.

Bahkan, Darmin pun ikut menyindir hasil laporan Indeks Daya Saing Global yang baru-baru ini dirilis Forum Ekonomi Dunia (WEF). Dalam laporan tersebut, peringkat daya saing Indonesia dari 138 negara merosot ke peringkat 41 tahun ini dari tahun lalu di peringkat 37. 

"Mereka mengukur dari sisi rakyat Indonesia yang mayoritas berpendidikan SD. Kesehatan juga tidak bagus. Dari dulu kami juga tahu. Tapi kok tiba-tiba bisa turun jauh. Memang buruk? Tidak juga," tuturnya.

Darmin mengungkapkan, pemerintah masih optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia kedepan akan berada sesuai dengan fundamental perekonomian yang sebenarnya.

Karena itu, proyeksi-proyeksi tersebut diharapkan tidak menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap ekonomi nasional. "Jangan terlalu risau. Dia (World Bank, IMF, WEF) tidak lebih tahu ekonomi Indonesia," ujarnya.

Harus optimistis

Ekonom Bank Permata, Joshua Pardede, menyatakan, pemerintah harus optimistis dengan target pertumbuhan ekonomi yang sudah ditetapkan sebelumnya. 

"Bank Dunia dan IMF itu kan basisnya pertumbuhan ekonomi global, mereka tidak mengetahui yang telah dilakukan Indonesia untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi," kata Joshua saat dihubungi viva.co.id, Jumat 8 Oktober 2016. 

Menurut dia, indikasi ekonomi global memang belum begitu pulih, China yang mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi, gonjang-ganjing di Eropa dan Amerika Serikat yang kemungkinan menjadi landasan proyeksi Bank Dunia dan IMF. 
 
"Hal itu yang mengindikasikan ekonomi dunia belum begitu pulih, ditambah lagi ekonomi kita yang masih bergantung pada komoditas," ujarnya. Karena itulah, sambung Joshue, ekonomi global memengaruhi konsumsi masyarakat Indonesia. 

"Dalam beberapa tahun ke depan kita memang tidak mengharapkan recovery yang cepat, tapi recovery yang slowing tapi pasti karena tantangan global masih terus menghadang. Ditambah lagi rencana the Fed yang akan menaikkan suku bunganya itu semua saya kira harus tetap diwaspadai," tutur dia. 

Namun dengan sejumlah paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan pemerintah, Joshua mengatakan hal tersebut sudah dinilai mampu mendorong investasi untuk datang ke Indonesia. 

"Intinya adalah pemerintah fokus dalam mendatangkan investasi. Kemudian percepatan infrastruktur yang diharapkan akan mendorong pertumbuhan tenaga kerja. Sehingga kita bisa melampaui ekspektasi dari Bank Dunia dan IMF," ujarnya. 

Joshua menambahkan, dengan kebijakan pemerintah yang terus menurunkan suku bunga tentunya akan mendatangkan investasi.  "Harapannya tidak akan ada lagi pemangkasan anggaran yang lebih besar. Program tax amnesty juga sangat membantu."

Sedangkan dari sisi dalam negeri, dengan kebijakan pemerintah dan pertumbuhan industri manufaktur akan memberi dampak yang baik untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

"Saa ini saya melihat yang stabil adalah India dan Indonesia. China memang mengalami penurunan," ujarnya. Karena itulah, lanjut Joshua, Indonesia harus optimistis akan target pertumbuhan ekonominya. 

"Jadi bagaimana pemerintah harus fokus mendorong sektor manufaktur jangan sampai ditinggalkan jika ingin tumbuh optimal industri ini harus didorong. Sehingga dengan penciptaan tenaga kerja maka konsumsi masyarakat juga meningkat," tutur dia. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya