Swafoto Monyet Indonesia Hebohkan Dunia

ilustrasi/Kawanan monyet liar saat swafoto alias selfie.
Sumber :
  • REUTERS / Sukree Sukplang

VIVA.co.id – Pengadilan banding di San Francisco, Amerika Serikat pekan ini menjadi ramai. Sebuah persidangan yang berlangsung 45 menit menjadi tontonan mahasiswa hukum dan masyarakat umum di negara bagian Negeri Paman Sam tersebut. 

Profil Ghozali Everyday, Miliarder Anyar Penjual Foto Selfie

Di ruang sidang, hakim dengan seksama menyimak pendapat masing-masing kubu yang berperkara. Pada Rabu 12 Juli 2017 waktu setempat, pengadilan banding di San Francisco itu menggelar sidang sengketa hak cipta swafoto atau selfie monyet Sulawesi yang bernama Naruto. 

Kasus gugatan hak cipta ini memang menyedot perhatian pengguna internet, pakar hukum, dan hak kekayaan intelektual dunia pada 2011 hingga kini. 

Jual Foto Selfie NFT, Ghozali Everyday Ungkap Raup Rp1,7 M

Sebelum ramai menjadi perbincangan, awal mula kasus swafoto ini saat fotografer alam asal Chepstow, Wales, Inggris, David Slater berkunjung ke Indonesia pada 2011. Dikutip dari BBC, saat itu Slater menjelajahi alam Sulawesi dan kemudian menemui sekawanan monyet.

Dia kemudian mengatur kameranya di atas tripod, meletakkan tombol potret jarak jauh, sehingga bisa diakses monyet Sulawesi. Kemudian, seekor monyet hitam betina Sulawesi yang diketahui bernama Naruto, menekan tombol potret beberapa kali dan menghasilkan foto, jadilah swafoto monyet Naruto yang tersenyum memperlihatkan giginya.

Jual 933 Foto Selfie NFT, Ghozali Everyday: Kenapa Kok Laku Semua?

Kemudian Slater melisensikan swafoto monyet Naruto ini ke Cater News Agency. Dari situ kemudian foto diri monyet Naruto itu menyebar luas di internet. Salinannya diterbitkan perusahaan Blurb dan perusahaan milik Slater, Wildlife Personalities.

Seiring dengan penyebarannya, swafoto itu makin populer. Slater pun mendapatkan pemasukan beberapa ribu poundsterling, yang cukup untuk mengganti biayanya selama berwisata ke Indonesia. 

Kemudian pertengahan 2014, dikutip dari The Guardian, swafoto itu menjadi persoalan. Foto tersebut dipakai blog Techdirt dan ensiklopedia online, Wikipedia. Slater yang mengetahuinya langsung meminta kedua situs itu untuk menyetop penggunaan swafoto itu tanpa izin darinya. Slater yakin mantap mengaku sebagai pemilik foto diri monyet Naruto. 

"Swafoto itu bukan perilaku monyet yang tak disengaja. Itu membutuhkan banyak pengetahuan, ketekunan, keringat, dan penderitaan serta semua itu atas nama saya," kata Slater memprotes dikutip dari The Guardian.  

Sementara itu, blog Techdirt, berpendapat foto itu termasuk dalam domain publik karena monyet itu bukan secara legal pemegang hak cipta foto tersebut. 

Namun, kedua website itu menolak. Wikipedia mengklaim swafoto itu tak ada pemiliknya. Wikipedia berkukuh pemilik foto itu adalah sang monyet. 

Nyatanya swafoto itu makin meluas. Platform penyimpanan multimedia Wikimedia Commons juga mengunggah swafoto tersebut dan dikategorikan sebagai domain atau milik umum, dengan alasannya penciptanya adalah hewan bukan orang. 

Slater yang mengklaim pemilik hak cipta foto itu meminta pemilik platform tersebut, Wikimedia Foundation membayar atas penampilan foto tersebut atau menghapuskannya dari platformnya.  

Setali tiga uang, permintaan Slater itu ditolak mentah Wikimedia. Alasannya masih tegas, pembuat foto itu monyet bukan manusia.

Dari sini sengketa hak cipta swafoto monyet itu memanas. 

Pada Desember 2014, Kantor Hak Cipta Amerika Serikat memutuskan hewan tidak dapat memiliki hak cipta atas karyanya. Kantor tersebut menegaskan karya yang diciptakan oleh bukan manusia tidak tunduk pada undang-undang hak cipta Amerika Serikat. 

Kemudian pada 2015, Slater kian mendapatkan 'musuh' baru. Organisasi perlindungan hewan, People for the Ethical Treatment of Animal (PETA) menggugat Slater atas klaim hak cipta swafoto itu ke pengadilan distrik di AS. Menurut PETA, seharusnya pemegang hak cipta swafoto itu adalah monyet Naruto. 

Pada 7 Januari 2016, pengadilan federal AS di San Francisco, memutuskan monyet hitam Sulawesi itu tak bisa memiliki hak cipta swafoto. Alasan hakim saat itu, monyet itu bukanlah manusia dan hewan bukan bagian dari UU Hak Cipta Amerika Serikat. Kalah dalam persidangan awal, PETA memutuskan banding pada tingkat pengadilan berikutnya. 

Selanjutnya, Debat di Sidang Banding

Debat di Sidang Banding

Dalam sidang perdana tingkat banding, hakim mendengarkan argumen dari kubu PETA dan kubu tergugat, Slater. Materi sidang menggali landasan masing-masing atas hak cipta swafoto tersebut. 

Hakim meminta penjelasan sejauh mana PETA bisa mewakili kepentingan monyet Naruto. Hakim juga menanyakan apakah Naruto benar-benar dirugikan atas tak diakui sebagai pemegang hak cipta fotonya. 

"Tak ada cara untuk mendapatkan atau menahan uang. Juga ada kerugian reputasi. Bahkan tak ada pernyataan hak cipta itu bisa menguntungkan Naruto. Manfaat keuangan apa yang bisa berlaku untuknya?" tanya hakim N Randy Smith dikutip The Guardian.

Sementara itu, hakim banding lainnya menanyakan bagaimana proses hak waris Naruto jika memang foto itu menjadi miliknya. Apakah keturunan Naruto nantinya akan mendapatkan hak cipta foto tersebut. 

Sementara itu, pengacara PETA, David Schwarz berpendapat, Naruto sudah terbiasa dengan kamera dan swafoto saat melihat dirinya dalam bayangan lensa.

Schwarz menekankan, kasus tersebut sampai pada satu fakta sederhana, yaitu foto itu mendapatkan perlindungan hak cipta dan Naruto adalah pemegang hak ciptanya.

"Kita harus melihat kata 'pemilik' (karya) dalam arti luas," kata Schwarz.

Sementara itu, perwakilan PETA tetap menuntut hak cipta swafoto bagi monyet tersebut. 

"Kami paham monyet itu sangat canggih, mereka sangat cerdas, visinya dominan. Dia (monyet Naruto) sangat mirip dengan kita," kata Penasihat Umum PETA, Jeff Kerr

Sementara itu, pengacara Slater, Andrew Dhuey menegaskan, kasus penuntutan hak cipta swafoto monyet Sulawesi itu cukup menggelikan. 

"Seekor monyet baru saja masuk ke sebuah pengadilan federal dan menuntut pelanggaran hak cipta. Ini seperti saya berada sebuah guyonan, tapi ini benar-benar terjadi," ujarnya dikutip dari Abc7news. 

Pengacara perusahaan penerbit Blurb, Angle Dunning tidak khawatir kasus ini naik ke tahap banding. Dia merasa optimistis pengadilan tingkat banding bisa menguatkan putusan pengadilan federal sebelumnya. 

Dunning yakin, pengadilan banding akan mengonfirmasi putusan pengadilan distrik, atau bahkan mengosongkan putusannya, serta menghentikan kasus dengan alasan PETA tidak bisa mewakili monyet tersebut.

"Kami ingin kasus ini berakhir pada titik ini," kata Dunning dikutip dari Cnet.

Selanjutnya, Komentar Pakar

Komentar Pakar dan Fotografer

Sengketa hak cipta swafoto monyet itu menarik komentar dan perhatian dari pakar kekayaan intelektual dunia. Pakar kekayaan intelektual dari firma hukum Swan Turton, Inggris, Charles Swan menegaskan tidak ada hak cipta dalam foto tersebut, sebab yang mengambil foto itu adalah sang monyet.

Dia menilai konyol bila Slater mengklaim pemilik hak cipta swafoto itu. Dia menjelaskan, sepanjang yang ia tahu hukum hak cipta Eropa mengatakan foto harus menjadi ciptaan intelektual sang pencipta. 

"Fakta bahwa (Slater) memiliki kamera tak ada hubungannya dengan itu. Untuk memiliki hak cipta, Anda harus menciptakan sesuatu, itu harus menjadi ekspresi kepribadian Anda. Jadi jelas (monyet bukan orang) tak ada hak cipta dalam gambar itu," tutur Swan dikutip dari Time

Pakar hak kekayaan intelektual di Davis & Gilbert LLP di New York City, Amerika Serikat, Mary M Luria berpandangan, untuk mengklaim hak cipta sebuah foto perlu 'orang yang alami'. Maksudnya perlu usaha alamiah dari orang memotret foto. Luria mengatakan, aksi monyet tak masuk dalam kategori 'orang yang alami'. 

Luria mengatakan, kasus swafoto monyet Naruto tergolong rumit, sebab melibatkan bukan manusia. Sementara itu, kasus swafoto yang mirip yakni debat kepemilikan swafoto yang dirilis aktris Amerika Serikat pemenang Emmy Award sebagai komedian terbaik, Ellen DeGeneres pada 2 Maret 2014. 

Dalam swafoto ramai-ramai bersama aktor dan aktris pada malam penghargaan itu, yang memencet tombol rana pada smartphone yakni aktor Bradley Cooper. 

Nah, menurut Luria, perlu kesepakatan dalam konteks swafoto aktris tersebut. 

"Tiap kesepakatan (hak cipta kepemilikan) antara Ellen DeGeneres dan sang fotografer sebaiknya diatur mengenai pemotretan itu," ujarnya. 

Dalam hal tidak ada kesepakatan kepemilikan foto, orang yang menekan tombol rana umumnya dianggap pemilik hal cipta atas foto atau gambar yang dihasilkan.  

Pendapat berbeda disampaikan oleh pengacara media Britania, Christina Michalos. Dikutip dari ITV News, dia menuturkan, berdasarkan hukum Britania atas karya seni yang dihasilkan komputer, dapat diperdebatkan bahwa sang fotografer bisa saja memiliki hak cipta atas foto itu, karena ia yang memiliki dan pastinya telah menyiapkan kameranya. 

Pengacara dari kantor hukum Bircham Dyson Bell, London, Serena Tierney berpendapat, jika Slater menyiapkan perangkat kameranya, sudut pemotretan dan pengaturan lainnya, sedangkan sang monyet hanya menekan tombol, maka Slater layak mengklaim foto itu sebagai hak ciptanya dalam wilayah hukum Britania Raya. 

Curhat Sang Fotografer

Slater memang tak mengira swafoto itu bakal menjadi sengketa bertahun-tahun. 

Atas kasus hukum yang menyeret swafoto yang diklaim miliknya itu, Slater mengaku telah menderita kerugian atas potensi pendapatan yang diterimanya. Slater menghitung, dia memungkinkan mengantongi 40 juta pound sterling atau Rp693 miliar atas swafoto itu. 

"Hasil dari foto-foto ini seharusnya membuat saya nyaman saat ini. Tapi ternyata tidak demikian," keluh Slater.

Meski merasa pahit, dia meyakini ada manfaat dari swafoto itu. Dia meyakini fotonya itu telah membantu menyelamatkan monyet hitam Sulawesi itu dari risiko kepunahan. 

"Hewan-hewan ini sedang terancam punah dan karena satu foto, mudah-mudahan akan menciptakan ekowisata yang cukup untuk membuat penduduk setempat menyadari ada alasan bagus menjaga monyet-monyet ini tetap hidup," katanya dikutip The Guardian

Sang fotografer berharap swafoto tersebut bisa disumbangkan untuk menyelamatkan monyet hitam tersebut. "Itu niatan (saya) sebenarnya selama ini," katanya.

Slater mengatakan, tak ingin terus terjebak dalam peliknya kisruh hak cipta swafoto tersebut. Dia kini mengaku ingin 'lari' dari masalah itu dengan mengisi aktivitas lain. 

"Saya mencoba menjadi pelatih tenis. Saya berpikir untuk terus berjalan, sebab saya tak menghasilkan cukup uang untuk membayar pajak penghasilan," ujarnya. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya