-
VIVA – Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Jawa sebutannya. Tercatat sebagai figur dalam sistem kapitalisme dunia abad ke-19.
Oei Tiong Ham Concern atau OTHC adalah perusahaan konglomerasi pertama di Hindia Belanda yang dibangunnya. Gurita bisnis taipan era kolonial itu tak tanggung-tanggung. OTHC meliputi perkebunan tebu dan pabrik gula, perusahaan dagang, konstruksi pelayaran, konstruksi, perbankan hingga real estate.
Cerita sukses Oei Tiong Ham dimulai dari sang ayah yang sudah menurunkan perusahaan bisnis. Bertahun-tahun kemudian, cikal bakal bisnis warisan itu meluas dengan akuisisi setidaknya lima pabrik gula pada 1880-an oleh Oei Tiong Ham dalam usianya yang relatif muda memimpin usaha keluarga.
Ayahnya bernama Oei Tjien Sien datang dari Provinsi Fujian yang berada di bagian selatan Tiongkok. Tiga tahun setelah keluarganya berimigrasi ke Indonesia yang kala itu masih disebut Hindia-Belanda, Oei Tiong Ham lahir yakni pada 19 November 1866.
Oey Tiong Ham, konglomerat pertama di Asia Tenggara
Namun, cerita para imigran asal China bukan melulu kisah sukses. hanya potret segelintir warga Tionghoa keturunan maupun totok yang mampu mengukir nama besar dalam sejarah China di Nusantara.
Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, warga Tionghoa, yang merupakan imigran maupun sudah keturunan imigran tersebar di wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Mereka banyak bekerja di perkebunan-perkebunan sebagai buruh selain berdagang. Tak jarang mereka melakukan keduanya.
Namun, kedatangan warga Tionghoa ke Tanah Air pula bisa dirujuk mundur jauh ke belakang, sampai pada abad ke-4 dan ke-5.
Tersebutlah nama Biksu Fa Hien atau Fa Hsien. Menurut berbagai sumber literatur, Fa Hsien termasuk orang Tionghoa pertama yang menginjakkan kaki di wilayah Nusantara pada abad ke-4.
Pada awalnya dia sampai ke Jawa hanya untuk singgah saat menumpang kapal yang akan membawanya ke India. Wilayah Nusantara saat itu menjadi persinggahan alias transit, apabila mengikuti jalur yang dinamakan Jalur Sutra Maritim atau Nanhai maupun Nanyang.
Nanhai atau Nanyang merupakan jalur perdagangan yang sangat vital pada masanya. Melalui jalur ini, wilayah Tiongkok terhubungkan dengan Asia Tenggara, Asia Selatan, hingga semenanjung Arab terus ke Mesir bahkan benua Eropa. Nanyang sangat terkenal dan menjadi jalur utama perdagangan khususnya sejak abad ke-2 Sebelum Masehi hingga abad ke-15 Masehi.
Jalur perairan Nanyang antara lain Laut China Selatan, Selat Malaka, Samudra Hindia, Teluk Benggaa, Laut Arab, Teluk Persia, dan Laut Merah.
Peta Jalur Sutra Maritim China
Lihat Juga
Disebutkan, setelah Fa Hsien yang berhubungan dengan Tarumanegara, arus masuk orang Tionghoa terus berlanjut masuk ke Indonesia. Pada abad ke-9 di Jawa, komunitas mereka makin tampak.
Sebagian berdagang dan menetap secara temporal. Lainnya memilih untuk bermukim dan beranak-pinak, lantas hidup berbaur dengan masyarakat di Nusantara.
Peneliti dan pengamat pecinan Nusantara dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Agni Malagina, membenarkan soal sosok Fa Hsien yang termasuk pendatang awal dari China. Namun, menurut Agni, sejak abad ke-2, dengan adanya keberadaan Jalur Sutra, orang-orang luar memang sudah mulai masuk ke wilayah Nusantara termasuk para pedagang dari China.
Meski kedatangan mereka memang bukan untuk menetap, namun sebatas untuk kepentingan dagang. “Orang Tionghoa datang dan menetap setidaknya tercatat banyak mulai abad ke-14, ke-15, ke-16. Ramai datang dan mulai menetap,” kata Agni kepada VIVA, Kamis 31 Januari 2019.
Mereka masuk dengan menggunakan kapal atau dikenal dengan jung-jung yakni semacam kapal besar ekspedisi. Ekspedisi pada abad ke-15 utamanya diwarnai untuk kepentingan dagang dan diplomasi pada masa dinasti Ming.
Sebagian pedagang akan tinggal paling tidak untuk jangka waktu enam bulan, namun kembali lagi ke China. Lama-kelamaan ada yang berdagang dan menetap setelah membawa keluarga maupun menikahi perempuan Indonesia dan berketurunan di Nusantara.
Proses ini pula yang menjadi asal-muasal munculnya istilah sosiokultural China peranakan dan totok. China peranakan adalah mereka yang sudah lahir di wilayah Nusantara baik campuran maupun tidak.
Sementara itu, istilah totok merujuk mereka yang masih asli lahir di China, kemudian menjadi imigran. Walau demikian, lama-kelamaan istilah ini tidak terlalu signifikan digunakan lagi kecuali untuk kepentingan menelisik aspek sosiokultural.
"Kalau abad ke-19, ke-20 orang Tionghoa datang bisa dengan kapal biasa, belakangan kapal uap (abad ke-20). Mereka datang dari pelabuhan-pelabuhan pesisir selatan China, wilayah Fujian, Guangdong," ujar Agni.
Namun, selain faktor kepentingan dagang, diplomasi dan eksplorasi, kondisi tidak stabilnya politik dan keamanan di wilayah China menjadi alasan makin banyaknya orang Tionghoa yang masuk ke Nusantara. Kondisi politik rezim dinasti di China pada masa-masa tersebut penuh gejolak. Ekonomi pun cukup buruk.
Kondisi politik yang kacau akibat banyaknya pemberontakan dan kehidupan ekonomi masyarakat yang tertekan membuat orang-orang berusaha mencari tempat yang lebih baik untuk memulai hidup dan berpenghidupan. Tak heran, sebagian mereka akan menjadi tenaga kerja di wilayah tujuan baik secara legal maupun ilegal.
Pendatang China menumpang kapal biasanya tiba di wilayah dengan pantai-pantai dan pelabuhan di Nusantara. Di antaranya Aceh, Barus, Jambi, Palembang, Banten, Cirebon, Semarang, Lasem, Tuban, Gresik, Surabaya, Madura, Pasuruan, Bali, Sumba, Selayar, Makassar, Buton, Flores, Timor, Buton, Banda, dan Ambon.
Mereka kemudian menyebar ke wilayah-wilayah lainnya termasuk ke pedalaman dengan berbagai moda transportasi. “Menjadi kuli, berdagang, kerja untuk Belanda, swasta dan lainnya,” tutur dia soal pekerjaan yang biasa digunakan para imigran asal China.