SOROT 566

Jejak Jurnalis Pemuda Arab di Jalan Kemerdekaan

Abdurrahman Baswedan atau A.R. Baswedan
Sumber :
  • Wikipedia

VIVA – Sebuah rumah di Kampung Melayu Semarang itu sudah tergolong bangunan tua, bak monumen. Itu adalah Rumah Sahid Bahelul, yang menjadi saksi lahirnya satu lagi motor penggerak perjuangan kemerdekaan.

5 Negara Pertama yang Akui Kemerdekaan Indonesia, Mana Saja?

Di rumah tersebut Konferensi Peranakan Arab digelar tahun 1934 silam. Pro dan kontra argumen, setuju dan tak setuju, adu pemikiran dan idealisme beradu dan diuji satu per satu. Pada akhirnya berujung pada kepentingan bersama yang menang. Semangatnya melahirkan sebuah Sumpah Pemuda Keturunan Arab.

Lahir dan dibesarkan di nusantara membuat para pemuda keturunan Arab kala itu memilih melebur untuk andil memperjuangkan sebuah Indonesia yang merdeka. Kebanyakan dari mereka lahir dari ayah keturunan Arab dengan ibu berdarah Indonesia atau sebaliknya. Sebagian masih ada pula yang berasal dari keturunan Arab yang hampir totok walau sudah dilahirkan dan dibesarkan di Tanah Air.

Rayakan HUT ke-76 Kemerdekaan RI, Astra Gelorakan #SemangatSalingBantu

Tak mudah menyatukan warga keturunan Arab sebenarnya hingga menelurkan sebuah Sumpah Pemuda Keturunan Arab yang terinspirasi dari Sumpah Pemuda tahun 1928, lahir lebih awal, enam tahun sebelumnya. Sumpah Pemuda 1928 menjadi wujud sebuah spirit menepis sekat-sekat etnis, agama, kedaerahan dan kultur demi menggapai mimpi kemerdekaan kala itu. Semangat itu rupanya menular dan menggugah jiwa kaum kelas dua di negeri itu pada abad pra-kemerdekaan.

Ada dua hal yang sebenarnya bisa menjadi kendala bagi warga keturunan Arab mau bergabung dalam perjuangan kemerdekaan. Pertama adalah adanya pembedaan kaum di antara mereka sendiri yang dilandasi perbedaan strata sosial. Ada istilah sayid dan nonsayid. Sayid atau alawi adalah istilah yang ditujukan kepada keturunan Nabi Muhammad.

Hari Pahlawan, Megawati Minta Santri dan Milenial Jaga Kemerdekaan RI

Sementara nonsayid adalah mereka yang dianggap bukan keturunan nabi. Namun kala itu baik sayid dan nonsayid tak hanya dari Semarang namun juga dari Pekalongan, Surabaya dan Jakarta akhirnya bisa berkumpul pada momen cikal bakal Sumpah Pemuda Keturunan Arab dan berikutnya  lahirnya sebuah partai.

Hal lainnya yang menjadi kendala adalah adanya politik segregasi yang dilanggengkan kolonial Hindia Belanda kala itu dalam tatanan masyarakat untuk mengekang pribumi, meninabobokan kaum keturunan dan pendatang agar tak membawa pengaruh baik kepada warga di negeri koloni Hindia Belanda saat itu.  Hindia Belanda menggolongkan penduduk di Indonesia dengan tigas jenis dari yang nomor satu hingga paling rendah. orang Eropa atau Europeanen, orang Timur Asing atau Vreemde Oosterlingen dan orang pribumi atau Inlanders.

Dalam hal ini, warga Cina dan Arab serta keturunannya sengaja dimasukkan dalam golongan Vreemde Oosterlingen. Kemudian Hindia Belanda mengangkat pemimpin mereka masing-masing dan untuk warga kelas dua yakni warga Timur Asing diangkat kapten masing-masing, sebutan untuk pemimpin kelompok mereka yang bisa berhubungan dengan pemerintah kolonial.

Namun kendala perbedaan internal dan privilege itu akhirnya diabaikan dan warga keturunan Arab khususnya puluhan pemuda yang berkumpul di Semarang tahun 1934 itu setuju menjadi bagian dari rakyat Indonesia karena mereka adalah lahir dan besar di nusantara meski berasal dari Hadramaut di Jazirah Arab.

Adalah Abdul Rahman Baswedan, belakangan lebih dikenal dengan AR Baswedan merupakan figur pahlawan nasional yang ada di balik Konferensi Pemuda Arab dan pendirian Partai Arab Indonesia (PAI) pada tahun yang sama. Dikutip dari tulis “Etnis Arab dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia: Studi Historis Peranan Abdul Rahman Baswedan dan Hamid Algadri1934-1949” oleh Nurhabibah dari Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2016 disebutkan betapa signifikannya peran AR Baswedan yang kala itu masih berusia 20 tahunan dalam memotori lahirnya PAI.

Partai ini yang kemudian menjadi wadah bagi warga keturunan Arab khususnya para pemuda keturunan untuk ikut mengantarkan Indonesia di garis kemerdekaan.

Untuk menepis ego strata di kalangan keturunan Arab kala itu, AR Baswedan di berbagai sumber disebutkan mencetuskan sapaan dan panggilan yang lebih egaliter antara keturunan Arab yang satu dengan lainnya. Tidak ada lagi sayid dan non-sayid, mereka adalah saudara dan saling memanggil dengan sebutan al-akh.

Setelah mempelopori Sumpah Pemuda Keturunan Arab, pada hari yang sama PAI didirikan dan AR Baswedan dipilih sebagai ketuanya. Melalui PAI, para pemuda keturunan Arab berikrar bahwa nasionalisme mereka adalah kepada Tanah Air.  Selain itu dicetuskan pula bahwa tanggal 4 Oktober sebagai Hari Kesadaran Arab Indonesia.

Tak berhenti di sana, AR Baswedan yang saat itu bersama rekannya Hamid Algadri menjalankan partai ini sebagai pergerakan melalui aspirasi dan tulisan. Jalan yang mereka pilih memang cenderung soft dibandingkan partai lain seperti PNI saat itu yang memilih lebih kaku dalam beroposisi dengan Hindia Belanda. Empat tahun kemudian setelah PAI terbentu, tepatnya pada 1938 diadakan Kongres Partai Arab Indonesia di Cirebon.

Jurnalis

AR Baswedan lahir di Surabaya, 9 September 1908. Dia dikenal sebagai seorang otodidak andal hingga bisa menuliskan buah-buah pemikirannya melalui kiprah di dunia jurnalistik. AR Baswedan pada masa itu sebenarnya berasal dari keluarga yang berkecupukan. Ayahnya punya toko di Surabaya.

Namun dia disebutkan tak betah menjadi pebisnis dan akhirnya memilih menjadi jurnalis. Apalagi setelah pemuda Arab itu bertemu dengan wartawan keturunan Arab pertama yang bernama Salim Maskati.

Jejaknya dalam dunia politik sekaligus pers pada era kemerdekaan tak bisa dianggap enteng. Setidaknya untuk Sembilan media massa baik harian maupun majalah, AR Baswedan pernah berkiprah. AR Baswedan sebelum menjadi wartawan sering mengkonsumsi majalah dan surat kabar tentang negeri-negeri Arab seperti Al-Jawaib dari Istanbul, Al-Janna dari Beirut, Al-Want dari Kairo dan banyak lagi.

Bacaan-bacaan tersebut diduga sangat besar mempengaruhi pemikirannya. Namun sekalipun informasi tentang Arab menjadi hal yang banyak didapatkan AR Baswedan, pencariannya akan jati diri membuat kakek Gubernur Jakarta Anies Baswedan tersebut berhenti pada identitas sebagai orang Indonesia yang harus turut memperjuangkan kemerdekaan itu.

Melalui pemikirannya tentang politik, kemerdekaan, bangsa, Indonesia dan pergerakan, AR Baswedan menjejaki kariernya di sejumlah media massa. Dia mengali karier sebagai jurnalis di Harian Sin Tit Po di Surabaya sekitar tahun 1932. Diketahui koran besutan figur keturunan Tionghoa ini cukup keras mengabarkan ide dan pesan-pesan perjuangan kemerdekaan. Harian itu dipimpin tokoh pers keturunan China Liam Koen Hian. AR mengisi kolom “Abun Awas”.

Tak berapa lama bergabung di sana, dia keluar dan bergabung dengan koran Soera Oemoem. Namun saat masih berada di harian tersebut dan menginjak usia 25 tahun, AR Baswedan mengalami sakit. Dia kemudian mengundurkan diri. Tak kapok, setelah sembuh, pria tersebut kembali menjadi jurnalis dan bekerja di harian Matahari. Salah satu tulisannya yang terkenal yaitu “Peranakan Arab dan Totoknya”.

Artikel tersebut ditujukan kepada seluruh etnis Arab Indonesia berisi imbauan dan anjuran agar etnis Arab melaksanakan komitmen dalam sebuah Sumpah Pemuda yang menyatakan bahwa mereka berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu Indonesia sebagaimana dikutip dari tulisan Eva Olenka dalam “Perjuangan AR Baswedan Pada Masa Pergerakan Sampai Kemerdekaan Indonesia Tahun 1934-1947”.  

Setelah di harian Matahari, jejak jurnalistik AR Baswedan juga terekam di majalah Sadar, majalah Nusaputra, majalah Hikmah, harian Mercusuar hingga harian Masa Kini. Dia juga pernah menjadi pemimpin redaksi majalah internal PAI yang diberi nama Aliran Baroe selama empat tahun sejak 1935.

Sementara Hamid Algadri adalah pionir dari golongan Arab yang juga tak bisa dinafikan keberadaan dan andilnya. Hamid Algadri merupakan pemuda keturunan Arab yang  mengenyam pendidikan tinggi dalam bidang ilmu Hukum pada masa itu. Berbagai tulisannya dianggap berkontribusi penting khususnya dalam gerakan melalui Partai Arab Indonesia.

Tak jauh berbeda dengan AR Baswedan, Hamid juga pernah menjadi redaktur di majalah Insaf dan menulis untuk majalah Aliran Baroe. Tema yang paling sering diangkatnya adalah soal Indo-Arab.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikirannya dalam tema tersebut merupakan reaksi dari kondisi masyarakat peranakan Arab (Indo-Arab) di Indonesia yang menurutnya harus menginsafi diri sebagai putra Indonesia sebagaimana dituliskan oleh peneliti Muhammad Ridho Rachman dalam “Pemikiran Hamid Algadri tentang Indo-Arab dan Tanah Air: Studi Kasus dalam Majalah Insaf dan Aliran Baroe pada Masa Kolonial Belanda, 1937-1941”.

Hamid Algadri (lahir di Pasuruan, 10 Juli 1912 – meninggal di Jakarta, 25 Januari 1998 pada umur 85 tahun) adalah seorang pejuang perintis kemerdekaan Indonesia keturunan Arab yang berjasa dalam perundingan Linggarjati, perundingan Renville, KMB dan salah satu anggota parlemen pada masa awal berdirinya negara Republik Indonesia.

Hamid lahir di Pasuruan, 10 Juli 1912. Ayahnya adalah seorang pemimpin di komunitas Arab keturunan atau Kapitein der Arabieren.  Ayahnya disebutkan berasal dari Hadramaut sementara ibunya dari Malabar, India. Hamid Algadri juga menempun pendidikan tinggi formal di Rechts Hoge School atau Pendidikan Tinggi Hukum di Batavia. Dilaporkan bahwa Hamid Algadri tercatat menjadi keturunan Arab pertama menimba ilmu di universitas.   

Bersama AR Baswedan, Hamid berbagi tugas dan peran baik di PAI maupun di media-media massa tempat mereka bernaung. Biasanya, bila AR Baswedan mengurusi manajemen maka Hamid akan ambil tanggung jawab dalam hal redaksi media yang mereka hidupkan.

Andil Sejarah

Sejawaran dan peneliti LIPI Asvi Marwan Adam kepada VIVAnews membeberkan peran multietnis yang ikut dalam memperjuangkan kemerdekaan. Dia membenarkan figur dan pemuda keturunan Tionghoa dan Arab adalah realita sejarah.

“Ya memang kedua etnis itu berperan atau ikut ambil bagian di dalam proses memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Jadi etnis Tionghoa maupun etnis Arab itu juga turut andil di dalam bangsa ini memperoleh kemerdekaan,” kata Asvi, Jumat 16 Agustus 2019.

Bahkan disebutkan warga keturunan juga ada di BPUPKI yang ikut dalam mempersiapkan kemerdekaan.

“Jadi paling tidak ada 5 orang yang ikut merancang UUD 45 dan bahkan juga di dalam BPUPKI itu kan menetapkan presiden. Jadi mereka itu ada di dalam proses mendapatkan kemerdekaan itu,” lanjutnya.

Asvi memang tak merinci nama-nama figur keturunan Arab yang bisa dianggap termasuk motor penggerak kemerdekaan. Namun menurut dia, pemuda etnis Arab sangat awal turut dalam perjuangan kemerdekaan.  (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya