SOROT 569

Untungkan Penguasa, Pertaruhkan Nasib Rakyat

Aksi unjuk rasa menolak RUU KUHP dengan tutup mulut di Jakarta
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA – Ambisi DPR mengesahkan Rancangan KUHP pada 24 September 2019 masih di tubir kontroversi. Problemnya, banyak pasal dalam RKUHP yang dicap tak jelas dasar dan tujuannya. Butir-butir tertentu malah berpotensi menjerat warga negara dalam aturan yang tak universal bisa dipahami. Perspektif lain menilai revisi produk hukum ini ibarat “karya agung rezim”. Artinya, rezim sekarang dan dan siapa pun yang berkuasa nantinya diprediksi pasti suka pada pasal-pasal RKUHP itu.

MK Hapus Pasal Sebar Hoaks, Polri Bilang Begini

Pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP 2019 menjadi perbincangan dalam beberapa pekan terakhir. Setelah dibahas dalam panitia kerja (panja) secara bertahap, sekalipun belum tuntas, sejumlah pasal sudah memantik kritik. Alih-alih melindungi, terdapat pasal-pasal  dalam KUHP yang justru bisa “menjebak” warga negara. Oleh karena itu disebut  sebagai pasal karet, yang tak lain pasal yang bisa ditafsirkan dengan lentur yang bisa menjerat banyak orang termasuk mereka yang seharusnya tak layak dipidana.

RKUHP ini juga diklaim DPR sebagai produk dekolonialisasi demi wajah antiasing. Senayan seakan berusaha mencitrakan bahwa KUHP baru nantinya akan lepas dari hukum-hukum yang pernah dirancang pada masa kolonial.

Irjen Karyoto Larang Kegiatan Ini Selama Ramadan, Siap Beri Sanksi Tegas Jika Melanggar

Anggota Panja RUU KUHP Fraksi Nasdem Taufiqulhadi (kiri). Rapat Panja RUU KUHP

Sayangnya ketidakmumpunian dan kurang terbukanya DPR akan masukan dan kritik dalam membongkar ulang hingga menyusun kembali RKUHP menghasilkan produk yang tak lebih baik. Itu pun kalau tak mau disebut bahwa RKUHP saat ini lebih buruk.  Alhasil hitungan pekan menjelang pengesahan, terungkaplah adanya pasal tambal sulam, pasal karet dan pasal tumpang tindih hingga pasal yang berpotensi negasi dengan pasal dalam UU lainnya.

Kompolnas Apresiasi Kerja Sama Polri-FBI dalam Bongkar Jaringan Pornografi Anak

Apa saja contoh pasal-pasal bermasalah di RKUHP 2019?

Pasal 2 ayat 1 dan 2 termasuk bagian paling awal dari rancangan undang-undang ini ibarat pembuka dalam RKUHP yang segera dianggap agak bermasalah. Pasal 2 dalam Buku 1 RKUHP berbunyi:

Pasal 2
(1)     Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
(2)     Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.

Pasal 2 ini dianggap tak jelas dasarnya lantaran hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang biasa juga dikenal dengan hukum pidana adat tidak seharusnya berada dalam KUHP. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa hukum pidana adat atau living law yang berlaku dalam masyakarat adat tertentu hanya berlaku dalam lingkungan masyarakat itu. Norma-norma tersebut dianggap tak perlu diurusi negara. Apalagi hukum pidana adat di satu tempat jelas bisa berbeda dengan yang ada di tempat lainnya.

"Hukum pidana adat ini kan harusnya tidak masuk di dalam KUHP. Biarkan dia hidup di tengah masyarakat, tidak perlu negara terlalu intervensi soal hukum pidana adat ini. Karena kalau tidak nanti siapa yang menyatakan bahwa itu hukum yang berlaku dan hidup di tengah masyarakat itu. Masyarakat adat selama ini tahu bahwa hukum masyarakat adat itu berlaku dan hidup di tengah mereka," kata pakar hukum pidana Dr Ahmad Sofian yang juga dosen di Fakultas Hukum Universitas Bina Nusantara dalam wawancara kepada VIVAnews.

Tak hanya Ahmad Sofian, Ketua Umum YLBHI Asfinawati juga menyinggung soal potensi masalah dalam Pasal 2 tersebut. Pasal ini dinilai akan bisa disimpangi dengan hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat dan yang tidak memahaminya bisa saja terkena.

"Apa hukum yang hidup di masyarakat, yang bisa mempidana kita, kita enggak tahu karena Indonesia punya begitu banyak pulau. Begitu banyak provinsi, pulau tapi lebih lagi dan punya begitu banyak adat,” kata Asfinawati merespons VIVAnews.

Apalagi kata dia, mobilisasi antardaerah di Tanah Air kini sangat mudahnya. Hal itu akan menjadi tantangan produk hukum agar tidak berpotensi mengenai warga yang tidak paham sepenuhnya. Namun potensi bahaya ini ada dengan adanya dua ayat dalam pasal 2 tersebut.

Ketua Umum YLBHI AsfinawatiKetua Umum YLBHI Asfinawati

Belum lagi menurut Asfinawati motif untuk mengkriminalkan orang bisa digunakan untuk orang tertentu apabila dia bisa “dijebak” melanggar hukum pidana adat masyarakat setempat yang mungkin bukan pelanggaran di daerah asal yang bersangkutan.

"Meskipun ayat 2 Pasal ini mengatakan hukum yang hidup di masyarakat hanya berlaku di wilayah itu ya enggak bisa. Emang orang sekarang enggak naik pesawat pergi ke mana-mana. Jadi cara berpikir ini lucu, gitu seakan-akan menganggap kita di abad keberapa gitu yang orang gak bisa berpindah tempat dengan cepat. Nah kalau itu yang terjadi maka bisa dibayangkan banyak orang bisa kena pidana tanpa dia ketahui dia berbuat salah atau tidak," kata dia.

"Sehingga agenda-agenda kelompok tertentu bisa maju dengan pasal ini. Dan bisa ada balas dendam. Di satu daerah X dipidana di daerah Y. Nanti ketika orang dari daerah Y datang ke X kata orang di X kita kerjain, kita pidana juga, kita laporin dia ke polisi. Ini bisa jadi aksi balas membalas,” lanjut Asfinawati memberikan contoh.

Pasal Zina

Pasal selanjutnya yang bisa menjadi masalah adalah pasal perzinaan. Pasal tersebut dianggap terlalu mengurusi hal privat dan cenderung bisa terdampak pada orang-orang yang relatif masyarakat lemah dan tak punya kekuasan maupun kekuatan uang. Pasal-pasal yang mengatur soal perzinaan ada dalam bagian keempat mulai dari Pasal 417  hingga Pasal 420.

Di bawah ini sebagian pasal dan ayat dalam Pasal 417 dan Pasal 419,

Pasal 417
 (1)     Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II.
(2)    Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua, atau anak.
(3)     Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 30.          
(4)     Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

Pasal 419
(1)    Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.
(2)    Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua atau anaknya.
(3)    Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 31.
(4)    Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

Ilustrasi berzina.Ilustrasi perzinaan

Direktur Eksekutif ICJR Anggara menjelaskan, pasal-pasal soal perzinaan itu juga bisa menjadi masalah. Menurut dia, harus diperjelas soal pihak-pihak yang memang ingin dilindungi dengan adanya pasal perzinaan ini. Dalam KUHP yang masih berlaku saat ini kata dia, yang dilindungi cenderung adalah keutuhan keluarga. Namun dalam RKUHP terindikasi bahwa yang dipentingkan adalah moral dan implikasinya bisa akan sangat bias.

"Kalau KUHP yang sekarang ini bukan moral yang dilindungi tapi lebih pada keutuhan keluarga. Jadi orang yang sudah punya pasangan yang resmi tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan orang yang bukan pasangan resmi nya. Jadi siapa yang berhak maju ya keluarga lah, bukan yang lain. Tapi kalau dalam RKUHP yang dilindungi moralitas. Padahal itu berbahaya ya,” kata Anggara.

"Ya private sekali, dan itu nanti bias sosial. Orang kaya akan aman, orang miskin saja itu nanti yang akan digerebek," kata dia lagi soal pasal yang mengurusi tinggal bersama hingga hubungan badan bukan dengan pasangan sah itu.

Pasal selanjutnya yang juga bisa menjadi problem adalah pasal soal penghinaan presiden yang sudah pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Pasal 219
Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Pasal 220
(1)    Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.

(2)     Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan oleh kuasa Presiden atau Wakil Presiden.

Ketua Umum AJI Abdul Manan menilai, dua pasal dalam draft RKUHP yakni Pasal 219 kemudian Pasal 241 soal penghinaan itu tak hanya bisa mengancam publik namun juga kebebasan pers di Indonesia yang diatur dalam UU Pokok Pers.

"Keduanya juga menghidupkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden yang sudah dinyatakan tak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu," kata Abdul Manan di Jakarta.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan

Dia menyayangkan DPR dan pemerintah yang membahas draft ini seperti abai atas masukan masyarakat sipil. Yang ada, mereka malah menambah pemidaan baru dengan adanya pasal-pasal yang bisa membahayakan pers sebagai pilar keempat dalam demokrasi.

Namun Direktur Eksekutif ICJR Anggara menilai bahwa pasal penghinaan terhadap presiden itu sebenarnya bukan dihidupkan lagi. Sebenarnya sejak tahun 1991 draft itu sudah ada. Sementara delik aduannya ada sejak tahun 2005. Lebih jauh Anggara menilai bahwa sebenarnya perubahan dalam KUHP sebaiknya amandemen sehingga tinggal mengubah pasal yang tak sempurna pula menambah pasal yang perlu.

"Keinginan kita kan salah satunya adalah kenapa sih kita tidak tetap memakai KUHP yang sekarang ada saja karena sebenarnya tidak ada bedanya juga. Sebetulnya isi revisi KUHP yang sekarang itu 90 persen sama kok dengan KUHP yang ada sekarang. Itu cuma versi bahasa Indonesia dari KUHP yang sekarang kita gunakan. Isinya 90 persen sama dengan yang sekarang kita gunakan, bedanya itu paling 10 persen karena kejahatan baru seperti terorisme, narkotika, korupsi, perdagangan orang," kata Anggara.

Pasal yang selanjutnya yang dianggap tidak jelas penjabarannya adalah mengenai pasal penghinaan terhadap kepala negara asing. Hal tersebut masuk dalam draft Pasal 226 dan Pasal 227.

Pasal 226
Setiap Orang yang  di muka umum  menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri kepala negara sahabat yang sedang menjalankan tugas kenegaraan di Negara Kesatuan Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori III.

Pasal 227
Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri wakil dari negara sahabat yang bertugas di Negara Kesatuan Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori III.

Draft tersebut menurut ICJR harus diperjelas lantaran rujukan terminologi kepala negara akan berbeda dengan kepala pemerintahan. Begitu juga dengan implikasi jabatan dan tugasnya.

"Di sebuah negara itu ada yang jabatan yang memiliki dua fungsi, ada yang jabatan dua kursi. Misalnya, kalau kita menghina Presiden Singapura di sini, kena kita ditangkap, kenapa? Karena jelas kepala negara asing tidak boleh dihina. Tapi kalau kita menghina Perdana Menteri Singapura dipidana enggak di sini? Karena enggak ada penghinaan terhadap kepala pemerintahan negara asing itu dipidana, yang ada kepala negara asing," kata dia.

"Artinya itu spesifik di mana jabatan itu fungsinya dipisah sebetulnya. Jadi kalau dia jabatannya kepala negara ya kepala negara saja, kepala pemerintahannya belum tentu kepala negara. Makanya menghina kepala pemerintahan negara asing itu tidak ada aturannya untuk di pidana. Di KUHP juga tidak ada pidana untuk menghina kepala pemerintahan asing, yang ada kepala negara asing," Anggara menambahkan.

Presiden Jokowi saat menunjukan gambar hoax terkait dirinya dan PKI di MarundaJokowi menunjukkan dirinya difitnah sebagai kader PKI

Pasalnya, kata dia, argumen yang digunakan untuk memasukkan kembali pasal penghinaan presiden menurut dia sering kali karena membandingkan dengan adanya pasal penghinaan terhadap kepala negara lain. Namun untuk Indonesia harus dipilah jelas penghinaan yang tidak boleh tersebut dalam kaitan jabatan yang mana.

"Problemnya adalah Presiden kita punya dua fungsi sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan. Sebagai kepala negara dia jelas sebagai simbol negara. Tapi dalam tindakan presiden sebagai kepala negara itu kan terbatas sebetulnya. Kalau dalam UUD itu presiden sebagai kepala negara itu mempunyai tindakan terbatas yakni pemberian grasi, mengumumkan keadaan bahaya, memberikan amnesti, rehabilitasi, memberikan tanda jasa. Cuma 5 hal yang bisa dilakukan presiden atas nama kepala negara,” imbuhnya.

Ngotot

Hal lain dalam RKUHP terkait pasalnya yang juga dikritisi adalah mengenai komutasi pidana mati. Komutasi masa tunda pidana mati dianggap tak punya dasar kuat ditetapkan hingga 10 tahun. Sementara bila membandingkan dengan aturan hukum pidana di negara lain tak selama ini. Di China misalnya yang hukuman matinya cukup ketat hanya dalam dua tahun.

"Ternyata angka 10 tahun itu dari pendapat ahli pemerintah di persidangan yang menyatakan bahwa sudah ada masa tunda 10 tahun. Pertanyaan kita itu kan angka 10 tahun di tahun '91 itu didapat dari mana? Dan menghitungnya dari mana 10 tahun itu? Dari putusan incraht kah atau sejak dia di tahan. Nah kalau dari sejak dia ditahan berarti lebih dong dari 10 tahun karena dari sebelum mendapatkan putusan incraht pidana mati, ditambah dengan 10 tahun masa percobaan bisa 13 tahun dong. Apakah itu membuat insentif untuk orang berbuat baik?” kata Anggara.

Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil.Anggota Panja KUHP Nasir Djamil
 

Anggota Panja KUHP Nasir Djamil mengatakan, DPR paham bahwa ada pro dan kontra mengenai pasal hukuman mati antara yang setuju dan yang tidak. Namun Panja kemudian mengadopsi dua masukan yang tetap memasukkan pasal hukuman mati namun mengakomodir adanya penundaan dan kelakukan baik pada masa penundaan hingga 10 tahun itu belum tentu berakhir pada eksekusi mati nantinya. Bisa digantikan dengan seumur hidup.

"Akhirnya hukuman mati itu hanya untuk pidana yang bersifat khusus bukan pidana biasa, jadi bukan pidana pokok lagi dia, pidana yang bersifat khusus. Artinya dia bisa juga diancam dengan hukuman seumur hidup. Jadi bisa saja dia mendapatkan hukuman mati, tetapi hakim memutuskan dengan percobaan 10 tahun," kata Nasir dari Fraksi PKS.

Kalau dia berkelakuan baik, menunjukkan rasa penyesalan, bukan pelaku utama, dengan pertimbangan hakim maka dia bisa diubah menjadi hukuman seumur hidup. Tapi kalau selama 10 tahun di lapas dia tidak menunjukkan perlakuan baik, tidak menyesali perbuatannya, justru melakukan tindak pidana serupa, itu bisa langsung dieksekusi. Begitu kata Nasir.

Nasir mengatakan, semua fraksi di DPR cenderung menginginkan agar RKHUP diketok dan disahkan menjadi UU pada akhir masa sidang ini. DPR tak ditampiknya juga menilai bahwa tuntasnya RKUHP akan dicap sebagai prestasi.

"Sementara DPR periode ini, pimpinan komisi dan pimpinan DPR juga punya keinginan agar RKUHP ini diselesaikan di periode mereka, agar ada legacy-nya kan. Jadi ada semacam kebanggaan bahwa periode ini telah berhasil RUU KUHP," kata dia.

Dia tak menampik bahwa masih ada pro dan kontra di luar Parlemen mengenai RKUHP tersebut. Namun kalau pada akhirnya RKUHP kadung diketok pada 24 September 2019 nanti maka publik hanya bisa mengajukan gugatan judicial review pasal bermasalah ke MK.

Sikap pemerintah dan DPR yang dianggap terkesan memaksakan pengesahan RKUHP direspons oleh pakar hukum pidana Ahmad Sofian. Dia mengilustrasikan bahwa rencana pengesahan RKHUP ini bak orang yang ingin buru-buru pindah dari rumah kontrakan yang usang ke rumah baru. Namun sayangnya rumah baru tersebut masih bolong-bolong atapnya sehingga bocor.

"Kita punya semangat ingin pindah dari rumah kontrakan ke rumah bar  tapi ketika ingin pindah seperti itu kondisinya coba kalau hujan datang karena atap rumah kita masih bocor kita masih kena hujan kan. Lebih baik kita kembali saja ke rumah kontrakan yang lama itu daripada rumah baru yang atapnya masih bolong-bolong karena finishing-nya enggak bagus menurut saya,” kata dia memberikan perumpamaan.

Namun ngototnya pemerintah dan DPR untuk mengesahkan RKUHP, menurut dia, patut diduga karena memang pasal-pasalnya akan sangat mudah mempidanakan pihak-pihak yang memprotes rezim pemerintah. Diketahui partai pendukung pemerintah dan koalisinya adalah yang terbesar kursinya di DPR saat ini.

"Jadi siapa pun rezim yang berkuasa pasti akan senang dengan RKUHP ini. Karena itu mereka akan mengupayakan DPR agar setuju dengan RKUHP ini dengan proses negosiasi politik. Jadi UU ini bukan menguntungkan kita tapi akan menguntungkan penguasa," ucapnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya