SOROT 65

Buku dan Politik Hantu


VIVAnews--BUKU itu cukup tebal dengan 578 halaman. Bersampul kuning, dilengkapi versi cakram digital, buku itu diluncurkan di gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, pada sesi ke delapan UN Permanent Forum on Indigenous Issues, Mei 2009 lalu.

Bertajuk “The Indegenous World 2009”, buku itu diterbitkan International Working Group of Indegenous Affairs (IWGIA), satu badan nirlaba berbasis di Kopenhagen, Denmark. “Setiap tahunnya kami selalu mengeluarkan laporan ini,” ujar Christian Erni, editor Asia buku itu kepada VIVAnews, pekan lalu.

Akhirnya Letkol Danu Resmi Jadi Komandan Pasukan Tengkorak Kostrad TNI Gantikan Raja Aibon Kogila

Tak ada kegemparan selama peluncuran di New York. Acara berlangsung sederhana. Rilis buku itu menyebar di jaringan online organisasi masyarakat suku asli di dunia. Bagi badan pembela hak masyarakat asli, ini adalah ritual setiap tahun.

Tapi setiap tahun pula Indonesia meradang. Pada laporan mutakhir tahun ini, ada soal Papua Barat. Daerah itu dicatat pada halaman 259, satu bab dengan Australia, Selandia Baru, dan Pasifik. Sementara, soal Indonesia ada di halaman 319, pada bab Asia Tenggara dan Timur. Tanpa soal Papua. 

Itu sebabnya, di Indonesia, laporan itu masuk dalam rak buku “bermasalah”.  Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Hukum dan HAM Profesor Hafid Abbas menaruhnya dalam deretan 200-an judul buku bermasalah lainnya.

Alasan Hafid, buku itu menempatkan Papua seperti sebuah negara. Posisinya setara dengan Indonesia. Dalam bab ‘West Papua’ misalnya, bagian pembukanya ditulis seperti ini: “Papua Barat meliputi bagian barat pulau Nugini, terdiri dari provinsi milik Indonesia, Papua dan Papua Barat. 52 persen dari 2,4 juta penduduknya adalah suku asli. Sisanya, 48 persen adalah migran Indonesia, yang dibawa pemerintah Indonesia ke Papua Barat melalui program transmigrasi berskala besar”.

Narasi itu, ujar Hafid, terdengar provokatif. Memang, pemerintah Indonesia sedang bekerja keras menahan aksi Organisasi Papua Merdeka (OPM). Organisasi itu menuntut tanah Papua berpisah dari Indonesia.  “Ini tidak adil,” ujar Hafid. Soalnya, dia melanjutkan, buku itu tak memuat provinsi di Filipina, yang punya beragam masyarakat adat, dalam bab tersendiri.

Kesimpulan sementara ditarik:  penulisnya sengaja memprovokasi Papua agar terpisah dari Indonesia, dan publikasi seperti ini harus dicegah. “Begitu juga buku-buku lain, seperti ‘Hak Asasi Masyarakat Adat. Mengurai soal self-determination,” ujar  Hafid.

Buku terakhir disebut itu adalah karya Sem Karoba. Dalam buku itu, Sem mencoba menafsirkan hak Papua untuk merdeka, dan memiliki pemerintah sendiri. “Tulisannya menerjemahkan Konvensi PBB secara sepotong-sepotong,” Hafid menambahkan.

Departemen Hukum dan HAM memang tak punya kuasa melarang buku-buku itu. Mereka hanya meneliti, dan memberikan rekomendasi bagi Kejaksaan Agung.



ISU Papua kerap masuk daftar buku terlarang. Yang terbaru, larangan lima buku oleh Kejaksaan Agung menjelang tutup tahun lalu. Salah satunya berjudul "Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan, Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri" karangan Socrates Sofyan Yoman.

Keputusan itu cukup menyentak. Diterbitkan Reza Enterprise, beralamat di Jl. Penggalang VIII No.38 Jakarta Timur, buku karya Socrates itu akan disita oleh kejaksaan bila beredar. Isinya, kata Kejaksaan Agung, dapat menganggu ketertiban umum.

Tak disebut detil bagaimana buku itu bisa berbahaya. Dalam keterangan kepada wartawan, Kejaksaan Agung menilai buku itu “merusak kepercayaan masyarakat atas pimpinan nasional, merugikan akhlak, memajukan percabulan dan lain sebagainya yang dapat mengakibatkan terganggunya ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan”.

Socrates, adalah satu dari intelektual Papua. Buku karyanya kerap disorot pemerintah. Calon doktor dari Sekolah Tinggi Teologia Waltepos, Jayapura, misalnya menulis “Orang Papua Bukan Separatis” pada 1999. Setahun kemudian, dia menulis lebih tajam: “Pintu Menuju Papua Merdeka”. Pada 2005, dia mengeluarkan buku berjudul “Orang Papua Bukan Separatis, Makar dan OPM.” Setahun kemudian menulis buku “Pepera 1969 Tidak Demokratis”.

Pada 2007, Socrates bersama Sem Karoba menulis buku “Pemusnahan Etnis Melanesia”. Kejaksaan sudah menarik buku ini dari peredaran. Pada 2008, dia kembali menulis buku “Suara Bagi Umat Tertindas” yang juga ditarik dari peredaran oleh Kejaksaan Agung. Pada  2009, Socrates menulis buku “Suara Bagi Kaum Tak Bersuara”.

Buku-bukunya terdengar agak berat miring ke separatisme. Tapi Socrates mengelak tudingan itu. “Ini kritik gereja buat pemerintah,” ujar Socrates yang juga Ketua umum Persekutuan Gereja Baptis Papua.

Isi bukunya, menyorot sejumlah kebijakan pemerintah. Socrates menuding kebijakan pembangunan nasional itu hanya dalih. “Pada kenyataannya adalah penjajahan secara sistematis,” ujarnya kepada VIVAnews di Papua, Rabu 6 Januari lalu. 

Membaca buku Socrates, tampak ada semangat menampik sejarah Papua berasama Indonesia. Misalnya, dia mengatakan, dari dulu Papua memang ingin dan mau merdeka. “Nasionalisme dan ideologi Papua merdeka sudah lahir di dalam darah, dan jiwa setiap orang Papua,” ujarnya.

Dengan alasan itu, dia menolak disebut separatis. Menurutnya, Penentuan Pendapat Rakyat Papua (Pepera) pada 1969 penuh rekayasa dan manipulasi.  “Ini berdasarkan dokumen yang saya selidiki sendiri di PBB pada 2001,” ujar Socrates. Sementara, dalam literatur sejarah nasional Indonesia, Pepera kerap dinilai penegasan rakyat Papua bergabung dengan Republik Indonesia.

Sendius Wonda, rekan Socrates, menulis buku dengan isi senada. Pada  2007, buku Sendius berjudul “Tenggelamnya Rumpun Melanesia” dilarang Kejaksaan Agung.  Buku itu mengkritik keras kebijakan otonomi. 

Menurut Sendius, otonomi sama sekali tak menjawab masalah di Papua. “Yang menikmati otonomi hanya segelintir birokrat. Rakyat Papua tetap terbelenggu dalam kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, “ ujar Sendius, alumni Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta. Sendius kini bekerja sebagai staf pemerintahan daerah.

Meski bersatus pegawai negeri, Sendius tak takut menghujat pemekaran Papua. Kebijakan itu, kata dia, hanya memecah belah suku-suku di Papua, dan menguntungkan birokrasi. Adakah buku itu dibuat agar semangat separatisme berkobar? “Sama sekali tidak,” ujar Sendius kepada VIVAnews.  Buku itu, kata dia, hanya sekedar mengungkap fakta.


             
BUKU-buku kritis dari Papua itu, bagi pemerintah, seperti membunyikan kembali lonceng hantu politik separatisme.

Tapi buku-buku itu sendiri bukan propaganda gerakan, katakanlah, diterbitkan oleh OPM. Buku milik Socrates dan Sendius, misalnya, diterbitkan oleh Galangpress, penerbit bermarkas di Yogyakarta. Galangpress terkenal menerbitkan buku kritis, dari soal budaya sampai politik.

Mitsubishi Fuso Resmikan Diler 3S Baru di Morowali

Dalam konteks Papua, misalnya, perusahaan itu menerbitkan “Tenggelamnya Rumpun Melanesia” karya Sendius Wonda, dan “Pemusnahan Etnis Melanesia” bukunya Socratez Sofyan Yoman. “Kejagung membredel kedua buku itu pada tahun 2007 dan 2008 lalu,” ujar  Direktur Utama PT Galangpress Media Utama, Julius Felecianus, di Yogyakarta, 7 Januari 2010.

Dia menyesalkan pembredelan dua buku itu. Menurutnya, buku itu mengisahkan kondisi di Papua sekarang. Penulisnya pun orang lokal.

Protes lewat buku, kata Julius, jauh lebih baik ketimbang aksi demo yang  bisa ditunggangi dan berujung kerusuhan.  Pelarangan buku itu sangat disayangkan. “Seharusnya, Kejagung memiliki tim ahli tentang Papua yang bertugas mengkaji buku tersebut,” ujar Julius. Artinya, ada perdebatan sebelum keputusan diambil. “Tak mesti bredel, bisa juga dengan buku tandingan,” ujarnya.

Di Kejaksaan Agung memang ada semacam “clearing house” yang meneliti isi buku. Di sana, ada beragam unsur masyarakat. Tapi, tak jelas, apakah ahli Papua turut diajak bicara sebelum buku itu dilarang Kejaksaan Agung.

Selain kejaksaan, tugas mengulik isi sejumlah buku bermuatan “hantu” politik semacam separatisme, komunisme, dan terorisme ada di Departemen Hukum dan HAM. Adakah itu efektif? 

Erick Thohir Buka suara soal Dugaan Pemain Naturalisasi Dibayar Bela Timnas Indonesia

“Otoritas legal pelarangan buku saat ini ada di Kejaksaan Agung,” ujar Rachland Nashidik, Direktur Imparsial, lembaga pemantau hak asasi manusia. Tentu, tak semua rekomendasi soal buku “berbahaya” dari Departemen Hukum dan HAM bisa diterima oleh kejaksaan. “Akhirnya, ya dua kali kerja”, ujar Rachland.

Laporan Banjir Ambarita (Papua), Fajar Sodiq (Yogyakarta).

Ilustrasi jenis sabu.

Polres Malang Bongkar Home Industry Sabu di Jatim

– Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) Polres Malang berhasil membongkar praktik produksi narkotika jenis sabu di wilayah Kecamatan Pandaan, Kabupaten Pasuruan.

img_title
VIVA.co.id
20 April 2024