SOROT 65

“Buku Menyesatkan Harus Ditarik”

VIVAnews –Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia membentuk sebuah tim untuk mengakji berbagai buku yang beredar di masyarakat. Menteri Depkum dan HAM, Patrialis Akbar, telah menunjuk Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Prof. Dr. Hafid Abbas, untuk memimpin tim ini.

Hingga Selasa 5 Januari 2010, Hafid dan timnya sedang meneliti 200-an buku. Dari jumlah itu, 20 di antaranya yang bernuansa provokasi hampir rampung diteliti. Bagaimana proses kerja dan apa saja yang sedang diteliti dan bagaimana prosesnya?  Hafid menjelaskan proses itu kepada Nurlis E. Meuko, wartawan VIVAnews, dalam wawancara khusus di kantornya di gedung Pengadilan Tipikor, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa 5 Januari lalu.

Departemen Hukum dan HAM mulai memfungsikan Badan Penelitian dan Pengembangan, termasuk meneliti buku?
Kami ini di litbang departemen hukum dan ham, memang mempunyai untuk mengkaji masalah-masalah seperti ini (buku). Ini bagian dari inhern sebagai fungsi dari litbang itu. Nah buku yang beredar di masyarakat luas, yang diperkirakan lebih dari 200 mengandung substansi yang mendorong sparatisme yang berbahaya.

Bisa disebutkan contoh-contoh buku itu?
Salah satunya adalah buku yang berjudul The Indigenous 2009 yang diterbitkan di Kopenhagen. Di  buku itu membuat daerah Papua seperti sebuah Negara, disetarakan dengan Indonesia dan Negara-negara lain. Ini tidak adil, kenapa provinsi di Filipina yang juga memiliki beragam masyarakat dan adatnya, tidak dimuat dalam kelas tersendiri dalam pembahasan di buku itu..

Jadi ada kesengajaan dari penulis untuk memprovok bahwa Papua terpisah dari Indonesia. Harus ada langkah serius mencegah publikasi seperti ini. Begitu juga dengan buku-buku lain, seperti yang ditulis Sem Karoba yang berjudul Hak Asasi Masyarakat Adat. Mengurai soal self determination. Di sini diartikan hak Papua untuk merdeka dan memiliki pemerintah sendiri. Tulisannya menterjemahkan secara sepotong-sepotong dari Konvensi PBB, jadi tidak dilihat secara utuh.

Seharusnya bagaimana?
Interpretasi itu tidak boleh bertentangan dengan kedaulatan suatu negara merdeka, tidak boleh bertentangan dengan hukum di suatu negara itu, tidak boleh bertentangan dengsn sistem politik di negara yang sudah berdaulat, tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip universal piagam PBB. Tapi kenapa itu tak disentuh di dalam tulisannya? Ini jelas suatu kesengajaan.

Di situ diuraikan bahwa otonomi khusus adalah suatu kemerdekaan internal, dengan self determination si penulis menyebutkan masih diperlukan kemerdekaan eksternal. Nah inikan berbahaya, sebab pemaknaan dari konvensi itu yang keliru. Bayangkan jika masyarakat di sana (Papua) memaknainya sebagai kebenaran, ini kan fatal.

Kenapa tak membiarkan masyarakat bebas menilai saja?
Masyarakat di Jakarta, bisa saja memilah bahwa buku itu salah. Tetapi siapa yang menjamin, bahwa ada masyarakat kita yang dengan berbagai latar belakang pendidikan, wawasan, dan budaya, bisa saja menganggap bahwa tulisan di buku itu adalah benar. Jadi, ini semacam panggilan untuk kami melihat bahwa ada perkembangan baru di tanah air, bahwa jalan untuk mendorong gerakan separatis itu dengan jalan seperti itu.

Selain soal separatisme, apakah ada buku lain?
Iya, banyak buku-buku terjamahan yang mendorong untuk bom bunuh diri. Ada dua sebenarnya violent yang terjadi. Ada soft violent, kekejaman yang sifatnya abstrak. Sedangkan perang, pembunuhan dan pengeboman, itu kan fisik. Yang perlu dicari tahu adalah mengapa itu terjadi, yaitu karena ada soft violent, ada kekerasan yang disampaikan melalui publikasi, ada kesengajaan memutarbalikkan makna yang salah. Didorong untuk memaknainya sebagai kebenaran.

Pandangan seperti itu melahirkan sebuah kekerasan. Inikan seperti hubungan sebuah kausalitas, antara api dan bensin. Tidak mungkin terjadi bom bunuh diri kalau tidak ada soft violent. Di sinilah muncul ajaran-ajaran yang menyebutkan bom bunuh diri itu adalah jalan cinta kasih Tuhan, dan jalan mewujudkan aktualisasi iman. Sangat berbahaya.

Tindakan seperti apa yang dilakukan Departemen Hukum dan HAM?
Cara seperti itu harus dikaunter dengan kajian ilmiah, bahwa itu salah. Jadi tanggungjawab kami untuk membuat publikasi tandingan. Kami harus menunjukkan secara adil, bahwa kita sudah memilih jalan demokrasi. Kita tidak lagi berada di zaman seperti kepemimpinan Pak Harto (Orde Baru), kalau salah lalu main tangkap saja.

Jadi saya ingin berdialog dengan penulisnya, kenapa Anda cuma melihat dari satu sudut saja, tidak melihat dari sudut lain. Kami ingin mendewasakan masyarakat untuk melihat satu isu dari berbagai perspektif. Ada ruang untuk kita berdialog.

Sekarang ada satu kehendak dari mereka ini untuk memaksakan satu interpretasi dari pandangannya. Nanti di tengah masyarakat akan tumbuh satu penalaran yang dewasa. Hanya saja, harus ada upaya yang serius, bahwa paham yang keliru seperti itu harus segera dihentikan. Jadi tidak ada pilihan lain, buku-buku yang menyesatkan memang harus ditarik dari peredaran.

Standar apa yang digunakan untuk meneliti buku itu?
Tetap pada standar intelektual. Memakai standar keilmuan. Berupa kajian ilmiah. Tidak sekedar menyebutkan bahwa buku itu salah, tetapi harus juga ditunjukkan di mana salahnya. Jadi harus ada pemahaman yang utuh pada masyarakat, bahwa buku itu memang keliru, karena itu harus ditarik dari peredarannya.

Bukankah otoritas penarikan buku di tangan kejaksaan?
Tentu ada koordinasi dengan kejaksaan, tak menutup kemungkinan juga akan koordinasi dengan Menkopolhukam. Jadi ini lintas sektoral ya. Coba bayangkan bagaimana buku yang berjudul The Indigenous 2009  itu diluncurkan di gedung PBB, New York. Jadi Papua itu sudah seperti merdeka jadinya, sebab sudah berdiri sendiri. Ini harus ditegur dong, apakah melalui mekanisme bilateral. Jadi kita harus menyampaikan reaksi kita melalui mekanisme PBB. Jadi kalau kita baca butir-butir UUD’45, untuk itulah pemerintah ini dibentuk. Kewajibannya pula untuk melindungi negara ini, jangan sampai ada eskalasi penyebaran virus-virus yang berbahaya itu.

Apakah ada perubahan kebijakan jika dibandingkan dengan masa pemerintahan sebelumnya?
Saya kira tak ada perubahan kebijakan jika menyangkut keutuhan NKRI. Tidak ada toleransi jika itu nyata-nyata mengganggu keutuhan NKR. Hanya saja dalam alam demokrasi ini yang kita bangun adalah ruang untuk berdialog. Jadi harus ada kajian secara ilmiah juga, hingga kesalahan itu bisa mereka akui.

Pelarangan buku seperti ini bukannya negara otoriter?
Oh sama sekali tidak, kita tidak mengikuti pandangan otoriter. Kita sudah memilih kehidupan berdemokrasi, proses kecintaan yang harus kita bangun, supaya jangan ada luka dalam interaksi di kehidupan berdemokrasi. Yang ingin kita bangun di sini adalah bagaimana orang memandang kebenaran itu dari perspektifnya, dan bagaimana orang itu bisa menggeser perspektifnya. Sehingga ada ruang untuk dialog.

Seperti buku itu (Jeritan Bangsa Papua), si penulis melihat dari satu pasal saja yang membahas self determination, dan itu dijadikan pintu gerbang untuk merdeka. Saya kira itu keliru. Bahwa ada pasal lain di dalam konvensi yang mengatakan tidak boleh diartikan secara sepotong-sepotong, dan tidak boleh diartikan bertentangan dengan kedaulatan suatu negara. Nah, pandangan itu yang perlu digeser.

Jadi yang ingin saya sampaikan bahwa pandangan benar atau salah itu bukanlah milik seseorang, atau kelompok. Misalnya, sesuatu yang saya anggap benar hari ini belum tentu besok masih benar, yang dianggap benar di tempat ini belum tentu benar di tempat lain. Yang dianggap benar oleh si A, belum tentu benar menurut si B.

Kubu Ganjar-Mahfud Tidak Terima Gugatannya ke MK Disebut Salah Sasaran oleh KPU
Ketua MK Suhartoyo, Sidang Lanjutan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum di MK

Momen Ketua MK Semprot Kuasa Hukum KPU yang Puji-puji Hasyim Asy'ari

Menurut kuasa hukum KPU, meski nama Hasyim Asyari disangkutpautkan dengan banyak dugaan pelanggaran tapi proses Pemilu 2024 tetap berjalan lancar.

img_title
VIVA.co.id
28 Maret 2024