SOROT 531

Bumerang Selebgram

Gelar perkara kasus kosmetik endorse artis di Surabaya, Jawa Timur
Sumber :
  • VIVA/Nur Faishal

VIVA – Medio 2015, penyanyi dangdut yang meniti karier dari bawah, Nella Kharisma ngerumpi dengan penyanyi dangdut muda lainnya yang berusia 20 tahunan, dalam jeda sebuah acara.

Analis Ungkap Peran Penting Influencer Marketing dalam Pengembangan Bisnis

Seperti lazimnya wanita bertemu sesama wanita, mengobrol sana sini, curhat ngalor ngidul soal kehidupan, apalagi mereka adalah rekan seperjuangan. Di sela obrolan santai tersebut, teman Nella, Karina Indah Lestari (KIL), menunjukkan produk kosmetik. Nella kaget dan bingung kenapa rekannya membawa sampel produk kosmetik.

"Oh kamu jualan ini ya sekarang," respons Nella kala itu.

3 Poin Penting untuk Sukses Sebagai Influencer Marketing

Karina pun tak canggung soal kosmetik yang dia pamerkan. "Iya Mbak Nella," kata Karina, seperti diceritakan manajer Nella, Cakrul.

Sebagai penyanyi yang senasib meniti karier, Karina pun meminta Nella untuk menjajal kosmetik yang ia bawa tersebut. Pesannya, jangan cuma dicoba tapi bantu promosikan juga.

Satgas Waspada Investasi OJK: Binary Option Diblokir, Muncul Lagi

Gelar perkara kasus kosmetik endorse artis di Surabaya, Jawa Timur

Gelar perkara kasus kosmetik ilegal yang diendorse sejumlah artis 

Gaung bersambut, Nella pun mencoba barang dari temannya dan sesuai permintaan Karina, Nella mempromosikan alias meng-endorse di akun media sosialnya. Produk kosmetik itu berlabel Derma Skin Care.

Nella berniat membantu teman. Tapi siapa sangka pekan lalu, publik dibuat terkejut dengan gelar perkara Polda Jawa Timur. Produk Derma Skin Care adalah kosmetik abal-abal alias ilegal. Kosmetik ini belum mengantongi sertifikat dan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Penyidik Polda Jawa Timur mengungkapkan, kasus ini terbongkar berkat laporan dari masyarakat. KIL yang merupakan produsen kosmetik tersebut, ditetapkan tersangka oleh penyidik Polda Jawa Timur.

Dari mulut KIL, penyidik mendapatkan fakta distribusi dan promosi Derma Skin Care sudah masif, melibatkan promosi offline dan online lewat sejumlah artis populer. Beberapa pesohor yang sudah mempromosikan kosmetik ilegal itu adalah duo penyanyi dangdut Via Vallen dan Nella Kharisma dan sejumlah artis lain.

Penyidik memprioritaskan pemeriksaan pada Via Vallen dan Nella Kharisma, sebab keduanya merupakan asli Jawa Timur. Polisi mengungkapkan, bisnis kecantikan KIL ternyata sudah berjalan sejak dua tahun lalu. Selain layanan perawatan, KIL juga menjual produk kecantikan oplosan. Pelanggannya mencapai 18 ribu orang dan usahanya beromzet Rp300 jutaan per bulan. Dengan keuntungan sebesar itu, wajar jika tersangka mampu membayar honor artis endorse Rp7 juta-Rp15 juta per pekan.

Melalui manajernya, Cak Rul, Nella mengakui memang mempromosikan kosmetik Derma Skin Care yang ramai belakangan. Namun Nella membantah tarif endorse yang diberitakan. Nilainya tak sebesar yang diberitakan. Cakrul mengungkapkan, Nella mempromosikan Derma Skin Care dengan niat membantu teman sehingga dia tak memasang tarif yang setinggi langit. Nella disebutnya memang beberapa kali menerima jasa endorse produk, namun tak terbilang sering.

"Sebenarnya yang sering itu kenalan, terus minta bantu promosikan, berawal berasaskan teman. Jadi enggak ada lah nilai komersial sekian juta itu. Yang sekian juta per minggu gitu, enggak lah," ujar Cakrul dihubungi VIVA.

Via Vallen Garap Lagu untuk Kampanye Pilgub Jatim

Penyanyi dangdut Via Vallen

Sedangkan Via Vallen masih irit bicara soal kasus yang menyeretnya. Saat kabar kosmetik ilegal ini ramai di Tanah Air, Via Vallen sedang menunaikan ibadah umrah. Dia pun berkomentar menanggapi postingan penggemarnya di Instagram.

Penyanyi yang kian melejit lewat lagu 'Sayang' itu hanya bisa bersabar menghadapi kasus ini.

"Udah nikmatin saja, Allah nggak akan ngasih ujian di luar batas kemampuan manusia, jadi seloww saja," tulisnya di akun Instagram.

Sikap santai juga muncul dari Nella. Cakrul mengatakan, artis asuhannya itu tak panik atau merasa takut dengan kejadian itu. Sebab Nella meyakini, dalam kasus ini, dia bukan penipu.

Sasar Milenial

Bisnis promosi atau endorse produk makin populer belakangan ini, seiring dengan maraknya penggunaan media sosial dan platform digital. Profesi endorser muncul sebagai wujud pengaruh media sosial untuk menggaet pelanggan. Umumnya endorser dipakai perusahaan atau entitas bisnis untuk menyasar target kaum milenial.

Media sosial dan bisnis endorse ini telah melahirkan pesohor baru yang bukan artis besar atau lahir dari layar kaca.

Pengamat media sosial Nukman Luthfie mengatakan, endorse dengan media sosial merupakan cara yang efektif untuk menggaet target kaum milenial. Menurutnya, kekuatan media sosial bisa mengambil dari gaya hidup kaum milenial.

"Anak-anak milenial itu kan sekarang sudah jarang baca koran, jarang baca majalah. Nonton televisi makin jarang, dengar radio makin jarang, tapi aktivitas media sosialnya bisa tiga jam lebih dalam sehari," ujarnya.

Jejaring media sosial makin cocok untuk endorse. Sebab kata Nukman, kaum milenial hobi mengikuti atau menjadi follower akun para influencer di Facebook, Twitter maupun Instagram.

Telepon - smartphone - mobile phone - hp - gadget - internet - generasi milenial

Generasi milenial dan gadget

Sisi kekuatan media sosial ini tak lepas dari pengamatan artis atau pesohor. Mereka yang pada dasarnya sudah banyak penggemar maka tak heran punya follower ratusan atau jutaan dalam platform digital mereka. Belakangan ketika tren endorse muncul di media sosial, artis juga memanfaatkan momentum tersebut, mereka menyambut gaung mempromosikan brand tertentu di akun media sosial mereka.

Bahkan, bila diamati, Nukman mengatakan, tren endorse atau promo produk sudah dijejaki oleh kanal televisi. Saluran media konvensional ini berlomba-lomba menarik pemirsa lewat akun media sosial mereka.

Sayangnya, momen aji mumpung mendapatkan uang cukup dengan cuap-cuap dan testimoni sebuah produk di akun media sosial ini, tak selalu diiringi dengan ketelitian dan seleksi. Makanya muncul kasus endorse kosmetik ilegal tersebut.

Kepala Eksekutif SociaBuzz, Rade Tampubolon mengakui, brand palsu atau ilegal menjadi salah satu isu penting dalam industri influencer. Sebab, jelas brand atau produk yang ilegal tak terjamin kualitasnya dan merugikan konsumen.

Rade menilai, influencer kian hari terus muncul. Tapi sayangnya tak semua influencer itu teredukasi dalam menilai produk. Influencer menutup mata soal kualitas dan kesahihan produk yang dipromosikan, dan lebih mementingkan duit atau uang yang didapatkan.

"Ini menjadi tantangan tersendiri dengan adanya industri influecer. Belum semua teredukasi," ujarnya.

Dalam pengamatan Rade, influencer yang tak selektif itu umumnya terjadi pada mereka yang relatif belum terkenal. Influencer yang sudah punya nama, kata Rade, terbilang selektif sebelum memutuskan untuk mempromosikan brand atau produk di akun media sosial mereka.

Influencer terkenal umumnya akan melakukan riset, apakah produk sudah tersertifikasi BPOM atau belum, bagaimana kualitas produk, sampai mengecek pendapat orang lain atas produk yang bakal dipromosikan.

"Jadi enggak sembarangan juga. Sebab bisa menjadi backfire. Kalau produk nggak bagus atau jelek juga bisa berdampak bagi dia. Image dia menjadi jelek di mata follower dan masyarakat," ujarnya menjelaskan.

Nukman berpandangan serupa. Influencer jangan lupa untuk teliti dan berhati-hati. Dengan makin banyaknya produk atau perusahaan yang memanfaatkan jasa endorser, dia menyarankan sebelum memutuskan untuk mempromosikan produk, sebaiknya influencer mengecek status hukum atau legalitas produk, apakah berbahaya atau ilegal.

Lebih penting lainnya, influencer sebaiknya mencoba produk yang akan dipromosikan sebelum mengajak publik untuk menggunakan produk yang dimaksud.

"Para endorser atau artis lebih baik memilih produk yang dia pakai dalam mempromosikan produknya. Jangan mempromokan produk yang enggak pernah dia pakai. Itu yang paling penting," ucapnya.

Tak Asal Endorse

Pesohor sekaligus endorser yang selektif adalah pasangan Ruben Onsu dan Sarwendah. Pasangan ini memang punya produk komersial sendiri namun masih melayani jasa endorser. Mereka mengaku punya standard ketat untuk mempromosikan produk di kanal media sosial mereka. Sarwendah mengatakan, untuk endorser melibatkan tim manajemen yang terdedikasi.

Tim manajemen ini menyeleksi brand atau, produk apakah sesuai dengan image pasangan artis tersebut. Sarwendah memastikan produk yang dipromosikannya adalah yang benar-benar dia pakai sebelumnya. Biasanya Sarwendah akan mencoba produk tersebut, apakah berkualitas dan layak untuk dinikmati orang lain. Dia ingin manfaat brand atau produk juga bisa dirasakan oleh khalayak.

"Jadi aku endorse atau mengiklankan suatu produk itu berarti enggak mau bohong. Memang aku pakai, aku enggak mau cuma endorse aja, dapet penghasilan, gitu. Berasa bohongin orang," tuturnya.

Ruben & Sarwendah

Pasangan Ruben Onsu dan Sarwendah

Konsekuensi dari standar ketat itu, Sarwendah mengaku banyak menolak produk untuk diia promosikan. Dia mengatakan, lebih banyak mempromosikan produk atau brand yang benar-benar sudah legal mengantongi izin dan brand ternama. Dia menyadari konsekuensi tak mendapatkan hujan duit, tapi Sarwendah merasa lebih aman.

Prinsip yang dipegang Sarwendah dalam hal mempromosikan brand atau produk yaitu jangan sampai gara-gara satu dua kali endorser, produk yang enggak jelas kualitasnya, publik menjadi percaya dengan promosinya dan merugikan image produk lain yang dia promosikan.

Sarwendah blak-blakan pernah mendapat tawaran untuk promosikan produk Dermaster. Namun setelah diteliti, dia tak mengambil tawaran tersebut.

"Aku sih banyak nolak itu cuma manajemen yang lebih tahu karena mereka yang ngurusin," kata pesohor yang tarif endorse-nya di atas Rp15 juta ini.

Beauty influencer, Rachel Goddard juga punya standar ketat dalam mempromosikan produk atau brand. Mirip dengan pasangan Ruben dan Sarwendah, Rachel mengecek lisensi BPOM untuk produk makanan, kecantikan dan obat-obatan. Dia melihat juga profil influencer lain yang sudah mempromosikan produk yang akan di-endorse.

"Apakah mereka (influencer sebelumnya) trusted atau enggak. Produknya terjamin asli. Dan bila ada masalah apakah bersedia di take down dan segala macamnya," ujarnya.

Rachel juga akan menggunakan calon produk yang dia promosikan, untuk merasakan bagaimana kualitasnya. Cara ini, menurutnya, merupakan tanggung jawab moralnya sebagai influencer.

Meski influencer kecantikan, Rachel memilih produk tertentu. Dia tak mau mempromosikan produk pemutih, peninggi, pelangsing, ingin cepat hamil. Dia lebih memilih promosikan produk make up dan fesyen. Untuk produk pembesar payudara, selebgram Awkarin pernah mendapat hujatan dari netizen, bahkan anggota komisi kesehatan di DPR. Sayang, kasus itu tak pernah diusut. Polisi hanya sekedar mengimbau agar masyarakat lebih bijak terhadap promosi di media sosial.

Selebgram Awkarin endorse pembesar payudara

Awkarin mempromosikan pembesar payudara

Selain seleksi secara produk, untuk antisipasi permasalahan, Rachel mensyaratkan kontrak tertulis dalam promosi produk.

Untuk mengantisipai banyaknya produk ilegal yang jadi objek endorse, Rade memandang perlu untuk regulasi bisnis promosi lewat media sosial ini.

Di luar negeri contohnya, Rade mengatakan, influencer punya tanggung jawab moral, minimal terbuka dengan apa yang dia promosikan.

"Di luar sudah teregulasi, kalau influencer promosikan, mendapatkan bayaran dan produk gratis dari brand, mereka harus transparan dan terbuka. Saat posting pakai hashtag #ads #sponsor #partnership, supaya konsumen dilindungi. Di Amerika Serikat malah ada regulasi. Kalau nggak patuh, mereka kena legal issue," jelasnya.

Untuk di Indonesia, Rade menuturkan, industri influencer perlu regulasi semacam itu. Tujuannya, melindungi konsumen. Influencer jangan cuma seolah posting review, produk bagus dan efektif untuk kulit misalnya. Sebab kalau cuma promotif saja, itu kecenderungannya bisa membohongi konsumen

"Mereka harus disclose dan transparan, ini kolaborasi, ini postingan sponsor, ini adverstising, partnership dan lainnya," kata dia.

Matang dan teredukasi

Lepas dari noda influencer yang masih terseret produk ilegal, Rade melihat industri influencer di Indonesia saat ini sudah berjalan makin matang.

Pengguna media sosial kini banyak yang mengerti dan punya kesadaran tinggi bahwa platform digital kini bisa menjadi sumber penghasilan. Bahkan profesi konten kreator, YouTuber sampai influencer sudah ada pada memori cita-cita anak kecil era saat ini.

Industri yang makin teredukasi ini memberi dampak ragamnya produk dan kategori yang masuk dalam tren bisnis endorse. Rade mengatakan, dua tahunan lalu, baru brand besar yang eksploratif masuk ke industri influencer dan marketing, brand skala menengah dan kecil belum tergerak untuk menjejaki cara baru promosi produk tersebut.

Nah saat ini,sudah banyak bisnis yang sadar dengan endorse media sosial dan digital dengan melibatkan influencer untuk mempromosikan produk dan jasa mereka.

"Memang ada perubahan itu, pasar influencer kini lebih teredukasi. Kalangan marketer tahu bisnis endorsement merupakan channel marketing dan channel powerful di era sekarang," tuturnya.

sorot sosial media

Memasarkan produk di social media

Soal tarif, tren saat ini menurut Rade tak jauh berbeda dengan dua tahunan lalu, masih mirip-mirip. Kalaupun ada perubahan tarif dari influencer tertentu, dinamika itu merupakan dampak otomatis peningkatan jumlah follower dari pesohor atau selebgram. Rade mengatakan secara rasio, tarif influencer saat ini dengan dua tahunan lalu tak berubah signifikan.

Dari sisi demografi, Rade mengungkapkan, saat ini mayoritas influencer merupakan generasi milenial dan generasi Z dengan rentang usia 20-35 tahunan. Uniknya dari sisi kategori pria dan wanita, data SociaBuzz menunjukkan selebgram sampai blogger didominasi oleh kaum hawa, sedangkan untuk YouTuber masih didominasi kaum pria, meski jumlah YouTuber cewek terus meningkat.

Jika dilihat dari sisi bisnis, industri Fast Moving Consumer Goods (FMCG), elektronik, travelling, hotel sampai perbankan makin memanfaatkan jasa influencer.

"Hampir semua industri B2C (business to consumer) pakai influencer. Nyaris semuanya  pakai. Kalau industri B2B (business to business) agak jarang pakai karena mereka korporasi ya targetnya. Mereka targetnya companies yang lebih direct approach-nya," katanya.

Dia menuturkan, tren influencer sangat cocok untuk menyasar industri B2C. Apalagi produk yang sangat membutuhkan visualisasi sepetti makanan, fesyen, spot travel.

"Itu visual banget dan sangat cocok dipakai dipromosikan influencer. karena orang enggak nyari di Google, kalau orang lihat dan menarik, maka punya intention beli atau coba," tuturnya.

KOL dan e-Commerce di China

Untuk mematangkan industri influencer di tanah air, Rade berpandangan Indonesia perlu bercermin dari industri serupa yang berjalan di China.

Di Negeri Tirai Bambu, ekosistem influencer sudah matang malah sudah dikawinkan dengan platform perdagangan elektronik alias e-commerce.

"Kita lihat di China, itu TaoBao atau Tokopedia-nya China, di aplikasinya influencer sudah mempromosikan secara live streaming dan orang bisa langsung beli di aplikasinya. Sudah kawinkan KOL (key opinion leader), influencer dengan e-commerce," tuturnya.

Pola perkawinan influencer dengan e-commerce di China tercipta lantaran perubahan cara warga China mengonsumsi media. Di China, mayoritas entitas bisnis malah promosi melalui KOL dan influencer. Rade mengatakan, hal ini didukung dengan warga China yang kini tak terlalu melihat iklan, billboard, nonton TV. Rata-rata mereka sudah mengonsumsi media sosial sehari-hari.  

Untuk ke depannya, Rade optimis, ekosistem influencer di Indonesia bisa menjejaki apa yang sudah berjalan di China. Indonesia bisa mengelola kemunculan influencer di mana-mana menjadi kekuatan baru bagi penyokong industri ini.

Dalam prediksi Rade, dua tahun lagi, industri influencer di Indonesia bisa menyamai pola perkawinan dengan e-commerce.

"Menurut saya memungkinkan (seperti China) sebab industri e-commerce dan marketlace makin meluas, orang makin paham adanya e-commerce. kita lihat karakteristiknya di Indonesia, pembeliannya lebih mudah dipengaruhi juga oleh apa yang orang lain pakai dan konsumsi. Industri influencer di Indonesia kurang lebih ada kemiripan dengan China," jelasnya. [sar]

Baca Juga

Siapa Mengatur Social Media Influencer

Social Media Influencer dalam Angka

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya