SOROT 513

Siasat Hidup di Negeri Bencana

Kerusakan bangunan akibat gempa bumi di Lombok.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Zabur Karuru

VIVA –  Minggu malam, 5 Agustus 2018, pukul 18.46 WITA. Kumandang azan menunjukkan sudah memasuki waktu salat Isya. Warga sekitar Musala As Syuhada BLK di Jalan Imam Bonjol, Kota Denpasar, Bali, siap-siap berwudu untuk menjalani ibadah salat lima waktu tersebut.

Sang imam salat Isya, Syekh Arafat, juga sudah siap memimpin salat dengan sejumlah makmum di belakangnya. Salat berjalan seperti biasa hingga rakaat pertama selesai. Syekh Arafat kemudian berdiri dan memulai rakaat kedua dengan bacaan Alfatihah.

Belum usai imam membaca Alfatihah, tiba-tiba masjid terguncang. Guncangan mulai dirasakan para jemaah yang tengah menunaikan salat.

Jemaah awalnya berdiri seperti biasanya, sontak berhamburan meninggalkan shaf. Hanya beberapa saja yang tetap bertahan melanjutkan salat bersama Syekh Arafat. Sang imam dengan khusyuk tetap melanjutkan bacaan. Syekh Arafat sempat terdiam setelah bacaan Alfatihah sembari tangan kirinya menempel di dinding untuk menahan agar tidak terjatuh.

Ia pun melanjutkan bacaan surat Albaqarah (255) atau ayat Kursi. Saat memulai ayat, guncangan semakin hebat. Imam sampai mengulang permulaan ayat Kursi hingga empat kali. Jemaah yang tersisa segera merapatkan shaf yang kosong. Syekh Arafat akhirnya melanjutkan bacaan salat berjamaah hingga selesai.

Imam salat di Musola Asyuhada Denpasar saat terjadi gempa bumi.

Umat Islam di Denpasar tetap meneruskan salat meski diguncang gempa  

Gempa Bumi berkekuatan 7 skala richter (SR) mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat dan Bali pada Minggu malam, 5 Agustus 2018, sekira pukul 18.46 WITA. Guncangan dirasakan masyarakat yang tinggal di wilayah Lombok dan Bali.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencata,t hingga Jumat pagi 10 Agustus 2018 sudah terjadi 451 kali gempa bumi susulan, dan 20 di antaranya dirasakan sangat kuat, usai gempa besar 7 SR.

BMKG juga sempat mengeluarkan peringatan dini tsunami sebelumnya akhirnya dicabut beberapa jam kemudian. Gempa Minggu malam tidak hanya mengguncang Lombok.

Getaran Gempa juga dirasakan di Bali. Orang-orang berlarian panik keluar dari rumah dan hotel mereka di Bali, kendaraan bergoyang-goyang.  

Gempa 6,6 Magnitudo Guncang Lombok, Tembok dan Kaca Rumah Bergetar

Sebagai informasi, gempa pada Minggu malam adalah gempa mematikan kedua dalam sepekan yang melanda Lombok. Pada 29 Juli 2018, gempa di Lombok berkekuatan 6,4 SR yang menewaskan 16 orang orang dan ratusan rumah rusak.

Beberapa di antaranya roboh dan menewaskan orang-orang di dalamnya. Lalu yang terbaru, gempa kembali mengguncang Lombok berkekuatan 6,2 SR pada 9 Agustus 2018.

Gempa Bumi Mengguncang Lombok

Kala berbincang dengan VIVA, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, bicara Lombok, ada dua kontrol utama terjadinya gempa.

Pada tahun 1800-an, di Lombok dan sekitarnya, terutama di patahan Flores memang pernah terjadi gempa beberapa kali, bahkan sampai menimbulkan tsunami.

Aktor Hollywood Jack Black Galang Dana untuk Bangun Sekolah di Lombok

Artinya, kondisi alam di sana itu dikontrol oleh patahan naik atau sesar naik Flores. "Itu yang ada di sebelah utara. Yang kedua, dikontrol oleh tumbukan penunjaman lempeng Samudera Hindia yang menghunjam atau menusuk masuk ke arah lempeng Benua Euro Asia di bawah Lombok," ujar Dwikorita.

Kerusakan bangunan akibat gempa bumi di Lombok

Kerusakan akibat gempa di Lombok

Jadi, di sekitar Lombok, ada lempeng Benua Australia, lempeng Asia, serta di sebelah Timur terdapat lempeng Samudera Pasifik. Data-data yang diperoleh BMKG menyebutkan, lempeng-lempeng ini terus bergerak, bahkan ada yang berkecepatan 71 mm per tahun ke arah Euro Asia. Artinya, pergerakan ini mengarah ke lempeng Benua Australia.

Dari pantauan, lempeng Samudera Pasifik juga tidak tinggal diam. Lempeng ini relatif bergerak ke arah Barat Daya dari Timur Laut dengan kecepatan 110 mm per tahun, lebih tinggi dibanding pergerakan lempeng Benua Australia. Jika terjadi tabrakan atau menghunjam, maka lempeng ini akan menusuk ke bawah.

"Dan Lombok masuk di dalam daerah penunjaman itu tadi. Perlu diketahui juga bahwa Pulau Lombok terbentuk karena adanya penunjaman lempengan yang membuatnya muncul ke permukaan," ujarnya menjelaskan.

Bahkan, ia melanjutkan, Pulau Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok, berada di sepanjang tunjaman, di mana pulau-pulau ini terbentuk akibat lempengan yang menunjam ke dalam lempeng Euro Asia. "Jadi, lempengan yang bertabrakan itu seperti tertekuk, sehingga muncullah pulau-pulau itu ke permukaan," tambah dia.

Dengan demikian, kalau berbicara Lombok maka ada dua sumber gempa. Pertama, pergeseran lempengan dari Samudera Hindia yang menyebabkan benturan. Kedua, disebabkan patahan lempengan yang menunjam ke Benua Euro Asia.

Secara keseluruhan, Dwikorita menuturkan Indonesia berada di jalur tektonik karena berada di atas lempengan Bumi, di mana terdapat patahan dan tumpukan. Akibat adanya tumpukan ini akan muncul magma-magma dari perut Bumi yang naik ke atas. Itulah mengapa muncul gunung-gunung berapi.

"Nah, gunung api ini konfigurasinya mengikuti jalur tumbukan yang disebut sabuk cincin api. Jadi tresor utamanya adalah tumpukan lempeng," ujarnya menjelaskan.

Lantas, dampaknya ke Indonesia apabila gunung api erupsi bisa menimbulkan kerugian jiwa ataupun harta. Karena itu dikatakan bencana. Tetapi, kata dia, kalau gunung api tersebut berada jauh di tengah lautan, lalu erupsi. Maka, apabila tidak ada  manusia bukanlah disebut bencana.

Dwikorita menegaskan Indonesia adalah negara rawan bencana, karena memang dari kondisi alamnya rentan terjadi erupsi gunung api dan juga rentan gempa.

Jika dibandingkan antara Jepang dan Indonesia bisa dikatakan aple to aple, dalam konteks kebencanaan. Tapi dari segi teknologi, Jepang jelas lebih maju. Meski begitu, dengan kemampuan teknologi yang kalah 20 tahun dibanding Jepang, Dwikorita melihat dari sisi kemampuan SDM Indonesia tidak kalah. "Jadi ini lebih ke skill. Teknologi okelah kita kalah. Tapi kalau bicara skill kita sama. Kan, yang melatih kita juga dari Jepang." 

Negeri Cincin Api

Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Rudy Suhendar menuturkan, secara geologi, memang Indonesia berada di cincin api atau di Ring of Fire. Oleh karena itu gejala patahan pasti ada.

"Bukan kita saja, Benua Amerika bagian barat juga ada patahan-patahan lempengan itu. Artinya, tidak ujug-ujug itu. Kita sudah mengetahui kondisi itu. Hanya saja memang persoalannya gempa itu kapan akan terjadi? Sampai sekarang misteri itu belum bisa kita ketahui secara pasti," kata Rudy kepada VIVA.

Untuk meminimalisir dampak bencana, langkah-langkah yang sudah dilakukan di antaranya mendeteksi empat bencana geologi, seperti aktivitas vulkanologi gunung api, gempa, tsunami, dan gerakan tanah. Cara lain membuat peta kawasan rawan bencana.

"Kita terus mensosialisasikan daerah-daerah rawan bencana itu agar diketahui masyarakat luas, maupun pemerintah pusat dan pemerintah daerah," papar dia.

Selanjutnya, dalam kebijakan penataan ruang, hal itu masuk ke dalam UU Kebencanaan Nomor 24 Tahun 2007 yang menyebutkan, agar penataan ruang memperhitungkan atau mempertimbangkan daerah rawan bencana, termasuk bencana gempa bumi.

Tujuannya supaya dalam menata tata ruang, ketika terjadi gempa atau bencana, tidak terjadi korban. "Kita juga terlibat dalam penetapan kebijakan-kebijakan lain, baik seperti tata ruang maupun untuk kebijakan pemerintah daerah," ungkapnya.

Peta lokasi gempa 6,2 SR di Lombok.

Peta lokasi gempa di Lombok

Namun kesadaran masyarakat masih menjadi salah satu kendala. Karena itu ia berharap ada sinergi antara pemerintah dan masyarakat. Mulai dari hulu sampai hilir. Mulai dari yang memetakan informasi kebencanaan sampai kepada yang mengimplementasikannya di lapangan. "Jadi harus sinergi semuanya," tambah Rudy.

Menurut Pakar Kebencanaan Puji Pujiono, apa yang terjadi di Lombok, di satu sisi, merupakan fenomena alam yang bertubi-tubi, namun sisi lainnya menunjukkan kepada masyarakat Indonesia agar bisa memahami rentannya kejadian ini. Sebab dampaknya sangat dahsyat bagi masyarakat, sehingga tidak sedikit yang sulit bangkit kembali.

Minimnya pemahaman masyarakat memicu dampak yang luas. Meski begitu, Puji mengakui sudah ada beberapa kemajuan yang bisa jadi pembelajaran, sehingga tidak ada kesan kalau Indonesia tidak pernah belajar dari suatu kejadian atau peristiwa.

Setidaknya sejak 2006 sampai sekarang ada Undang-Undang Penanggulangan Bencana yang digodok oleh Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) bersama DPR. Dan disahkan pada tahun 2007.

Dari UU ini juga lahir Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang dipimpin pejabat setingkat menteri, di mana ada pengaturan-pengaturan yang lebih baik lagi.

Ia menyontohkan bencana yang terjadi di Yogyakarta beberapa waktu lalu, di mana bencana  terjadi di tempat yang memiliki akses yang relatif baik. Masyarakatnya juga relatif kohesif. "Lalu kita melihat bencana gempa di Padang 2009, maka strategi yang dikembangkan di Yogya tidak bisa begitu saja digunakan di Padang. Karena "sidik jarinya" pasti berbeda," ujar salah satu pendiri MPBI ini.

Warga mengangkat sepeda dari reruntuhan rumah yang rusak akibat gempa bumi di Lombok Barat, NTB

Banyak bangunan hancur akibat dihantam gempa Bumi di Lombok

Karena sidik jarinya berbeda itulah maka pendekatan basis masyarakat pun akan berbeda. Artinya, pendekatan di Yogya yang dilakukan oleh Sultan Hamengkubuwono X, jika ditarik ke bencana Lombok akan berbeda. Belum lagi dari sisi akses yang berbeda antara di Yogya dengan Lombok.

Ditilik dari masalah kerentanan masyarakatnya, dalam artian kesenjangan antara kemiskinan dan kecukupan, di Lombok lebih tajam ketimbang di Jawa. Hal ini menjadi persoalan tersendiri. "Logistik dan respondennya kalau di Pulau Jawa hari kesekian sudah bisa terdata. Kalau di Lombok mungkin lebih susah lagi," ujar mantan Kepala Kantor Regional Asia Timur dan Tenggara Badan PBB yang mengurusi soal Kemanusiaan (UN OCHA) ini.

Artinya, setiap kasus bencana maka cara penyelesaiannya berbeda-beda. Hanya saja tidak ada batasan excellent atau sempurna dalam menangani bencana. "Botton line-nya apakah sudah direspons atau belum? Tentu sudah direspons," kata dia.

Puji lalu membandingkan karakteristik masyarakat Jepang dan Indonesia, di mana rakyat negeri Matahari Terbit itu lebih tangguh terhadap bencana.

"Saya perhatikan, mereka melihat bencana itu sebagai bagian dari siklus kehidupan. Setiap anak di Jepang itu diberitahu bahwa kalian tidak sedang tinggal di surga, kalian di tempat yang bisa terjadi fenomena alam karena banyak hal," jelas dia.

Dari unsur pemerintahan, Jepang mempunyai kultur melayani. Mereka sadar sebagai mesin administrasi, mesin politik yang dibuat untuk melayani masyarakat.

Ia menyontohkan di Negeri Matahari Terbit itu jika ada jalan rusak, dikerjakan malam, dan paginya tidak ada bekas. "Kalau mereka membongkar bangunan itu dibungkus dahulu dengan plastik sehingga debunya tidak bertebaran." (umi)

Baca Juga

Dari Banjir hingga Gempa

Belajar dari Saudara Tua 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya