SOROT 546

Mengembalikan Pamor Kopi Klasik

Kegiatan petani memetik biji kopi di hutan di Bandung, Jawa Barat
Sumber :
  • VIVA/Purna Karyanto

VIVA – Sejak 2010, pamor kopi di dunia meningkat. Konsumsi kopi di berbagai belahan dunia terus menanjak. Itu terlihat dari peningkatan produksi kopi pada setiap tahunnya.

Di Indonesia, dari data Kementerian Perindustrian, pertumbuhan produk kopi olahan dalam negeri meningkat lebih dari tujuh persen per tahun.

Itu didasari atas fakta adanya peningkatan konsumsi kopi domestik, sebesar 8,8 persen setiap tahunnya.

Makin banyak yang mengonsumsi kopi, ada pula kekhawatiran Indonesia akan jadi importir kopi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, pernah mengungkapkan kekhawatiran akan ancaman tersebut.

Fakta di lapangan memang bicara demikian. Bukan cuma bicara kuantitas dalam produksi. Namun, pemeliharaan dalam kualitas produksi juga jadi soal di Indonesia.

"Banyak petani di Indonesia yang masih belum paham betul bagaimana cara penanaman, pengolahan, hingga produksi pasca panen," kata Suradi, pemilik kedai Dunia Kopi Pasar Santa, kepada VIVA.

Suradi, Sosok di Balik Kios Dunia Kopi Pasar Santa Jakarta

Pemilik Kios Dunia Kopi, Suradi (47) saat berada di gudang kios yang berada di Pasar Santa, Jakarta. (VIVA/Dhana Kencana) 

Suradi menyatakan, sering mengunjungi beberapa daerah untuk berburu kopi dan melihat bagaimana para petani melakukan proses terhadap produk mereka.

Ada beberapa yang sudah paham, seperti penuturannya. Namun, masih banyak pula yang kurang mengerti cara mengelola kopi dan kebunnya dengan baik.

"Sampai, saya pernah dapat biji kopi yang baunya seperti minyak. Petaninya juga belum paham harus seperti apa," ujar dia. 

Untuk itu, harus ada perbaikan dalam proses produksi. "Untuk apa? Agar kualitas produksi terjaga, bukan cuma bicara kuantitasnya. Demi kelangsungan produksi kopi juga, kualitas di tanah perkebunannya harus dijaga," tutur Suradi.

Setali tiga uang, Uu Lendhanie, selaku mentor petani kopi di Desa Mekarjaya, Arjasari, Gunung Sangar, Kabupaten Bandung, menyatakan, harus ada keseimbangan dalam pengelolaan kebun kopi. Artinya, tak cuma memproduksi, tapi harus ada upaya pelestarian terhadap alam sekitarnya.

"Dari apa yang saya pelajari, hutan memberikan segalanya untuk tanaman. Ibaratnya, saling mendukung," ujar Uu. 

Pelestarian terhadap lingkungan juga penting. "Sebab, kopi nantinya akan jadi komoditi besar, diprediksi menjadi yang kedua setelah mineral dan energi," tuturnya.

Komoditas Menjanjikan

Tren coffee shop kini menjamur di Indonesia. Bukan cuma di kota-kota besar. Beberapa daerah juga terjangkit demam coffee shop.

Raksasa macam Starbucks, Tanamera, dan lainnya, kini harus bersaing dengan kedai-kedai yang punya brand sendiri. Dari fenomena ini, terbukti, tak cuma aroma kopi yang harum. Potensi bisnisnya juga sangat menggiurkan.

Pengakuan Suradi, 200 kilogram kopi bisa dijualnya dalam sehari. Variannya pun berbeda-beda.

Dan, pembelinya tak cuma dari dalam negeri. Turis mancanegara juga kerap datang ke Dunia Kopi Pasar Santa demi berburu kopi Indonesia.

“Ada dari Jepang, Korea Selatan, Rusia, Jerman, Prancis, Turki, dan lainnya. Kebanyakan dari mereka mau kopi Indonesia. Kaget juga, saat tahu saya jual kopi mancanegara," katanya. 

Geliat Kios Dunia Kopi di Pasar Santa Jakarta

Karyawan menakar biji kopi pilihan berkualitas pesanan pengunjung asal Rusia di kios Dunia Kopi Pasar Santa, Jakarta. (VIVA/Dhana Kencana)

"Tak menyangka, karena tokonya di pasar. Tapi, kopi mancanegara hanya variasi. Tetap, andalannya kopi Indonesia. Kenapa? Ini kebanggaan Indonesia, milik kita,” tegas Suradi.

Sebagai pelaku, Uu juga merasakan hal yang sama. Banyak permintaan yang datang dari luar negeri terhadap Kopi Leuweung Gunung Sangar. 

Namun, permasalahannya adalah belum adanya fasilitas pengiriman mumpuni yang mampu mengakomodasi kebutuhan dari negara lain.

“Formal, kami belum melakukan ekspor. Tapi, kalau kirim secara non formal ada juga. Pernah, kopi kami dikirim ke Belanda, dan lainnya. Ongkos kirim justru lebih mahal ketimbang harga kopinya, hahahahaha,” ujar Uu.

Kopi terlaris, menurut Suradi, saat ini bersifat relatif. Meninjau tren yang ada, kopi Jawa Barat sedang jadi buruan utama.

“Gayo, Mandheling, Sidikalang, yang dari Sumatera, banyak dicari. Tapi, Jawa Barat juga. Proporsinya sebenarnya sama," kata Suradi.

Misalnya, dia melanjutkan, dari total penjualan 200 kilogram per hari, 25 persen kopi Sumatera yang terjual. "Kopi Jawa Barat juga jumlah penjualannya sama,” tuturnya.

Rasa yang kaya dan unik menjadi alasan utama mengapa kopi Jawa Barat banyak dicari. Pun, kopi Jawa Barat merupakan klasik dan pionir di Indonesia.

Beberapa kopi Jawa Barat yang jadi andalan dan sering dicari, dijelaskan Suradi, adalah Gunung Puntang, Gunung Halu, Papandayan, Garut, dan lainnya.

Rasanya beragam pula. Seperti kopi Gunung Halu, yang memiliki aroma macam pisang. Belum lagi, kopi Gunung Puntang yang punya keunikan tersendiri dalam rasa buah dan tingkat pahitnya yang cukup kuat, disertai keasaman menengah.

“Di toko saya, ada 21 jenis kopi Jawa Barat. Jumlahnya bisa terus bertambah karena banyak varian yang memang enak rasanya,” ujar Suradi.

Namun, pasokan kopi Jawa Barat tak semuanya konsisten. Suradi menyatakan, ada kopi Jawa Barat yang timbul dan tenggelam.

“Masalahnya cuma itu. Padahal, fans kopi Jawa Barat banyak juga. Cara mereka dalam melepas produknya juga kadang ada yang tak cermat," katanya. 

"Sekali lepas, habis, stoknya tak ada lagi. Maka dari itu ada yang muncul dan hilang dalam sekejap,” kata pria yang juga memiliki kebun kopi di Garut tersebut.

Rekonstruksi Kebanggaan

“A Cup of Java” julukan ini begitu lekat kala kopi Jawa Barat pertama kali beredar di kawasan Eropa. Para penikmat kopi dari Benua Biru di masa kolonial, begitu mengagumi kekayaan cita rasanya.

Jadi pionir dalam industri kopi di Indonesia, Jawa Barat justru menurun pamornya usai masa kemerdekaan. Pamor kopi mereka malah kalah dari Aceh Gayo, Mandheling, Sidikalang, Flores, dan Toraja.

Lima kopi tersebut sejatinya muncul setelah kopi Jawa Barat berkibar. Bahkan, bibitnya dikirim dari Jawa Barat. Tapi, malah kelimanya berhasil merebut hati publik internasional lebih dulu.

Kenapa? Cukup rumit alasannya, bagai mengurai benang kusut. Kondisi internal dan eksternal punya peran dalam jatuh bangunnya kopi Jawa Barat.

Mulai dari adanya kebijakan pemerintah yang tak konsisten, hingga keterbatasan pengetahuan petani dalam pengolahan lahan, demi pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka secara pribadi.

“Pemerintah Provinsi Jawa Barat sedang berupaya mencoba meningkatkan kembali pamor kopi Jawa Barat. Dari mana? Mula-mula ya harus promosi," ujar Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.

Bicara kopi, Ridwan Kamil, menjelaskan, Jawa Barat sebenarnya perintis. Tapi, kemudian meredup. 

"Kini, kami berusaha mengembalikan pamornya. Kenapa sih kalah pamor dengan Aceh Gayo, Mandheling, dan lainnya, dukungan pemerintah mereka maksimal. Kira-kira begitu,” terang dia.

Geliat Kios Dunia Kopi di Pasar Santa Jakarta - gal

Biji kopi pilihan dan laris yang dijual di kios Dunia Kopi yang berada di Pasar Santa, Jakarta. (VIVA/Dhana Kencana)

Sebenarnya, kopi Jawa Barat mulai diperhitungkan kembali setelah pada 2016, biji kopi Gunung Puntang memenangi kompetisi di Atalanta, Amerika Serikat. Dalam kompetisi itu pula, kopi Gunung Puntang sempat mendapatkan label yang termahal. 

Satu kilogram kopi Gunung Puntang, ketika itu dihargai US$55 atau Rp760 ribu.

“Faktanya, cita rasa yang menentukan. Memang, kopi Jawa Barat punya cita rasa yang unik," ujar Kepala Bidang Produksi Dinas Perkebunan dan Kehutanan Jawa Barat, Yayan C Permana.

Dia menambahkan, coffee shop di Indonesia mulai banyak yang pakai Java Preanger (sebutan kopi Jawa Barat).  "Promosi gencar dilakukan. Dan, secara CV, kami sudah menang di beberapa kompetisi,” tuturnya.

“Brandung juga harus pakai tagline. Pakai #KopiJawara. Kenapa? Karena rasanya memang juara. Dan, kami sudah juara. Tagline penting dalam promosi,” kata Kang Emil.

Membangun kembali reputasi, perlu juga menata diri. Pengetahuan petani akan teknik bertanam sangat diperlukan. Pun, teknik pengolahan dalam panen hingga pasca panen sangat penting dimiliki.

Banyak pula, petani yang belum paham mengenai pemilihan biji kopi terbaik sesuai, atau sortasi sesuai grade.

“Masih ada petani, karena kurang pengetahuan, petiknya dicampur, merah, semu, maka dari itu pemerintah memberikan fasilitas dengan memberikan pendidikan ke beberapa petani,” ungkap Emil, sapaan Ridwan Kamil.

Ustaz Alfie Alfandy Ungkap Kebaikan Minum Kopi saat Ramadhan, Baiknya Diminum Buka atau Sahur?

Ridwan Kamil menyatakan, sudah ada beberapa petani yang menerapkan teknologi mutakhir dalam proses pengolahan kopi miliknya. Hanya saja, itu belum merata.

“Sempat ada keluhan, rasa kopinya tak seragam. Ada manis, kurang, dan lainnya. Ini tantangan bagi kami. Selain promosi, kami juga harus gencar memperbaiki kualitas,” ujar Ridwan.

Gak Kalah Sehat, Susu Kacang Mede Diklaim Rendah Kalori Hingga Bebas Kolesterol

Tantangan lainnya adalah peningkatan kesejahteraan petani. Ini menjadi salah satu masalah pelik yang dihadapi oleh pelaku kopi di Jawa Barat.

Sebab, ini menjadi faktor pendukung pula dalam urusan permodalan. Sudah ada skema perkebunan sosial dengan memanfaatkan lahan Perhutani. 

Gak Perlu ke Luar Negeri, Nongkrong ala Restoran Mewah New York Ada di Jakarta

Hanya saja, modal besar dalam urusan penyediaan alat dan fasilitas pasca panen menjadi PR lain.

Di Gunung Sangar, kondisi itu memang benar-benar terjadi. Keterbatasan fasilitas seperti green house, mesin roasting, dan lainnya, membuat para petani lewat LMDH dan pemerintah desa harus berjuang untuk mendapatkan bantuan dari pihak luar.

“Maka dari itu upaya dari pemerintah adalah mendorong petani kecil untuk berkelompok, dibina, serta didukung supaya menghasilkan produk dengan nilai tambah lebih tinggi," kata Yuyun. 

Selain itu, ia diberi motivasi untuk menjual produk hasil perkebunan tidak ke tengkulak, melainkan ke koperasi atau gabungan kelompoknya, dan secara online,” terang Yayan.

Mengembalikan kebanggaan kopi Jawa Barat nyatanya memang rumit. Namun, dengan didasari kerja sama dan adanya saling pengertian, bukan tak mungkin kopi Jawa Barat kembali menjadi raja. Kenapa? Modal mereka sudah ada, lantaran sejarahnya memang begitu kaya. (art)

Ilustrasi kopi.

Heboh Kopi Tanpa Kafein, Disebut Mengandung Bahan Pemicu Kanker

Kopi tanpa kafein kerap menjadi pilihan bagi orang-orang yang menghindari kafein namun ingin tetap mengonsumsi kopi. Namun sepertinya, Anda harus mulai mempertimbangkan.

img_title
VIVA.co.id
14 April 2024