Ketika Freeport Uji Kekuatan Pemerintah RI

Freeport Tanggapi Polemik dengan Pemerintah
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id – Awal pekan ini, kisruh mengenai kontrak karya pertambangan antara Pemerintah Indonesia dengan PT Freeport Indonesia semakin meruncing.

Freeport Ditantang Cari Iklim Investasi Lebih Baik dari RI

Bahkan, bos besar induk PT Freeport Indonesia, yaitu Richard C. Adkerson selaku Presiden dan CEO Freeportak McMoRan Inc, datang langsung untuk menegaskan sikap perusahaannya menyikapi kebijakan pemerintah RI.

Melalui Richard, Freeport menegaskan, tidak akan mengikuti skema perubahan kontrak karya (KK) pertambangan yang telah disepakati perusahaan dari 1991 hingga 2021. Opsi perubahan KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), akan disepakati Freeport, asalkan ketentuan yang ada dalam IUPK sama dengan KK. 

Freeport Didesak Transparan soal Pembayaran Pajak

Baca juga: Beda kontrak karya dengan IUPK

Ia menegaskan, posisi perusahaannya tidak dapat menerima ketentuan-ketentuan IUPK yang telah ditawarkan oleh Pemerintah Indonesia. Perusahaan keberatan jika di'paksa' untuk mengubah klausul kerja sama itu apabila ingin kembali mengekspor konsentrat.

Freeport Keenakan Nikmati Fasilitas di Indonesia

Karena itu, menurut Richard, Freeport diberi waktu 120 hari oleh Pemerintah Indonesia untuk dapat menyelesaikan perbedaan pendapat antara IUPK dan KK itu. 

"Kami tidak dapat menerima IUPK dengan melepaskan KK, dan Jumat kemarin, pemerintah mengeluarkan surat Menteri ESDM (Energi Sumber Daya Mineral), di mana surat itu menunjukkan perbedaan-perbedaan antara KK dan IUPK, di situ ada waktu 120 hari di mana pemerintah dan Freeport bisa menyelesaikan perbedaan itu," kata dia di Jakarta, Senin 20 Februari 2017. 

Selain karena kontrak karya tersebut baru akan habis pada 2021, menurut Richard, ada alasan lain mengapa pihaknya ngotot tidak mau mengubah skema kerja sama itu. Salah satunya, Freeport keberatan, karena selama beroperasi sudah mengeluarkan investasi yang sangat besar, atau sekitar US$12 miliar. 

Penawarannya ke depan, pihaknya akan melakukan investasi lagi sebesar US$16 miliar untuk proyek di Papua, jika kontrak karya tersebut diperpanjang pemerintah Indonesia. "Ini besar sekali. Investasi ini tidak dapat terjadi, kalau tidak diberikan jaminan fiskal dan hukum untuk beroperasi," kata Richard.

Dalam kesempatan itu, dia pun mengungkapkan, seberapa pentingnya tambang Freeport di Indonesia ini, sehingga menjadi sorotan publik di Amerika Serikat. Menurut Richard, Freeport telah berhasil menduduki peringkat ke 175 perusahaan terbesar di dunia berdasarkan Fortune 500. Capaian itu, tidak terlepas dari kontribusi pendapatan dari tambangnya di Indonesia. 

Selain itu, sebanyak 90 persen investor Freeport McMoRan terbesar adalah pengelola reksa dana dan investasi dana pensiun. Artinya, ada berjuta-juta investor di AS yang mengharapkan keuntungan jangka panjang dari Freeport. 

"Jadi, apapun yang terjadi di sini, menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah Amerika," tambahnya.

Selanjutnya, ultimatum Freeport>>>

Ultimatum Freeport

Pemerintah memberikan waktu Freeport selama 120 hari untuk berunding mengenai masalah ini. Jika memang masih tidak ada kesepakatan, Freeport akan melakukan Arbitrase ke Badan Hukum Internasional.

"Jika tidak dapat menyelesaikan perbedaan itu dengan pemerintah, Freeport bisa melaksanakan haknya menyelesaikan dispute (sengketa). Jadi, hari ini Freeport tidak melakukan arbitrase, tetapi kita memulai proses untuk melakukan arbitrase," ujar Richard. 

Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Satya Widya Yudha menilai, arbitrase memang menjadi jalan satu-satunya yang harus ditempuh, apabila kedua pihak tidak menemukan kata sepakat. 

“Semua pihak punya pegangan masing-masing,” kata Satya, saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin 20 Februari 2017.

Secara ketentuan perundang-perundangan, perusahaan multinasional itu sejatinya telah melanggar aturan yang tercantum dalam pasal 170 Undang-undang Nomor 4 tahun 2009, apabila tetap bersikukuh mempertahankan statusnya sebagai Kontrak Karya.

Sebab, dalam salah satu beleid tersebut disebutkan bahwa pemegang KK harus merampungkan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) di akhir 2014 silam. Namun, sampai saat ini, Freeport Indonesia pun belum merampungkan progres pembangunan smelter.

Apalagi, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Kegiatan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Freeport sejatinya telah diberikan kemudahan dari pemerintah, dengan hanya mengubah status KK, menjadi IUPK.

“Jadi, kalau sudah tidak bisa memahami UU Minerba, forum hanya satu, yakni arbitrase,” tegas Satya.

Pemerintah, kata dia, tidak bisa begitu saja memberikan kelonggaran khusus bagi Freeport, terkait konflik yang saat ini dihadapi oleh kedua pihak. Sebab, pandangan para investor terhadap kredibilitas pemerintah ke depannya pun bisa dipertanyakan

Apabila Freeport benar-benar membawa masalah ini ke arbitrase, Satya mengaku optimistis, Indonesia yang akan keluar sebagai pemenang. Pemerintah, ditegaskan dia, pun tidak akan ragu untuk melawan Freeport dengan didukung oleh adanya bukti-bukti tersebut.

“Saya rasa, Pemerintah Indonesia siap menghadapinya. Kalau saya tidak menghendaki arbitrase, karena ruang negoisasi masih bisa dimaksimalkan. Kami yakin bisa memenangkan arbitrase, jika jalan itu yang ditempuh,” tegasnya.

Dalam kesempatan berbeda, Wakil Ketua DPR RI, Agus Hermanto mengatakan, perusahaan asal Amerika Serikat yang beroperasi di tambang Grasberg, Papua itu boleh saja menolak ketentuan IUPK yang ditetapkan Indonesia.

Hanya saja, ia mengingatkan, ada regulasi pemerintah yang mengatur persoalan tersebut. Sebab, pemerintah sudah menjalankan prosedur dengan baik. 

"Bisa saja, Freeport tidak berkenan untuk permasalahan ini. Tapi yang jelas, apa yang dilakukan pemerintah saat ini itu sudah sesuai dengan UU yang berlaku, yaitu UU Minerba," kata Agus di gedung DPR RI hari ini. 

Selain akan membawa sengketa ini ke arbitrase internasional, Freeport juga berencana untuk memangkas sebagian karyawannya minggu ini. Kebijakan itu tidak bisa terelakan, mengingat kondisi bisnis perusahaan yang diklaim menurun, karena tidak bisa mengekspor asil tambangnya. 

"Minggu ini, kami akan setop karyawan kontraktor kita. Dari 30 ribuan karyawan, ada 12 ribu karyawan langsung yang jadi bagian karyawan kontrak kita. Saya sedih hadapi kenyataan ini. Kami lakukan ini, bukan karena nego dengan pemerintah, tetapi terpaksa, agar bisnis bisa berjalan secara finansial," kata Richard.

Berikutnya, pemerintah tak gentar>>>

Pemerintah tak gentar

Pemerintah dinilai harus tegas dalam menegakkan aturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Apalagi, menurut Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, pemerintah sudah terlalu banyak memberikan kemudahan kepad Freeport.

“Saya kira kita, jangan selalu lemah untuk menerima supaya kembali ke ketentuan yang ada di KK, karena menurut UU Minerba sudah enggak mungkin ekspor konsentrat. Kita jangan mengubah sikap lagi, karena kepentingan mereka sebenarnya sudah diakomodasi dengan PP 1 Tahun 2017," kata Marwan saat dihubungi VIVA.co.id, Senin 20 Februari 2017. 

Menurut Marwan, penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) itu sebetulnya sudah melanggar UU Minerba. 

"Tapi dalam rangka mengakomodasi kepentingan Freeport supaya mulai ekspor, supaya tidak ada PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) juga bisa diterima terus, itu jadi semacam relaksasi yang diterbitkan pemerintah untuk menjadi win win solution," kata dia. 

Karena itu, dia berpendapat, pemerintah jangan lantas kembali memberi karpet merah kepada Freeport dengan kembali kepada KK dan dapat melakukan ekspor. Sebab, sebetulnya Freeport sudah tidak boleh ekspor sejak 2014, sesuai dengan UU Minerba.

"Dalam UU itu batasnya itu sudah lewat yaitu di 2014,untuk ekspor konsentrat, itu kan artinya sama saja kita melanggar UU yang kita buat sendiri dan itu terus menunjukkan ketundukan pemerintah kepada keinginan Freeport, Jadi, Meskipun sekarang diancam dengan arbitrase, ya jangan takut dihadapi saja, karena kita di pihak yang benar," tutur dia.

Menanggapi hal ini, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengaku tak gentar dengan ultimatum Freeport itu.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan menegaskan, pemerintah saat ini masih memandang Freeport sebagai rekan bisnis. Keluhan perusahaan multinasional itu terkait status kegiatan operasionalnya di Indonesia, pun masih bisa dirundingkan layaknya mitra kerja.

Namun, dia menegaskan, pemerintah memiliki hak yang sama di pengadilan internasional untuk membawa persoalan ini ke jalur hukum. Apalagi, Indonesia merupakan negara yang berdaulat. 

“Hak masing-masing itu membawa arbitrase. Bukan hanya Freeport loh yang bisa, pemerintah juga bisa (ke arbitrase),” tegas Menteri ESDM Ignasius Jonan, saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin 20 Februari 2017.

Dia pun menyindir keputusan Richard yang berencana merumahkan ribuan karyawan Freeport Indonesia, yang mayoritas masyarakat Papua. Karena, dia memandang, karyawan merupakan aset penting yang dimiliki oleh setiap perusahaan. 

“Kalau saya CEO Freeport, saya akan bertindak berbeda,” tegas Jonan yang diketahui sebelumnya menjadi pimpinan PT Kereta Api Indonesia. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya