SOROT 515

Jurus Timses Trump Gegerkan Amerika

Donald Trump (kanan) dan Hillary Clinton (kiri) saat berkampanye memperebutkan kursi Presiden AS.
Sumber :
  • REUTERS/Carlos Barria/Jonathan Ernst

VIVA – Panggung yang penuh gemerlap itu mendadak sunyi. Proses penghitungan suara versi cepat alias quick count hasil Pemilihan Presiden di Amerika Serikat sudah memasuki babak akhir. Perolehan suara Donald Trump terus bergerak naik, sementara perolehan suara Hillary Clinton stagnan. Ini menjadi salah satu fenomena paling kontroversial dalam sejarah Pemilu di AS.

Gedung Jacob K. Javits Convention Centre di Manhattan, New York City, yang sedianya akan menjadi saksi pidato kemenangan Hillary Clinton mendadak sepi. Seluruh pendukung Clinton yang hadir di gedung tersebut melongo tak percaya menatap layar besar yang menayangkan proses penghitungan suara.

Beberapa di antara mereka menutup wajah dengan kedua telapak tangan, bahu mereka terguncang menahan tangisan. Sementara yang lain saling berpelukan, menggenggam tangan dengan erat, atau memeluk bahu rekan di sebelahnya. Satu hal yang sama, mata para pendukung Hillary berkaca-kaca, dan banyak yang tak mampu menahan airmata.

Seorang pendukung Hillary tak kuasa menahan tangis menghadapi kekalahan.

Seorang pendukung HIllary Clinton tak kuasa menahan tangis saat kalah di Pilpres Amerika. (REUTERS/Shannon Stapleton)

Pendukung Hillary patut kecewa. Sejak Partai Republik dan Demokrat sudah memiliki calon presiden pasti sebagai representasi partai, nama Hillary sebagai wakil dari Partai Demokrat terus memimpin. Sementara Donald Trump yang mewakili Partai Republik malah menjadi bulan-bulanan. Nyaris semua jajak pendapat yang dilakukan lembaga polling di AS menempatkan Hillary sebagai pemenang, meski dengan selisih suara yang tipis. Kalau pun ada lembaga survei yang memenangkan Trump, lembaga itu dianggap bukan lembaga yang kredibel.

Bahkan, hingga sepekan jelang pilpres digelar pada November 2016, nama Hillary di lembaga survei tetap teratas. Tak heran, persiapan tim kampanye Hillary untuk menyambut kemenangan cukup maksimal. Gedung Jacob K.Javits Convention Centre, sebuah gedung pertemuan yang mewah dan megah mereka sewa. Lampu gemerlap dengan tatanan panggung yang elegan disiapkan. Ribuan pendukung Hillary dari sekitar New York berdatangan ke gedung tersebut, siap menyambut pesta kemenangan.

Tapi suratan bicara beda. Hillary menerima takdir menyakitkan. Ia yang cemerlang, cerdas, elegan, berhasil dipatahkan oleh seorang pengusaha berambut pirang yang urakan, berkata asal, dan penuh laporan skandal.  Butuh beberapa jam bagi Hillary untuk sejenak menepi dan membiarkan pendukungnya menunggu dengan setia.

Setelah akhirnya mampu mengatasi kondisi emosionalnya, Hillary berjalan ke dalam gedung. Berdiri di tengah panggung, dan mengakui pada penggemarnya, bahwa kekalahan itu menyakitkan dan itu bisa berjalan lama. Tapi ia meminta seluruh pendukungnya untuk menerima kekalahan tersebut. "Donald Trump akan menjadi presiden kita. Dan saya berharap ia akan menjadi presiden yang sukses bagi seluruh rakyat Amerika," ujarnya dengan nada tercekat, seperti dikutip dari USA Today, 11 November 2016.

Donald Trump: Kami Akan Rebut Kembali DPR dan Gedung Putih

Hari itu, 10 November 2016, rakyat Amerika mendapatkan presiden baru. Tak sepenuhnya bisa diterima, tapi kemenangan Trump membuktikan, ia dan timnya sukses menguasai pertarungan.

Meramu Timses

Menteri Luar Negeri AS Era Trump Dinyatakan Melanggar Aturan Etika

Proses pemilihan presiden di Amerika Serikat yang diikuti oleh Hillary Clinton dan Donald Trump adalah contoh nyata bagaimana tim sukses atau tim pemenangan bekerja. Donald Trump, tokoh penuh kontroversial, yang suka sembarangan bicara, melecehkan perempuan dan terkesan urakan berhasil menyalip dan menyisihkan Hillary Clinton, mantan ibu negara, mantan Menlu AS, perempuan anggun yang terdidik dan terpelajar, dan berhasil menguasai polling di berbagai lembaga survei.

Kerja keras timses Trump berhasil menjungkirbalikkan semua persepsi dan hitungan jajak pendapat. Padahal tim sukses Trump tak bisa dibilang solid.

Biden dan PM Jepang Rancang Persatuan Hadapi China

Trump bahkan sempat melakukan bongkar pasang dalam jajaran tim suksesnya. Kondisi tersebut berbeda dengan timses Clinton yang sejak awal solid dan terus mengawal seluruh proses, sejak Clinton bersaing di internal Demokrat, hingga ia bersaing dengan Donald Trump.

Trump pernah melibatkan Corey Lewadowski, tapi memecatnya pada akhir Juni 2016. Ia lalu merekrut Paul Manafort. Hanya dua bulan, Manafort mengundurkan diri. Ia dibayangi kasus korupsi di Ukraina.

Mantan Ketua Tim Manajer Kampanye Donald Trump, Paul Manafort.

Mantan Ketua Tim Manajer Kampanye Donald Trump, Paul Manafort. (REUTERS/Jim Bourg)

Hanya dua empat bulan menjelang hari pemilihan, Trump akhirnya memiliki tim kampanye yang solid. 10 orang yang ia pilih bukan orang sembarangan. Mereka terkenal piawai dan berorientasi untuk menang. Trump menjadikan Stephen Bannon, sebagai Direktur Eksekutif di tim kampanyenya. Bannon adalah Direktur Eksekutif Breitbart News, situs berita dan opini.

Bannon meninggalkan posisinya di Breitbart News untuk bergabung dengan tim kampanye Trump. Untuk posisi manajer kampanye, Trump merekrut Kellyanne Conway, politisi dan aktivis perempuan dari partai Republik. Conway sebelumnya bergerak untuk Ted Cruz, namun setelah Cruz kalah, Trump langsung merekrutnya.

Posisi deputi manajer kampanye dipegang oleh Michael Glassner, yang pernah terlibat dalam tim kampanye George W.Bush Jr, juga Sarah Palin. Trump memposisikan Sam Clovis sebagai penasihat. Ia adalah seorang publik figur, mantan anggota US Air Force, mantan penyiar radio dan akhirnya menjadi politisi.

Untuk Penasihat Keamanan Nasional Trump melibatkan Walid Phares, seorang akademisi keturunan Lebanon yang juga pakar teroris dan Timur Tengah.

Trump juga tak menganggap remeh peran media, termasuk media sosial. Sejak 2011, Trump sudah memiliki Justin McConney, seorang anak muda yang secara intens mengawasi media sosial Trump. Ia yang menyarankan agar Trump secara rutin menuangkan isi pikirannya melalui Twitter, membuat youtube, Vine, dan Instagram. Mcconney mampu melejitkan follower Trump di Twitter. Dari hanya 100.000 follower pada 2011, menjadi lebih dari 13juta pada 2016.

Trump juga mengangkat Daniel Scavino Jr sebagai tim media sosial. Scavino adalah imigran Italia yang merintis karier dari bawah sebagai caddy khusus Trump. Ia terus bergerak sampai menjadi General Manager di lapangan golf milik Trump, hingga Trump melibatkannya sebagai Direktur Sosial Media.

Hope Hicks di jamuan makan malam kenegaraan Jepang untuk Trump

Hope Hicks di jamuan makan malam kenegaraan Jepang untuk Trump. (REUTERS/Jonathan Ernst)

Untuk posisi Sekretaris Pers dan Juru Bicara Trump mengangkat Hope Hicks, seorang konsultas PR terkenal di AS. Lalu ada Katrina Pierson sebagai Juru Bicara. Katrina Pierson adalah pribadi unik. Ia keturunan Afro Amerika yang pernah mencuri pakaian karena tak punya baju untuk wawancara kerja. Ia dihukum dan dipenjara. Keluar dari penjara ia melanjutkan sekolah hingga akhirnya menjadi aktivis Tea Party, sebuah gerakan akar rumput Partai Republik yang kerap menyuarakan isu-isu ketimpangan dan pengurangan hutang.

Khusus untuk menjangkau warga kulit hitam, Trump merekrut Omarosa Manigault. Seorang artis reality show dengan tayangan terkenalnya, The Apprentice. Ia juga seorang penulis dan akhirnya bersedia terlibat membantu Trump hingga memenangkan pemilihan presiden.

Strategi Wujudkan Kemenangan

Kemenangan Donald Trump atas Hillary jelas tak lepas dari kerja keras dan kerja cerdas tim sukses Trump. Mereka mampu melihat titik-titik krusial yang tak dilihat oleh tim Hillary.

Tim sukses Trump mengabaikan semua hasil jajak pendapat dan memilih serius menggarap beberapa area yang berpotensi mendongkrak perolehan suara Trump, juga menawarkan isu baru di area yang potensial tersebut.

Tak heran, meski diterpa berbagai skandal, termasuk skandal seksual di hari-hari menjelang pemilihan presiden, tapi ternyata ada kantong-kantong dengan suara solid yang berhasil dirampas oleh tim sukses Trump.

Dan ternyata kantong suara itu berhasil menyumbang suara kemenangan untuk Trump secara signifikan. Dikutip dari BBC, ini adalah beberapa hal yang berhasil dimainkan oleh tim sukses Trump hingga berhasil mendulang suara:

1. Menguasai Ohio, Florida, dan North Carolina. Tiga negara bagian ini termasuk wilayah yang menentukan kemenangan kandidat presiden AS. Tim kampanye Trump bergerak di tiga negara ini, di mana kelas pekerja di wilayah tersebut merasa kerap tak mendapat perhatian dari elit dan kelas mapan. Bagi mereka, Clinton masuk dalam kategori kelas mapan. Itu sebabnya mereka meninggalkan Demokrat dan beralih ke Republik. Warga tiga wilayah itu menolak Clinton dan membuka pintu untuk Trump.

2. Trump dianggap memiliki daya tarik pribadi yang besar. Sehingga seburuk apapun cerita yang muncul, pribadi Trump tetap menarik. Pribadi yang dianggap menarik itu dimainkan oleh tim kampanyenya. Trump dibiarkan menjadi dirinya sendiri.

Senator John McCain

Senator John McCain. (REUTERS/Brian Snyder)

Ia mengejek politikus dan veteran perang John McCain, adu mulut dengan Fox News dan pembawa acaranya Megyn Kelly, menolak pertanyaan dari wartawan CNN, mengejek peserta ratu kecantikan dan setengah hati saat meminta maaf dalam kasus video yang menunjukkan ia sangat merendahkan perempuan.

Dalam tiga debat presiden, ia juga tak tampil meyakinkan. Tapi tampilan Trump yang seperti itu ternyata mampu menarik publik. Agak aneh memang, urakan dan melecehkan, tapi publik Amerika tetap memilihnya.

3. Memanfaatkan kejenuhan warga AS atas dominasi kelompok mapan. Persaingan menyingkirkan kelompok mapan oleh timses Trump bahkan sudah dimulai sejak masih bersaing di internal Partai Republik. Trump menyisihkan Marco Rubio, Ted Cruz, Chris Christie, Ben Carson, yang lebih populer dan mampu membuat mereka bertekuk lutut.

Bisa jadi, ia naik dan populer karena berani 'melawan' tokoh-tokoh mapan Republik. Langkah Trump melawan tokoh-tokoh mapan ini mengesankan bahwa dirinya adalah orang luar dan orang independen. Ia diuntungkan oleh kondisi ketika warga AS 'sudah tak ingin lagi melihat' kelompok mapan berada di panggung politik AS. Trump berhasil merebut kejenuhan itu dan akhirnya melenggang hingga Gedung Putih.

4. Timses Trump secara jitu memainkan kasus penggunaan email pribadi Hillary Clinton saat masih menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Keputusan Direktur FBI James Comey yang mengeluarkan surat berisi keputusan FBI untuk membuka lagi kasus penggunaan email pribadi dalam korespondensi Clinton saat menjabat sebagai Menlu memberi nafas segar bagi konsolidasi di timses Trump. Apalagi Hillary dan timnya terlihat 'sangat terganggu' dengan keputusan FBI tersebut.

5. Trump dan timsesnya memilih terjun langsung ke lapangan dengan mengunjungi para pemilih di Wisconsin dan Michigan. Padahal sejumlah analis politik sangat yakin, wilayah tersebut tak mungkin dimenangkan oleh kubu Partai Republik. Tapi mereka tetap datang. Trump dan timsesnya memang tak mengetok pintu warga, ia lebih suka menggelar rapat-rapat akbar seraya mengirim pesan agar warga menggunakan hak suara.

Capres AS Hillary Clinton saat berkampanye di Detroit, Michigan, Amerika Serikat

Capres AS Hillary Clinton saat berkampanye di Detroit, Michigan, Amerika Serikat. (REUTERS/Lucas Jackson)

Sebenarnya, kampanye yang dilakukan Trump kalah rapi dengan kampanye yang dilakukan tim Clinton. Anggaran kampanyenya juga lebih sedikit. Dan tak sedikit yang mengecam cara-cara kampanye Trump dan timnya. Tapi Trump dan timsesnya tak peduli. Mereka tak surut dengan omongan orang, dan terus melangkah dengan cara mereka sendiri.

Timses Trump berjuang dari nol hingga mampu membalikkan angka. Meski dilecehkan dan menjadi bahan bulan-bulanan, di akhir cerita publik Amerika dibuat terperangah dengan kemenangan Trump.

Timses dua kandidat Presiden RI selayaknya belajar dari perjuangan timses Donald Trump, yang mengabaikan semua perhitungan namun terus menjalankan semua strategi dengan konsisten hingga berhasil menyalip dan memetik kesuksesan. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya