Akhir Pelarian Singkat Miryam Haryani

Miryam S Haryani.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Reno Esnir

VIVA.co.id - Pelarian Miryam S Haryani berakhir. Politikus Partai Hanura buronan Komisi Pemberantasan Korupsi itu ditangkap polisi di sebuah hotel di kawasan Kemang, Jakarta, pada Senin dini hari, 1 Mei 2017.

INFOGRAFIK: Cara Buat KTP Digital

Miryam ditangkap tanpa perlawanan meski polisi yang meringkusnya lebih dulu membujuknya agar bersedia dibawa untuk diperiksa di Markas Metropolitan Daerah Jakarta Raya (Polda Metro Jaya). Dia melunak dan kemudian digelandang ke Polda Metro Jaya.

Bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu ditangkap saat sedang bersama seorang perempuan, yang belakangan diketahui sebagai adiknya. Belum jelas peran sang adik dalam pelarian Miryam. Namun polisi sudah mengetahui alasan Miryam kabur; berpindah-pindah tempat dari Bandung ke Jakarta.

Rektor UIN Jakarta Semprot Agus Rahardjo Soal e-KTP: Pak Agus Seharusnya Merespon Saat Itu

"Yang bersangkutan pergi karena ditetapkan tersangka. Katanya, cukup kaget karena ditetapkan tersangka," kata Kepala Polda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Polisi Mochamad Iriawan, dalam konferensi pers tentang hasil pemeriksaan Miryam, beberapa jam setelah penangkapan.

Secara umum, kata Iriawan, Miryam menghindari aparat penegak hukum untuk berkonsultasi dengan sejumlah orang terdekatnya tentang penetapan tersangka kepadanya. Malam hingga dini hari itu dia menemui adiknya untuk berdiskusi tentang masalah hukum yang dihadapinya.

Respon Jokowi Usai Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo Dilaporkan ke Bareskrim Polri

Namun Iriawan menolak menjelaskan lebih rinci lagi tentang hasil pemeriksaan Miryam. Dia menyarankan pers menanyakan langsung kepada KPK atau pengacara Miryam, karena polisi hanya membantu menangkap perempuan itu. Mengenai kasus atau perkara yang disangkakan kepada Miryam, itu urusan KPK, bukan polisi.

Karena itulah polisi langsung menyerahkan Miryam kepada KPK. Polisi bahkan mengantar Miryam dengan mobil dari Markas Polda Metro Jaya ke kantor KPK.

Miryam, yang mengenakan kemeja berwarna putih-hitam, tak mengucapkan sepatah pun kata ketika keluar dari Markas Polda Metro Jaya. Dia hanya menebar senyum kepada para wartawan yang sedari pagi menunggunya. Begitu pula ketika dia tiba di kantor KPK. Tapi dia tampak sudah didampingi pengacaranya, Aga Khan.

Sinergi

KPK menggelar konferensi pers sesaat setelah Miryam diserahkan kepada lembaga antirasuah itu. Komisi mengapresiasi kinerja Polisi yang telah menangkap Miryam sebagai sinergi antarlembaga penegak hukum.

"Kita ucapkan terima kasih (kepada) Polri; koordinasi KPK, Polri, dan Kejagung dalam konteks untuk pemberantasan korupsi," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, pada Senin sore.

KPK memang meminta bantuan Polri untuk menangkap Miryam. Komisi mengirim surat resmi kepada Polri agar nama Miryam dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) pada hari Miryam ditetapkan buron, yaitu Kamis, 27 April 2017. Surat DPO itu juga dikirimkan kepada Interpol Indonesia dan Imigrasi untuk mengantisipasi Miryam pergi ke luar negeri.

Mochamad Iriawan menyatakan bahwa memang sudah menjadi tugas Polri dalam penegakan hukum, termasuk mendukung KPK. "Tugas kami adalah memberikan bantuan kepada ke KPK. Kegiatan kami bersinergi bersama KPK untuk bisa menindaklanjuti apa yang diminta oleh KPK ..."

Polisi, kata Iriawan, tak hanya menangkap Miryam, tetapi juga menyelidiki siapa saja yang turut membantu pelarian buronan yang berhubungan dengan perkara korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) itu. Polisi juga sudah memeriksa sejumlah orang yang diduga terlibat namun tak disebutkan identitasnya.

Polisi tak akan mengumumkannya kepada pers, melainkan menyerahkan hasil penyelidikan kepada KPK, karena pokok perkaranya sedangn diusut lembaga antirasuah. "Nanti kita serahkan ke KPK (identitas orang-orang yang diduga terlibat membantu pelarian Miryam) berkaitan dengan tersebut," kata Iriawan.

Menurut Febri Diansyah, mereka yang disangka terlibat membantu pelarian Miryam dapat dihukum pidana. Disebutkan dalam Pasal 21 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: "Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta."

Namun, kata Febri, KPK lebih dulu berkonsentrasi menyelesaikan perkara Miryam. Pihak atau orang yang membantu pelarian Miryam menyesuaikan perkembangan penyidikan.

Bukan kabur

Polisi sempat kesulitan menelusuri jejak Miryam. Awalnya, sejak Miryam ditetapkan buron, polisi melacak dengan siapa dan di mana dia terakhir berkomunikasi. Miryam terlacak berada di Bandung. Polisi bersama tim KPK kemudian menggeledah sebuah rumah wilayah Pasirkoja, Kota Bandung, pada Kamis tengah malam, Kamis 27 April 2017. Tapi nihil: Miryam tak di sana.

Aparat mengendus Miryam telah berpindah ke Jakarta. Tetapi belum diketahui persis posisinya. Lalu terlacak komunikasinya dengan seorang saudarinya sampai ditemukan jelas berada di sebuah hotel di kawasan Kemang, Jakarta.

"Akhirnya tim mendapatkan MHS (Miryam S Haryani) di satu hotel Kemang, setelah itu dibawa Polda Metro untuk tes kesehatan," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Argo Yuwono, dalam konferensi pers di kantor KPK.

Aga Khan, saat mendampingi Miryam di Markas Polda Metro Jaya, mengoreksi pemberitaan media massa yang menyebut kliennya melarikan diri. Miryam, katanya, hanya syok atau panik karena ditetapkan tersangka. "Miryam, tuh, masih kalut." Maka dia semacam menghindari untuk sementara proses hukum demi menenangkan diri.

Aga juga mencatat, penetapan tersangka kepada Miryam dengan sangkaan memberikan keterangan tidak benar itu sebenarnya di luar kebiasaan KPK. Dia pun keberatan dengan penetapan tersangka itu sehingga mengajukan gugatan praperadilan yang didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Perjalanan kasus

Miryam, dalam dakwaan KPK untuk dua terdakwa kasus korupsi e-KTP, disebut menerima uang 23 ribu dolar Amerika Serikat untuk proyek sebesar Rp5,95 triliun itu.

Dua terdakwa kasus itu ialah para pejabat pada Kementerian Dalam Negeri, yakni Irman, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil; dan Sugiharto, Pejabat Pembuat Komitmen pada Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil.

Dalam berita acara pemeriksaannya, Miryam mengaku pernah dimintai tolong oleh Chairuman Harahap, Ketua Komisi II DPR 2009-2014, untuk membagi-bagikan duit dari pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong.

Berikut ini riwayat kasus Miryam sejak berstatus sebagai saksi hingga lima hari menjadi buronan:

23 Maret 2017 - Miryam menjalani sidang sebagai saksi untuk Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Miryam sebelumnya diperiksa tetapi kemudian menyangkal isi berita acara pemeriksaan (BAP) dalam sidang pada Kamis itu.

"BAP isinya tidak benar semua karena saya diancam sama penyidik tiga orang; diancam pakai kata-kata," kata Miryam, sambil menangis.

"Jadi, waktu itu dipanggil tiga orang penyidik. Satu namanya Pak Novel (Baswedan), Pak Damanik, satunya saya lupa. Baru duduk, sudah ngomong, 'Ibu tahun 2010 mestinya saya sudah tangkap', kata Pak Novel begitu. Saya takut. Saya ditekan, tertekan sekali waktu saya diperiksa."

Miryam waktu itu juga menyatakan akan mencabut BAP.

30 Maret - KPK menjelaskan, dalam pemeriksaan sebelumnya, Miryam mengaku ditekan anggota Komisi III DPR agar bilang tidak menerima uang korupsi e-KTP itu.

Seperti dikatakan penyidik KPK, Novel Baswedan, "Yang bersangkutan bercerita karena sebulan sebelum pemanggilan sudah merasa mengetahui akan dipanggil dari rekan anggota DPR lain, disuruh beberapa anggota DPR lain dari Komisi III untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang itu, bahkan yang bersangkutan mengaku, kalau mengaku bisa dijeblosin (ke penjara)."

5 April - KPK menjerat Miryam sebagai tersangka dengan Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal itu mengatur tentang orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.

13 April - Miryam diagendakan diperiksa sebagai tersangka untuk perkara dia memberikan keterangan tidak benar dalam persidangan korupsi proyek e-KTP. Namun dia tak hadir hari itu.

18 April - Miryam dijadwalkan diperiksa sebagai tersangka untuk perkara dia memberikan keterangan tidak benar dalam persidangan korupsi proyek e-KTP. Miryam tak hadir lagi.

24 April - KPK meminta Imigrasi mencegah Miryam ke luar negeri. Imigrasi mengawasi 90 pintu keluar dari Indonesia, yang 20 di antaranya adalah pos lintas batas atau perlintasan tradisional darat maupun laut.

25 April - Miryam mengajukan gugatan praperadilan terhadap KPK yang menetapkannya tersangka memberi keterangan yang tidak benar pada persidangan.

27 April - KPK memasukkan nama Miryam dalam daftar pencarian orang (DPO) alias buron. Komisi meminta bantuan Polri dan Interpol Indonesia untuk menangkap Miryam. KPK juga 

27 April - Polisi bersama tim KPK kemudian menggeledah sebuah rumah wilayah Pasirkoja, Kota Bandung, pada Kamis tengah malam. Tapi nihil: Miryam tak di sana.

1 Mei - Miryam ditangkap di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, pada pukul 02.00 WIB, Senin, 1 Mei 2017. Dia sedang bersama seorang adik perempuannya saat di hotel itu.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya