SOROT 550

Tumbal Pemilu Serentak

sorot kpps meninggal dunia
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Didik Suhartono

VIVA – Kematian demi kematian yang menimpa petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara paska pelaksanaan pemilihan umum serentak 17 April 2019 lalu, belum juga berakhir. Hingga Jumat sore, 22 April 2019, mereka yang diduga terkena fatigue kill terus berjatuhan dan sudah menyentuh angka 230 orang.

Pemilu 2024 Lebih Teduh Dibanding 2019

Sementara mereka yang sakit, menurut komisioner Komisi Pemilihan Umum Viryan Aziz, tercatat 1.671 orang. Jadi total petugas yang tepar ada 1.901 orang. Padahal proses penghitungan suara pada pemilu serentak 2019 ini belum lagi usai.

Parah Diba Bafadhal, ibu rumah tangga dengan satu anak, terlibat menjadi petugas KPPS di TPS 14, di wilayah Sungai Asam, Kecamatan Pasar Jambi. Parah mengaku tak merasakan kelelahan saat menjalankan tugasnya pada 17 April 2019. Ia merasa baik-baik saja. "Saat bertugas lancar. Kami KPPS di TPS ada sebanyak tujuh orang ditambah dua orang anggota linmas," tuturnya pada VIVA.

AROPI: Dibanding Musim Pemilu 2019, Tingkat Kepercayaan Terhadap Lembaga Survei Naik 7,6%

Ia mulai merasakan lelah ketika penghitungan surat suara tak juga selesai hingga malam hari. Meski kelelahan, tapi ada lima kotak suara yang harus dihitung. Maka seluruh petugas KPPS memutuskan terus menghitungnya hingga selesai. Parah mengakui, surat suara Pemilu 2019 ini sangat berbeda dengan tahun Pemilu sebelumnya, karena saat ini pencoblosan dilakukan serentak sehingga perhitungan surat suara memakan waktu lama.

"Warga Pemilih di TPS 14 lebih dari 100  orang, namun karena kotak suara ada lima, perhitungan surat suara sampai pukul 23.00 WIB," kata Parah. Setelah penghitungan suara selesai, Parah mengaku sakit. Ia memutuskan beristirahat. Tapi pada Kamis pagi, 18 April 2019, Parah tiba-tiba muntah hingga dua kali. Ia merasakan tubuhnya lemas luar biasa. Setelah dua hari dirawat di rumah dan tak ada perubahan, pada Minggu malam, 21 April 2019, ia dilarikan ke Rumah Sakit DKT, Kecamatan Pasar Jambi. Perlahan-lahan kondisi Parah berangsur membaik.

Cerita Prabowo Subianto Bisa Bersatu Dengan Muzakir Manaf, Tokoh GAM yang Dulu Dia Cari

Anggota KPPS memastikan titik pencoblosan surat suara pada penghitungan hasil pemilihan Calon Legislator Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di TPS 05 Kelurahan Lolu Utara, Palu, Sulawesi Tengah

Penghitungan suara sampai malam

Nasib Parah Diba lebih beruntung. Masih di Provinsi Jambi, namun di tempat yang berbeda, dua orang anggota Linmas yang ikut menjaga keamanan dan kelancaran Pemilu di wilayah Jambi meninggal dunia. Sumantri seorang anggota linmas  TPS 32 rt 43 Kelurahan Talang Bakung kecamatan Paal Merah dan petugas lainnya, M Amin, juga menghembuskan nafa terakhir.

Ketua KPU Provinsi Jambi Subhan mengatakan, dari data yang ia terima, sebanyak 87 orang KPPS  di Provinsi Jambi jatuh sakit dan dua orang meninggal dunia. Subhan menyebutkan, data KPPS yang sakit sudah dicek langsung oleh Bawaslu dan KPU Kabupaten dan Kota Jambi. Rata-rata mereka sakit karena kelelahan dan memiliki riwayat penyakit.

Di Malang, selain mendapat laporan ada petugas KPPS yang meninggal dunia, hanya beberapa jam setelah selesai penghitungan suara, KPU juga mendapatkan laporan ada petugas yang mencoba bunuh diri.  Subali adalah ketua KPPS 07 Lesanpuro, Kedungkandang, Kota Malang. Dia melakukan percobaan bunuh diri karena diduga terjadi selisih hitung suara untuk DPD dan DPRD Kota.

Komisioner KPU Kota Malang Aminah Asminingtyas mengatakan, belum tahu kronologi versi Subali. Sebab sejak Sabtu 20 April 2019, Subali dirawat intensif di ruang ICU Rumah Sakit Panti Nirmala, Kota Malang.

Tak semua petugas meninggal dunia saat pelaksanaan Pemilu pada 17 April 2019. Banyak diantaranya meninggal saat proses pengantaran surat suara. Di Sumatera Selatan, tercatat tujuh petugas KPPS meninggal, dan satu diantaranya meninggal karena ditabrak babi hutan.

Di Bogor, seorang perempuan petugas KPPS yang baru berusia 30 tahun bernama Eneng Jamilah juga meninggal karena kecelakaan. Menurut penuturan Popon, kerabat Eneng, sejak tahun 2014 Eneng sudah terlibat menjadi petugas KPPS. Ketika kejadian, Eneng dan Popon yang tinggal di Desa Galuga Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, naik motor menuju rumah mereka. Popon duduk di depan, Eneng membonceng. Di perjalanan, kendaraan mereka disalip motor lain. Motor hilang kendali dan jatuh ke kiri jalan. Eneng sempat dilarikan ke Klinik dan di rujuk ke RSUD Leuwiliang dan meninggal di ruang IGD.

Warga melayat di rumah duka seorang petugas KPPS yang meninggal dunia di Bogor, Jawa Barat, Kamis, 25 April 2019.

Warga melayah di rumah KPPS yang meninggal di Bogor

Korban lainnya di Bogor adalah Anwar Sofyan Harahap, warga Kelurahan Tegal Gundil, Bogor Utara. Pria berusia 62 tahun itu sudah berkali-kali menjadi petugas KPPS. Pada 22 April 2019 malam, Anwar mengeluh sesak nafas. Anwar sempat dibawa ke dokter, dan setelah itu pulang ke rumah. Namun akhirnya Anwar mengembuskan nafas terakhir. Menurut penuturan Parlindungan, kakak Anwar, adiknya jarang sakit. "Sudah lama dia jadi petugas PPS, namun sekarang terlalu banyak tugas mungkin. Setelah pulang dari TPS dia capek, maklum kerja sampai pagi," ujar Parlindungan.

Tak hanya petugas KPPS, anggota Polri juga menjadi korban dalam Pemilu 2019 ini. Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo mengatakan, tahun 2019 ini jumlah anggota Polri yang meninggal karena menangani Pemilu meningkat hingga 100 persen. Tahun 2014, jumlah anggota Polri yang meninggal berjumlah hanya delapan orang. Tapi tahun 2019, hingga tulisan ini dirilis, jumlahnya sudah mencapai 16 orang.

Kelelahan Pencabut Nyawa?

Jumlah korban petugas PPS yang meninggal dunia hingga mencapai ratusan, dan ribuan lainnya sakit, membuat publik mengarahkan tudingan pada Pemilu serentak 2019 sebagai kontributor utama hilangnya ratusan nyawa itu. Faktor kelelahan disebut sebagai penyebab mengapa begitu banyak petugas yang akhirnya meregang nyawa.

sorot kpps sakit perawatan

Petugas KPPS jatuh sakit karena kelelahan

Sejumlah pihak, termasuk ketua atau komisioner KPU menyampaikan dugaan mereka. Kebanyakan korban meninggal karena kelelahan atau tekanan psikis. Komisioner KPU Kota Malang Aminah Asminingtyas menduga, Subali, petugas yang melakukan upaya bunuh diri tertekan akibat beban psikis terkait pelaksanaan Pemilu 2019.

"Penyebab utama bisa saja tidak hanya karena Pemilu. Bisa juga ada faktor lain, mungkin karena badan capek, psikis terganggu atau karena hal lain. Memang tanggung jawabnya berat, karena sekarang tugas KPPS itu semakin rumit," tutur Aminah.

Pandu Rista Pratama (32 tahun) petugas PPS Kelurahan Ratujaya, Depok, Jawa Barat, termasuk yang beruntung. Meski sempat dilarikan ke rumah sakit, tapi ia tak sampai kehilangan nyawa. Pandu mengaku kelelahan. Persiapan sudah dilakukan sejak tiga minggu sebelum hari H. "Persiapan logistik hampir tiga minggu sampai pelaksanaan enggak ada istirahatnya. Istirahat kurang, sampai rekapitulasi. Mungkin karena kelelahan, asupan makan kurang, kita juga punya target kapan kotak itu sampai dan lain-lain," ujarnya.

Ia bercerita, bagaimana proses rekapitulasi dilakukan sejak jam 9 malam sampai jam 12 malam. Karena ingin cepat selesai, Pandu dan petugas lainnya mengebut pekerjaan. Karena keadaan fisik kurang istirahat, ia mulai mesakan sakit lambung.

"Saya izin satu hari tapi saya paksakan lagi. Akhirnya kemarin saya ke rumah sakit ke IGD RS Bunda Aliyah, pas dicek ada penyakit di lambung ada luka dan vertigo. Diagnosa dokter terlalu banyak begadang dan istirahat kurang," tuturnya. Pandu sempat berusaha memaksakan diri untuk membantu merekap. Namun akhirnya ia menyerah, meminta istirahat, dan akhirnya kembali ke rumah sakit.

Sigit Laksono Ketua PPK Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, mengakui Pemilu saat ini sangat melelahkan buat petugas KPPS. "Sejak awal sebelum hari H, petugas sudah bekerja.  Dengan metode lima pemilihan secara serentak ini menyita tenaga, pikiran," ujarnya.

Sigit menjelaskan, bagaimana proses penghitungan satu kotak suara bisa membutuhkan waktu hingga tiga jam. Sementara, publik tak hanya menjalankan satu proses pemilihan. Tapi total ada lima pemilihan. Pemilihan Presiden, DPRD Kota, DPRD Provinsi, DPR RI, dan DPD. Lima kotak suara itu harus dihitung satu per satu. Jika satu kotak suara membutuhkan waktu paling cepat tiga jam, maka lima kotak suara membutuhkan waktu hingga 15 jam.

Petugas KPPS melakukan penghitungan suara Pilpres di TPS 002 Selong, Kebayoran Baru, Jakarta

Penghitungan suara oleh petugas KPPS

Jika proses pemilihan dimulai pukul tujuh pagi, maka seluruh proses akan selesai sekitar pukul 10 atau 11 malam. Itu jika dilakukan non stop dan tanpa hambatan, tapi petugas harus berhenti sejenak untuk istirahat makan, salat, dan ke kamar kecil. Belum jika ada penghitungan yang tak sinkron, atau saksi yang belum jelas. Maka proses akan semakin panjang dan memakan waktu lebih lama. Itu sebabnya, banyak TPS yang baru selesai melakukan proses penghitungan hingga merekapnya menjelang subuh. Bahkan setelah matahari terbit.

"Sekarang bayangkan kalau penghitungan pemilihan presiden memakan waktu berapa? DPD, Legislatif Kota Provinsi Pusat, yang kira-kira tiga jam persatu kali hitung. Belum kemudian menyalinnya. Kebayangkan? Belum dipotong waktu salat, makan. Belum lagi angin malam memang ada yang mempertimbangkan angin malam?" ujar Sigit.

Dua kakak beradik, Ahmad Fadhillah Udayana dan Akmal Maulana Udayana, yang bertugas sebagai saksi di dua TPS di Kebon Pedes, kota Bogor, juga mengakui tugas KPPS sangat berat. Sebagai saksi, Fadhil dan Akmal hanya menyaksikan proses penghitungan dan membubuhkan tanda tangan. Tapi mereka mengaku mengikuti proses sejak awal, mulai dari pemilihan hingga penghitungan suara selesai.

"Di TPS saya selesai jam tiga pagi, semua baru rampung," ujar Fadhil. Akmal tak jauh beda. Ia mengaku jam tiga pagi baru bisa pulang ke rumah. Setelah semua petugas memastikan proses sudah selesai.

Panjangnya proses juga diakui Ketua KPU Sumatera Selatan Kelly Marian. Saat ini proses rekapitulasi suara di tingkat PPK Sumatera Selatan sedang berjalan. Kelly memastikan telah mengimbau KPU Kabupaten/kota untuk memberikan waktu bagi petugas untuk beristirahat. Karena menurutnya saat ini banyak petugas yang jatuh sakit.

"Kami mengimbau untuk rekapitulasi sekarang di tingkat PPK sebenarnya bisa beristirahat, bukan berarti 24 jam full.  Mereka bisa beristirahat. Stop dulu plenonya, besok disambung lagi. Itu bisa," ujar Kelly.

Selain itu, ujar Kelly, KPU Sumatera Selatan juga telah meminta gubernur untuk mengimbau dinas kesehatan, bupati dan wali kota agar menerjunkan tim medis di setiap PPK.

"Proses rekap di PPK dimulai 19 April sampai 4 Mei diperpanjang sampai 12 Mei dan itu perlu waktu yang panjang, mungkin capek, kelelahan sehingga bisa diantisipasi jika ada tim medis," katanya.

Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo, mengatakan pihaknya sudah melakukan evaluasi dari SDM Polri dan memberikan arahan agar anggota Polri yang melaksanakan tugas pengamanan di PPK saat ini maupun nanti mengawal logistik pemilu ke KPUD tingkat Kabupaten shiftnya secara bergantian diatur waktunya.

"Kemudian waktu istirahatnya diperhatikan. Dari seluruh biddokes yang ada di polda-polda untuk memberikan tambahan asupan vitamin dalam rangka menjaga stamina anggota. Tentunya dicek kesehatan di kontrol setiap saat," ujarnya kepada VIVA.

sorot polisi meninggal dunia pemilu 2019Personel Polri yang meninggal dalam Pemilu 2019

Dedi mengatakan, saat ini Polri mengerahkan 271.880 anggota untuk mengamankan 813 ribu TPS dari Aceh sampai Papua. Ia mengakui, Pemilu tahun ini memiliki durasi waktu yang lama dibanding Pemilu 2019.

Mulai dari persiapan berangkat, melaksanakan pengamanan di TPS kemudian juga mengamankan penghitungan suara, pengamanan dan pengawalan surat suara. Jauh berbeda dibandingkan tahun 2014 lalu, di mana sebagian besar sudah selesai di sore hari, sehingga malam hari tidak ada lagi penghitungan lagi.

"Malam hari tinggal mengamankan surat suara dikirim ke PPK. Kalau 2019 ini bisa sampai sekian lama. Penghitungan bisa delapan jam atau bisa sampai pagi hari baru selesai. Lalu cek lagi kelengkapan seluruh surat suara siap baru dikawal lagi ke PPK. Sebagian besar kelelahan," ujarnya.

Dokter Adrian Ginting, dokter spesialis yang praktik di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta menyesalkan bayakya petugas yang gugur selama mengawal Pemilu. Tapi sebagai dokter ia memiliki sudut pandang yang berbeda. Adrian Ginting meyakini korban meninggal dunia sudah berusia di atas 40 tahun, dan sudah memiliki penyakit yang ia derita, namun tidak ia rasakan.

"Mungkin dia punya penyakit gula, mungkin jantung koroner, cuma tidak tercetus begitu. Ditambah ada stres,  capek, sehingga muncul (penyakit) itu, kemudian langsung menyebabkan dia meninggal dunia kan. Jadi pasti dia sudah ada penyakit sebelumnya," tuturnya kepada VIVA.

Menurut Adrian, petugas Polri dan TNI melakukan kerja berat dan penuh tekanan, tapi mereka sudah melalui penggemblengan selama bertahun-tahun. Berbeda dengan petugas PPS saat ini. "Mereka kebanyakan direkrut karena kenal. Tak tahu bagaimana kondisi kesehatannya. Bayangkan petugas KPPS itu harus bekerja seharian, istirahat hanya dua sampai tiga jam sehari, kerjanya seperti digembleng gitu kan. Tapi mereka tidak dipersiapkan, itu masalahnya," ujarnya.

Sementara Labor Institute Indonesia atau Institut Kebijakan Alternatif Perburuhan Indonesia berpendapat gugurnya petugas KPPS dalam istilah Ketenagakerjaan disebut 'Fatigue Kill' atau meninggal akibat kelelahan bekerja.

"Menurut penelitian, pekerja yang mengalami fatigue mengalami berbagai gangguan emosi dan masalah kesehatan serius," tulis Sekretaris Eksekutif Labor Institute Indonesia, Andy William Sinaga.

Psikolog Sani Budiantini menyebut Fatigue Kill adalah keadaan di mana kelelahan bisa membuat sistem tubuh berubah dan kacau. Bahkan, memicu penyakit hingga kematian yang disebabkan menurunnya asupan oksigen ke otak.

Padahal, sejatinya tubuh memiliki sinyal saat rasa lelah mulai melanda. Namun, pada kasus ini, diakui Sani, membuat sinyal tersebut tak dikenali pemiliknya.

"Untuk kasus luar biasa ini, karena memang disertai target yang harus cepat dan teliti serta komitmen tinggi, membuat alarm di badan tidak menyala," ujar Sani kepada VIVA.

Fatigue Kill tak hanya dipicu kelelahan fisik semata, namun juga kelelahan mental secara bersamaan. Dari sisi mental, para pekerja KPPS juga diketahui merasa tertekan dan takut akan stigma masyarakat soal kecurangan. Karenanya beberapa petugas KPPS melakukan penghitungan suara hingga berulang-ulang. Di lain sisi tidak ada waktu untuk mengungkapkan rasa 'lelah' yang dialami.

Berdasarkan apa yang terjadi tahun ini di mana petugas memiliki jam kerja yang berat dan 'kacau balau,' doter Adrian Ginting mengibau agar di tahun mendatang perlu ada semacam tes kesehatan bagi mereka yang akan dilibatkan untuk menjadi petugas Pemilu. Ia berharap, tak ada lagi 'irit,' tapi mengorbankan nyawa orang.

Tinjau Pemilu Serentak

Mengingatkan kembali, pelaksanaan pemilu serentak 2019 merupakan perintah dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 yang kemudian diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017. Tahun 2014, negara ini masih memisahkan pelaksanaan Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden. Namun Pemilu 2019, kedua pemilihan itu dilakukan berbarengan.

Bukan hanya soal penghitungan suara yang membutuhkan waktu lebih panjang. Namun aktivitas petugas sejak dilantik pada bulan Maret hingga selesai penghitungan suara juga dirasa berat. Selama sebulan penuh, mereka sudah mulai bekerja agar pelaksanaan Pemilu berjalan sesuai harapan. Dimulai dari mengikuti bimbingan teknis, sosialisasi, tata cara pendirian TPS, melaksanakan pemungutan suara hingga melakukan penghitungan kertas suara, kemudian melakukan rekapitulasi di TPS, hingga mengantar kotak suara ke kelurahan. Bahkan, saat ada persoalan di PPK, anggota PPS bakal dipanggil untuk menjelaskannya.

Petugas menunjukkan contoh surat suara saat simulasi Pemilu serentak 2019 di Jakarta

Surat suara

Honorarium yang diterima hanya berkisar antara Rp450 ribu hingga Rp800 ribu, dan itu rasanya jadi sangat tak sebanding dengan kelelahan yang mereka alami, bahkan hingga berujung lepasnya nyawa. Menilik itu, desakan untuk mengubah kembali sistem pemilihan menguat. Sejumlah tokoh, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta agar pelaksanaan Pemilu serentak ditinjau ulang.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan juga mengakui sistem Pemilu 2019 sangatlah rumit. "Memang ini begitu kompleks, secara teknis bisa kita rasakan. Tentu ini menjadi suatu yang harus dipikirkan," kata Abhan di gedung Bawaslu, Jakarta, Selasa 23 April 2019.

Ketua Komisi II DPR RI Zainuddin Amali menyebutkan, secara keseluruhan Pemilu serentak, yang Lowy Institute, sebuah lembaga peneliti sosial di Australia disebut sebagai Pemilu terumit se-dunia berjalan dengan baik. Tak ada kerusuhan berarti, dan tingkat partisipasi peserta pemilu mencapai 89 persen menjadi indikasi Pemilu ini berjalan dengan baik dan aman. Tapi Zainudin setuju, pelaksanaan Pemilu serentak perlu dievaluasi.

"Saya setuju setelah terbentuknya pemerintahan baru, DPR yang baru segera maju dengan revisi UU 7/2017. Banyak hal yang tidak diperhitungkan pada saat merumuskan UU itu. Lamanya masa kampanye, kan luar biasa energi pembelahan di tengah masyarakat, kan luar biasa. Kemudian banyaknya kertas suara yang akhirnya menimbulkan kelelahan dari petugas," ujarnya.

Direktur Kampanye Tim Kampanye Nasional Paslon 01 Benny Rhamdani, juga sepakat meninjau kembali pelaksanaan Pemilu serentak. Menurutnya, rencana awal Pemilu serentak yang ditujukan untuk menghemat anggaran ternyata tak tercapai.

"Karena ternyata kalau bicara efisensi anggaran justru terjadi pembengkakan. Ya kalau bicara efektivitas juga banyak menimbulkan korban jiwa. Kalau pun Pemilu serentak akan dilaksanakan bagaiaman terjadi penghematan anggaran secara besar-besaran. Tapi mungkin ya pelaksanaannya bisa bertahap. Tidak terlalu menguras energi dan tenaga," ujarnya.

Benny juga mengira, tugas petugas di lapangan semakin berat dan penuh tekanan. "Semua pengawasan ketat oleh saksi. Jadi mereka punya dua sisi tekanan. Pertama tekanan secara fisik mereka harus kuat karena waktu bekerja yang begitu panjang, kemudian secara psikis mereka juga menjadi orang yang agak mengalami tekanan dari para pemantau, pengawal dan juga saksi," ujarnya menegaskan.

Pakar Hukum Tata Negara Prof Refly Harun termasuk yang setuju Pemilu serentak ditinjau kembali. Ia bahkan menegaskan agar Pemilu serentak tak perlu dipertahankan lagi karena tidak ada gunanya. Refly mengajak melihat ke depan dengan mengandaikan jika pemenang Pemilu bukan petahana, maka selama enam bulan akan ada pemerintahan bayangan. Sebab ada jarak yang cukup jauh antara pengumuman pemenang hingga masa bertugas. "Jadi ada jeda waktu enam bulan," ujar Refly.

Refly juga menganjurkan agar pelaksanaan Pemilu bukan saja tentang pemisahan Pileg dan Pilpres, namun memisahkan antara Pemilihan Daerah dan Pemilihan Nasional. "Pemilihan Daerah adalah untuk memilih Gubernur, Wali Kota dan DPRD. Sedangkan Pemilihan Nasional adalah untuk memilih DPR RI dan Pemilihan Presiden," ujar Refly. Menurut Refly, pemisahan Pemilu Daerah dan Nasional lebih strategis karena masing-masing akan terkonsentrasi memikirkan wilayahnya.

Lebih dari 200 petugas menjadi korban pelaksanaan Pemilu tahun ini. Upah ratusan ribu yang mereka terima, jelas tak sebanding dengan nyawa yang hilang. Namun Pemilu sudah berjalan, dan menjelang usai.

Akhir tahun ini Presiden dan anggota legislatif periode 2019-2024 akan dilantik. Mereka akan segera bertugas dan melaksanakan kewajibannya. Semoga pertimbangan kemanusiaan bisa dimunculkan. Bukan semata pertimbangan politis dan kepentingan. Bagaimana pun, bertaruh nyawa demi Pemilu yang hanya sekali dalam lima tahun tak pernah menjadi keinginan kita. Semoga. (umi)

Baca Juga

Korban Pemilu 1999 hingga 2019

Merevisi Pemilu Serentak

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya