SOROT 64

Makelar Tersandung Rekaman

VIVAnews - "Kita semua, Pak Ritonga, pokoknya didukung, jadi KPK nanti ditutup, ngerti ga?" Begitulah sekelumit petikan percakapan dari orang yang diduga Anggodo Widjojo kepada seorang wanita.

Perbasi Apresiasi Sukses Pelita Jaya Tembus Babak Utama BCL Asia

Rekaman percakapan yang menghebohkan itu diperdengarkan dalam ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, pada Selasa, 3 November 2009. Anggodo Widjojo, adik buronan korupsi Anggoro Widjojo--Direktur Utama PT Masaro Radiokom, menjadi tokoh antagonis dalam upaya pemberantasan korupsi pada 2009.

Anggoro sendiri sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam perkara penyuapan dalam proyek Sistem Radio Komunikasi Terpadu di Departemen Kehutanan.

Mendengar rekaman itu, hampir semua orang terenyak. Dugaan adanya rekayasa dalam kasus dugaan suap yang menjerat dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah semakin kuat.

Top Trending: Hal yang Terjadi Jika Indonesia Tak Dijajah hingga Tawuran Brutal Antar Pelajar

Karena berdasarkan rekaman yang diperdengarkan saat uji materi Undang-Undang KPK, terungkap kedekatan Anggodo dengan sejumlah pejabat di kepolisian dan kejaksaan.

Kecaman akhirnya berhamburan ke arah kejaksaan dan kepolisian yang telah menahan Bibit dan Chandra. Ketua Mahkamah Konstitusi misalnya, sampai menyatakan, "Saya tidak habis pikir kenapa pejabat Kejaksaan dan Polri kita mau diatur oleh cukong-cukong itu."

Berbagai kalangan pun akhirnya meminta agar polisi dan jaksa ikut juga menangkap Anggodo. Karena berdasarkan rekaman itu Anggodo diduga sudah memberikan sejumlah uang kepada pimpinan KPK.

Uang itu diberikan untuk membantu kakaknya agar terlepas dari kasusnya. Duit senilai Rp 5,1 miliar itu tidak diberikan langsung oleh Anggodo kepada pimpinan KPK. Uang diberikan melalui rekan bisnisnya, Ary Muladi.

Dari rekaman itu juga terungkap kedekatan Anggodo dengan sejumlah petinggi hukum. Bahkan ia mengakuinya secara terbuka. "Saya kenal dengan Pak Ritonga dan Pak Wisnu. Mereka teman," kata Anggodo di Mabes Polri, Jumat 30 Oktober 2009.

Abdul Hakim Ritonga saat itu menjabat sebagai Wakil Jaksa Agung. Sedangkan Wisnu Subroto adalah mantan JAM Intel Kejaksaan Agung. 

Keduanya pun mengakui kedekatan tersebut. "Dia orang lama di kejaksaan, bukan orang baru," kata Ritonga. "Dekat sekali. Pak Anggodo juga sering main ke kantor saya di Kejaksaan Agung. Saya kenal dia karena pernah beli cincin dari Pak Anggodo," kata Wisnu.

Kedekatan Anggodo dengan kepolisian juga terungkap dalam rekaman tersebut. Anggodo berkali kali menyebut nama Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Susno Duadji dan Truno-3 (istilah yang lazim digunakan di kalangan kepolisian untuk menyebut Kepala Bareskrim) .

Di DPR, Susno mati-matian membantah. Jenderal berbintang tiga ini menyatakan tak pernah sekalipun berhubungan telepon dengan Anggodo. “Kenapa yang ditampilkan (diributkan) adalah nama yang disebut-sebut dalam rekaman, dan bukannya nama orang yang berhubungan (langsung via telpon)," katanya.

Dia juga berdalih istilah ‘Truno 3' dalam rekaman itu bukan namanya, tapi alamat kantor polisi. "Tapi direka-reka dalam berita bahwa itu adalah (sandi) untuk Susno Duadji. Rupanya tidak enak kalau tidak menyebut Susno Duadji," katanya.

3 Tips Sukses bagi Generasi Muda, Panduan Lengkap untuk Meraih Profit Stabil

Siapakah Anggodo? Dia bersama kakaknya, Anggoro, merupakan pengusaha sukses di Surabaya. Anggodo memiliki nama asli Ang Tju Nek.

Kakaknya, Anggoro, bernama Ang Tju Hong.

Ayah mereka, Ang Gai Hwa, di Surabaya dikenal supel dan suka bergaul. Sejak 1970, dia membuka usaha dinamo di rumahnya di daerah Kalimati, Surabaya. Usaha Gai Hwa kemudian diteruskan putra-putranya. Mereka merambah ke bisnis judi.

Sejumlah media melaporkan Anggoro dan Anggodo pernah menjadi pengelola SDSB dan Porkas--judi yang dilegalkan pemerintah di era 1980-an. Bisnis mereka melambung setelah bersahabat dengan Rudy Sumampow, tauke top di Surabaya yang akrab disapa Roby Ketek.

Peredaran SDSB di seluruh wilayah Jawa Timur saat itu praktis mereka kuasai. Inilah titik awal kakak-adik Widjojo menjalin hubungan dengan aparat penegak hukum di Surabaya. Belakangan mereka melebarkan sayap bisnisnya ke Jakarta, membeli kompleks perkantoran dan hiburan Studio East di Simpang Dukuh.
 
Memasuki 1990, usaha mereka tak lagi terdengar. SDSB secara resmi ditutup pemerintah. Baru di awal 2000 Anggoro melejit lagi lewat PT Masaro Radiokom. Perusahaan ini merupakan agen pemasaran Motorola. Anggodo mengelola usaha parkit (lantai kayu) dan rumah kuno di Driyorejo, Gresik.

Sesekali mereka terlihat di Surabaya.
 
Bisnis Anggoro terganjal masalah hukum pada 2008. KPK menemukan bukti bos Masaro ini telah menyuap Yusuf Emir Faisal, anggota DPR Komisi VI DPRI waktu itu, untuk memuluskan proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan. KPK kemudian menetapkannya sebagai tersangka dan mencegahnya bepergian ke luar negeri. Tapi, Anggoro telanjur kabur ke Singapura.
 
Di Jakarta, Anggodo sang adik lah yang pergi ke sana kemari berupaya membebaskan kakaknya. Sebagaimana telah terungkap secara telanjang dalam rekaman penyadapan KPK, dia menggelontorkan uang melalui seorang perantara, Ari Muladi, untuk menyuap pimpinan KPK.

 

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya turun tangan dengan membentuk Tim Delapan   yang bertugas menginvestigasi adanya dugaan mafia peradilan dalam kasus Bibit dan Chandra.

Setelah dua minggu bekerja, Tim Delapan akhirnya mengeluarkan rekomendasi agar kasus Bibit dan Chandra tidak dilanjutkan. TIm Delapan menilai, polisi dan jaksa masih kurang bukti untuk menjerat Bibit dan Chandra.

Tim Delapan menilai, jika kasus ini mau dilanjutkan, maka polisi dan jaksa juga harus menjerat Anggodo sebagai tersangka. Hal ini agar kasus itu tidak terputus di tengah jalan.

Kejaksaan dan kepolisian akhirnya menghentikan kasus tersebut dan mencabut status tersangka Bibit dan Chandra. Berdasarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan, kasus Bibit dan Chandra dinyatakan selesai.

Belakangan, polisi menyatakan akan mengusut kasus Anggodo dan sudah beberapa kali melakukan pemeriksaaan. Namun hingga tulisan ini diturunkan, status kasus Anggodo di kepolisian masih belum jelas.

Hal yang sama juga terjadi di KPK. Pengusutan lembaga itu terhadap Anggodo, karena diduga melanggar ketentuan dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga belum memperlihatkan kemajuan berarti.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya