Semrawut Coblosan Gubernur Jakarta

Ilustrasi Logistik Pilkada DKI Jakarta
Sumber :
  • VIVAnews/ Muhamad Solihin

VIVA.co.id - Pilkada DKI Jakarta belum selesai. Para calon gubernur dan wakil gubernur harus berduel lagi merebut hati warga Jakarta untuk menentukan pemenangnya. Soalnya tak ada yang meraih suara lebih dari 50 persen dalam coblosan atau pemungutan suara pada 15 Februari 2017.

Ogah Usung Anies di Pilgub Jakarta, Gerindra: Kita Punya Jagoan Lebih Muda dan Fresh

Coblosan kedua digelar pada 19 April 2017. Kandidatnya cuma dua pasang: Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Merekalah yang meraih suara terbanyak pertama dan dan kedua dalam coblosan lalu, yakni masing-masing meraih 2,3 juta suara atau 42,99 persen dan 2,1 juta suara atau 39,95 persen.

Sedangkan satu pasangan lagi, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono-Sylvina Murni, hanya memperoleh 937 ribu suara atau 17,07 persen. Mereka otomatis tersingkir dari gelanggang karena raihan suaranya paling sedikit.

Gerindra Siapkan Kader Internal yang Potensial Menang di Pilkada Jakarta

Pasangan calon yang ditetapkan sebagai pemenang pada pemungutan suara putaran kedua kelak tak lagi berdasarkan memperoleh suara lebih 50 persen, melainkan suara terbanyak. Siapa pun yang meraih dukungan terbanyak; berapa pun angkanya, dialah yang berhak menduduki takhta pemimpin Ibu Kota. Perihal ini diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2016.

Partisipasi pemilih

KPU DKI Sudah Antisipasi Banjir saat Proses Pemungutan Suara Pilgub 2024

Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta mengklaim coblosan putaran pertama sukses. Komisi membangga-banggakan jumlah partisipasi pemilih yang meningkat dibandingkan pilkada sebelumnya, terutama Pilkada tahun 2012.

KPU menargetkan partisipasi pemilih sebanyak 77,5 persen tetapi kenyataannya malah 78 persen. Angka itu melampaui jauh partisipasi dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 yang hanya 65 persen pada putaran pertama dan 68 persen pada putaran kedua.

Namun klaim itu tak sepenuhnya benar. Soalnya ditemukan banyak cela dalam coblosan putaran pertama. Salah satu masalah yang paling vital ialah seputar Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ada 7,1 juta warga yang terdaftar dalam DPT tetapi banyak juga yang tak terdata.

Menurut catatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta, tidak sedikit warga yang telah memiliki hak pilih ternyata tidak masuk DPT sehingga mereka urung mencoblos. Ada juga warga yang namanya masuk DPT tapi tak mendapatkan surat keterangan dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta. Akibatnya sama: gagal mencoblos.

Ditemukan banyak kasus warga tak bisa memilih karena keterbatasan waktu, meski mereka sudah membawa surat keterangan dan Kartu Keluarga. Sebagian mereka sudah menunggu di tempat pemungutan suara (TPS) tetapi tak bisa mencoblos sampai TPS ditutup pada pukul satu siang.

Kasus lain, ada warga yang tidak bisa memilih karena berkas surat keterangannya kurang lengkap. Ada juga warga gagal mencoblos hanya karena persediaan surat suara kurang. 

Ketua KPU DKI Jakarta, Sumarno, mengakui semrawut masalah pemilih itu. Dia berterus terang urusan DPT itu bukan soal enteng. KPU, katanya, sudah bekerja keras untuk memastikan semua warga yang telah memiliki hak pilih masuk DPT. Tapi tetap saja ada yang lolos tak terdata.

KPU berkomitmen memutakhirkan dan menyempurnakan DPT untuk coblosan putaran kedua. "Ini menjadi hal serius untuk penyempurnaan putaran dua. Kami memastikan seluruh warga DKI Jakarta bisa memilih, nantinya hak konstitusional mereka bisa difasilitasi," katanya dalam rapat pleno di Jakarta pada Sabtu malam, 4 Maret 2017.

Penyempurnaan DPT

KPU, kata Sumarno, telah merancang empat strategi untuk memutakhirkan dan menyempurnakan DPT. Pertama, menyusun Daftar Pemilih Sementara (DPS) yang berasal dari DPT pada coblosan putaran pertama. Ditambah daftar pemilih tambahan (DPTb) yang tidak tercantum dalam DPT tapi hadir di TPS.

KPU juga memperhatikan pemilih potensial, yaitu pemilih yang secara administratif memiliki hak pilih dan terdaftar dalam daftar pemilih tapi tidak datang ke TPS. Setiap warga yang berusia 17 tahun pada 19 April 2017 dipastikan masuk DPT.

Segera dibuka posko pendaftaran dan hotline. Warga bisa mendaftar langsung melalui posko itu atau mengirimkan Nomor Induk Kependudukan melalui aplikasi WhatsApp.

Strategi kedua adalah memasukkan pemilih tambahan yang gagal mencoblos pada putaran pertama. Daftar nama pemilih itu berasal dari rekomendasi yang diterbitkan Bawaslu DKI Jakarta.

Upaya ketiga, KPU akan menerima masukan berupa daftar nama pemilih dari tim pemenangan pasangan calon. Namun Komisi akan lebih dulu memeriksa daftar itu untuk mencegah kesalahan atau pemilih ganda. 

Siasat terakhir adalah mengumumkan DPS kepada masyarakat melalui posko yang didirikan di setiap kelurahan. Masyarakat bisa mengecek langsung namanya pada DPS itu. Jika ada yang belum terdaftar, dibuka kesempatan untuk mendaftar sampai batas waktu tertentu. Lalu KPU menetapkan DPT untuk coblosan putaran kedua.

"Memang sangat singkat waktunya. Tapi kami ingin memastikan warga DKI; semua yang memiliki hak pilih, harus terfasilitasi hak pilihnya pada 19 April yang akan datang," kata Sumarno.

Kampanye

KPU DKI Jakarta menetapkan masa kampanye untuk putaran kedua selama 40 hari, yakni pada 7 Maret sampai 15 April 2017. Dalam rentang waktu kampanye itu, KPU DKI Jakarta akan menyelenggarakan debat pasangan calon gubernur dan wakil gubernur.

Aturan kampanye pada masa kampanye putaran kedua tidak berbeda dengan putaran pertama, kecuali dalam hal kampanye dalam bentuk rapat umum terbuka dan pemasangan alat peraga. Artinya, tiap pasangan calon maupun tim pemenangan tidak boleh menggelar rapat umum terbuka semacam pengerahan massa di lapangan atau gedung dan dilarang memasang alat peraga kampanye seperti spanduk, baliho, poster, dan lain-lain.

Tugas sosialisasi diemban KPU DKI Jakarta. Lembaga itu akan memasang iklan kedua paslon baik di media cetak maupun media elektronik pada 9-15 April 2017. Penajaman visi dan misi difasilitasi melalui debat publik atau debat terbuka antarpasangan calon.

Aturan wajib cuti bagi calon petahana tetap berlaku pada putaran kedua. Aturan itu amanat Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU (UU Pilkada) maupun Peraturan KPU.

"Cuti adalah keharusan. Itu bukan ditetapkan KPU DKI tapi sudah jelas ada peraturannya. KPU tinggal menetapkan pedoman teknis saja," kata Sumarno di Jakarta pada Sabtu, 4 Maret 2017.

Penetapan masa kampanye untuk putaran kedua itu dikritik sebagian kalangan karena tidak diatur dalam Undang Undang tentang Pilkada. Masa kampanye itu juga ditengarai sebagai upaya penyelenggara Pilkada Jakarta untuk menjegal petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat. Soalnya Ahok dan Djarot mesti cuti sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Kubu petahana menganggap masa kampanye itu tak akan efektif untuk sosialisasi. Soalnya tujuannya untuk penajaman visi dan misi tetapi dilarang menggelar rapat umum terbuka dan pemasangan alat peraga kampanye. Debat terbuka antarpasangan calon pun dinilai sia-sia dan tak efektif.

Alasan KPU DKI Jakarta menetapkan masa kampanye putaran kedua untuk menghindari kampanye terselubung para kandidat. Berdasarkan pengalaman putaran kedua Pilkada DKI Jakarta tahun 2012, masing-masing pasangan calon memanfaatkan waktu untuk berkegiatan seperti kampanye, meski tidak ada masa kampanye kala itu.

Pada 27 Februari 2017, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, berpendapat bahwa calon petahana tidak perlu cuti kalau KPU menetapkan aturan tidak ada rapat umum terbuka selama masa kampanye. Calon petahana wajib cuti manakala masa kampanye dibolehkan rapat umum terbuka.

"Kalau kampanyenya tertutup, penajaman visi maupun debat, saya kira tidak perlu ada cuti. Tapi kalau KPU memutuskan ada (kampanye terbuka) satu bulan ... apa pun menyangkut petahana, harus cuti," katanya kala itu. (one)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya