SOROT 574

Kisah Para Pendengung

Ilustrasi buzzer.
Sumber :
  • www.pixabay.com/tookapic

VIVA – Demonstrasi besar-besaran mahasiswa sepanjang pertengahan September hingga awal Oktober kemarin kembali mencuatkan isu buzzer. Aksi demonstrasi yang dibalas kontra opini di media sosial membuat publik membaca ada peran kelompok terorganisir. Mereka bekerja untuk melemahkan isu yang diusung mahasiswa.

Ditanya soal Status Keanggotaan Partai Politiknya, Gibran Bilang Begini

Di tengah maraknya demonstrasi, beredar cuplikan berita dari seword.com, akun website yang dikenal sebagai pendukung Jokowi. Sebuah postingan bertanggal 2 Mei menyebut bagaimana tim ini bekerja dalam lima kali debat capres cawapres. Bagaimana mereka berkumpul, nonton bareng, membuat konten secara spontan dan menjawab pertanyaan. Seword juga menyebut nama Abu Janda, Denny Siregar, Yusuf Muhammad, Katakita, Eko Kuntadhi, Komik Kita, Komik Pinggiran, Aldi El Kaezzar, Pepih Nugraha, Info Seputar Presiden, Habib Think, Salman Faris, datang dari berbagai daerah memenuhi panggilan "Kakak Pembina."

Demo revisi UU KPK dan UU KUHP

PAN Persilakan PPP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran: Jangan Bikin Syarat Rumit

Seword juga menyebut tim ini dilengkapi tim desain, tim video, dan tim narasi sehingga bisa bekerja dengan cepat. "Tim ini memang tak terlihat. Selain Kakak Pembina dan Presiden, tak ada yang benar-benar tahu komposisi ini," demikian tertulis di Seword.com.

Tulisan itu membuat perhatian publik langsung mengarah ke istana. Sebab, ada sebutan Kakak Pembina dan Presiden. Kecurigaan mengarah kepada Moeldoko, sebagai Kakak Pembina. Moeldoko menanggapi tudingan itu dengan tertawa, dan mengaku tak tahu sama sekali soal buzzer itu. Ia membantah menjadi Kakak Pembina buzzer atau sering bertemu dengan para buzzer. Menurutnya, tak ada komando sama sekali dari Kantor Staf Presiden.

RI Siap-siap Hadapi Dampak Buruk akibat Konflik Iran-Israel, Menurut Analis

"Sebenarnya enggak juga, yang mana, aku sendiri punya akun kadang-kadang kita enggak ngerti, muncul buzzer-buzzer yang aneh-aneh. Jadi apalagi. Saya enggak pernah buka itu," katanya.

Buzzer atau pendengung seperti yang ditujukan ke Istana dan Moeldoko, kini semakin akrab dengan telinga publik. Kelompok pendengung ini lebih dilekatkan dengan isu politik, karena perannya makin terdengar setiap kali bicara isu politik.

Membuminya istilah buzzer tak bisa dilepaskan dari pesatnya pertumbuhan pengguna teknologi digital, termasuk pengguna internet dan media sosial. Pengamat media sosial Enda Nasution, mengingat masa perkembangan buzzer mulai terasa pada tahun 2009. Tahun itu, sudah ada partai dan kandidat yang mencoba mengisi ruang digital, dan Facebook mulai memiliki penggemar khusus. Namun penggunaan masih minim, dan belum dianggap memiliki kekuatan besar untuk mempengaruhi opini publik.

Menurut Enda, momentum yang paling terasa akan peran buzzer terjadi pada tahun 2014, ketika pertama kali Jokowi menang di Pilpres. Bagaimana dukungan publik lewat media sosial ternyata bisa mempengaruhi opini publik, bahkan kepada mereka yang tidak menggunakan teknologi digital. "Jadi seolah-olah ada kemenangan moral di media sosial dan kemudian membuat Jokowi jadi presiden pada saat itu," ujar Enda kepada VIVAnews.

Pilkada DKI 2016

Perkembangan pesat terasa sejak 2014 hingga 2019. Sebab, periode ini banyak kasus yang terjadi. Salah satunya adalah Pilkada DKI tahun 2016, yang menjadi contoh konkrit bagaimana perang di ruang digital berimplikasi besar. Pilkada di beberapa daerah pada tahun 2018 juga menjadi ajang pertarungan sengit di ruang digital.

"Nah, puncaknya ini terjadi kemarin di 2019, masing-masing pihak sudah punya persiapan untuk menyiapkan pasukan sendiri, dengan berbagai macam strategi tentunya. Ada yang menggunakan strategi dengan menggunakan identitas yang tidak jelas, ada yang mengumpulkan relawan, ada yang mengumpulkan endorser-endorser, dan termasuk juga mengumpulkan tenaga-tenaga buzzer lainnya," tutur Enda.

Kartika Djumadi, pengamat media sosial lainnya mengatakan, penggunaan buzzer adalah hal yang wajar dalam dunia usaha. Banyak brand menggunakan buzzer untuk meningkatkan engagement di media sosial.

Istilah buzzer sudah ada sejak era digital marketing mulai berkembang di dunia usaha pada tahun 2002, dan semakin marak setelah social network services (SNS) menyediakan banyak platform media sosial sebagai tools untuk menyebarkan informasi, seperti facebook, twitter, Instagram, YouTube dan lain lain.  

Dalam digital marketing ada istilah “buzz marketing” yang dilakukan oleh korporasi untuk meningkatkan “commercial engagement” di media sosial.  Kemudian ada juga istilah “viral marketing” yang merupakan implikasi dari engagement konsumen di media sosial sehingga informasi yang diperbincangkan menjadi tersebar selayaknya virus.

Kartika mengatakan, buzzer adalah para opinion leaders dan informal leaders yang awalnya digunakan korporasi untuk meningkatkan “commercial engagement” terhadap image perusahaan,  produk maupun di media sosial agar brand tersebut menjadi viral atau diperbincangkan oleh banyak konsumen maupun calon konsumen.  

"Belakangan buzzer juga banyak digunakan oleh para politisi maupun entitas politik sejak era political marketing berkembang di dunia," ujarnya.

Kartika meyakini, keberadaan buzzer di Indonesia dimulai pada tahun 2007 ketika publik banyak menggunakan media sosial dari berbagai platform. Awalnya adalah friendster, myspace, flickr, dan lain lain sebelum munculnya facebook dengan features yang lebih lengkap sehingga banyak disukai oleh netizen.

Imbalan Berjuta-juta

Buzzer telah menjadi fenomena global. Dua ilmuwan dari Universitas Oxford, Inggris, Samantha Bradshaw dan Philip N.Howard menemukan bahwa buzzer politik di Indonesia ternyata berbayar. Melalui laporan yang bertajuk "The Global Disinformation Order: 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation, keduanya menyampaikan penggunaan pasukan siber dunia maya (cyber troop) bertugas untuk mempengaruhi opini masyarakat dan lawan politik. '

Menurut Bradshaw dan Howard, buzzer di Indonesia menggunakan empat platform media sosial, yakni twitter, facebook, WhatsApp, dan Instagram. Selain itu, dalam laporan tersebut fenomena yang terjadi di Indonesia diketahui bahwa politikus dan partai politik serta kontraktor pribadi menyebarkan propaganda pro pemerintah atau partai, menyerang lawan politik, dan menyebarkan informasi untuk memecah-belah publik.

Ilustrasi media sosial

Samantha dan Philip membagi buzzer menjadi empat kategori, yaitu minimal cyber troop teams (pasukan dengan kapasitas minimal), low cyber troop capacity (pasukan dengan kapasitas rendah), medium cyber troop capacity (pasukan dengan kapasitas menengah), dan high troop capacity (pasukan dengan kapasitas tinggi). Indonesia, menurut laporan itu menempati kategori low cyber troop capacity atau pasukan dengan kapasitas rendah. Para buzzer tersebut tidak dikontrak secara permanen, dan dibayar antara Rp1 juta hingga Rp50 juta.

Pengelola akun Twitter @satoedoeasatoe Irwan Suhanto seorang aktivis ‘90 an yang juga Sekjen Rumah Indonesia Merdeka (RIM), mengatakan bicara tentang buzzer maka kita harus memahami apa yang mereka sebarkan. Menurutnya, saat ini orang menpersepsikan buzzer sebagai penyebar hoax (berita bohong). Dalam politik, hoax itu analog dgn 'black propaganda', semacam propaganda asimetris untuk menjatuhkan lawan.

Menurut Irwan, sebenarnya itu adalah perkara lumrah. Kalau politisi takut sama black propaganda atau hoax sebaiknya dia tidak ikut politik. Karena black propaganda adalah suatu yang niscaya dalam politik.  "Jadi munculnya buzzer sangat lumrah, sebab diperlukan engine untuk menyebarkan black propaganda itu," ujarnya.

Irwanto menuturkan, cara kerja buzzer sebenarnya sama saja dengan para penyebar pamflet black propaganda di masa lalu. Hanya medianya saja yang berubah mengikuti kemajuan teknologi.  Tujuan buzzer hari ini adalah merendahkan lawan politik sekaligus meningkatkan popularitas politisi yang mereka dukung.

Irwanto juga mengakui adanya buzzer yang tersistem dalam struktur yang resmi dan dikelola dengan profesional. Termasuk ada konsekuensi membayar honor para penggeraknya, hingga menyediakan infrastruktur dan peralatan kerjanya.

Enda Nasution

Buat Enda Nasution, jika dilihat dari metode yang dilakukan, buzzer saat ini adalah konsultan komunikasi untuk beberapa tahun silam. "Cuma kalau dulu yang bisa memproduksi informasi itu kelompok tertentu, terutama teman-teman jurnalis dan media. Sehingga bagaimana pun juga informasi yang sampai ke publik itu bisa dipertanggungjawabkan. Kalau jurnalis kan jelas, ada ketentuan kode etiknya, ada peraturan yang diatur, kalau dulu bahkan bisa dihukum bredel dan sebagainya.  Nah, konsekuensi munculnya ruang-ruang publik di era digital ini, maka kemudian siapapun bisa menyebarkan informasi," ujarnya menjelaskan.

Jadi, Enda menambahkan, kalau ditanya apakah soal buzzer ini baru atau sudah dari dulu, sebenarnya jawabannya adalah makin ke sini makin bermunculan, karena kebutuhannya semakin muncul. Ia menganalogikan kondisi ini sebagai sebuah medan pertempuran. Bagaimana bisa memenangkan pertarungan atau perang opini di ruang-ruang publik digital. Karena kalau lewat media mainstream atau media konvensional, maka tentunya harus disertai dengan bukti, fakta yang jelas.

"Kalau di media massa, tidak bisa tiba-tiba posting, dan ternyata salah. Kalau pun salah, kan seharusnya juga dikoreksi. Media massa ada proses cek and ricek dan berlapis untuk sampai pengecekannya itu. Tapi kalau di media sosial itu  bisa sengaja dibuat salah, sengaja dilakukan untuk memprovokasi, atau memancing lawannya emosi, dan sebagainya. Jadi memang ini bisa dibilang fenomena baru yang berkenaan untuk mengisi ruang-ruang publik digital sebenarnya," ujar Enda menjelaskan.

Enda menebak, tim pasukan buzzer ini terdiri dari kelompok independen. "Jadi tim-tim ini berdiri independen. Mereka yang membutuhkan tenaganya ini tahu bahwa mereka bekerja di mana, siapa mereka, dan sebagainya. Tapi mereka hanya memberikan arahan dan perintah, sehingga tim-tim independen ini ikut ke siapa yang mendanai saja. Dan mereka bisa berubah-ubah, tergantung bohirnya atau pendananya," ujarnya.

Selain kelompok independen, ujar Enda, ada lagi kelompok yang lebih militan. Kelompok ini tak tergantung pada ada atau tidaknya logistik. Mereka berkumpul dan bekerja karena kesamaan ideologis atau kesamaan preferensi pada kandidat tertentu.

"Makanya kemarin itu kalau kita lihat perkembangan buzzer itu, bisa dikatakan cukup serem juga lah ya. Bukan hanya tim sukses yang punya pasukan digital, tapi kemarin kita lihat juga beberapa kali sisi lain yang mengangkat isu khilafah, HTI, dan mereka melakukan aksi yang sangat masif di media sosial," ujarnya.

Salah seorang yang disebut buzzer, Denny Siregar

Menurutnya, kelompok ini bisa dikatakan lebih militan, dan motivasi mereka mungkin bukan karena dibayar, tetapi karena ada kesamaan misi ideologis di situ.

Enda juga mengatakan, jika memang bergerak secara profesional dan itu dimaknai sebagai dibayar, maka  artinya mereka dibayar. Tapi apakah mereka profesional dalam arti kode etik atau kebenaran informasi, itu beda lagi itu. Tapi kalau motifnya bayaran, sering kali mereka bayaran. Menurutnya, kelompok berbayar ini ada konsultannya, ada yang memikirkan strateginya, ada yang memikirkan bagaimana teknisnya, berapa jumlah pasukannya, hingga arahan dan logistiknya.

Ia menghitung, jika satu tim ada 10 orang dan per orang dibayar Rp6 juta, maka dalam satu bulan operasional mereka dibayar Rp60 juta. Itu baru biaya per orang. Artinya jika dikontrak selama enam bulan, maka dana yang dibutuhkan sebesar Rp360 juta.

Pengaruhi Opini Publik

Direktur Riset Pollmark, Eko Bambang Subiantoro membedakan buzzer dengan influencer. Menurutnya, buzzer atau orang yang bekerja kalau dalam konteks politik dia bekerja melakukan propaganda politik, dan itu tidak bisa dihindari dalam konteks sekarang ini.

Tapi memang tiap-tiap buzzer ini pada akhirnya tidak memberikan sesuatu yang positif dalam konteks misalnya bagaimana berdemokrasi yang baik, bagaimana menyampaikan informasi yang mengedepankan edukasi politik kepada masyarakat.  Menurut Eko, fenomena penggunaan buzzer saat ini hanya sekadar untuk melakukan pembelaan dan pembenaran. Tidak ada kesan untuk mengedukasi publik, misalnya untuk memahami sebuah masalah, tapi hanya sekadar setia pada kelompok tertentu dengan cara melakukan serangan balik dan meng-counter isu negatif yang mengarah pada kandidat yang didukungnya.

Direktur Riset Pollmark, Eko Bambang Subiantoro

Sementara influencer, adalah orang-orang yang menyampaikan opininya dan dukungannya pada kandidat tertentu. Cara yang mereka gunakan adalah menyampaikan argumentasi-argumentasi terhadap dukungannya.

"Kalau buzzer biasanya mereka cenderung menggunakan akun-akun anonim yang bekerja hanya untuk meng-counter atau menyerang lawan-lawannya di media sosial. Dan biasanya tanpa dilengkapi dengan argumentasi-argumentasi yang baik, sehingga sering kali dia tidak objektif dalam menyampaikan kritik. Karena biasanya mereka menggunakan narasi-narasi untuk membela dukungannya. Nah, ini yang membuat situasinya terkadang menjadi tidak baik. Kalau saya melihatnya seperti itu," ujar Eko.

Menurut Eko, menggunakan buzzer justru tak bisa dilakukan oleh lembaga survei resmi semacam Pollmark, karena ada aturan yang mengikat. "Lembaga-lembaga konsultan secara formal itu pasti agak sulit melakukan serangan membabi buta seperti yang dilakukan oleh buzzer itu, karena kami diikat oleh sebuah aturan-aturan yang memang itu akan berkonsekuensi kepada kami dan kandidatnya, sehingga yang kami lakukan tidak dalam kapasitas seperti itu," ujarnya.

Ia berpendapat, peran buzzer tak berpengaruh secara signifikan dalam kemenangan elektoral. Sebab, kelas pengguna sosial masih berada pada level menengah ke atas, bukan menengah ke bawah.  

Netizen bernama Joshua Sihombing mengatakan tugas dan cara kerja buzzer adalah membagikan info di berbagai medsos dengan menggunakan lebih dari 2/3 akun medsos. Karena semakin banyak yang membagikan isunya, maka akan semakin cepat dan gampang tersebar infonya. Dengan cara itu, maka publik yang awam juga akan mendapatkan informasi yang sama. Menurutnya, buzzer punya peran penting dalam memengaruhi opini publik, tergantung bagaimana permintaan kliennya.

Kampanye Jokowi 

Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Politican Review (Ipr) Ujang Komarudin mengakui, buzzer adalah fenomena baru di era demokrasi digital. Dan kehadiran buzzer merupakan suatu keniscayaan bagi para tokoh politik.

"Dulu Pemilu 2014 ketika akan kampanye yang dibutuhkan adalah ketua penggalangan massa. Nah di era digital ini yang dibutuhkan adalah para buzzer. Buzzer ini kan pasukan tempurnya para politisi. Tugasnya ada tiga, yaitu membangun pencitraan tuannya, membusuki lawan, dan menetralisir pemberitaan," ujarnya.

Menurut Ujang, buzzer bukan hanya direkrut. Tapi juga dipelihara dan dijaga agar mereka bekerja sesuai kemauan 'tuannya.' Ia juga mengakui peran buzzer untuk mempengaruhi opini publik sangat signifikan. "Karena buzzer merupakan cyber army yang bertugas menyerang dan menjatuhkan lawan di udara. Juga untuk membangun pencitraan tuannya," ujarnya menegaskan.

Pengamat media sosial yang juga pendiri Jasmev Kartika Djumadi mengatakan, ada empat poin utama jika ingin peran buzzer menjadi maksimal di media sosial. Pertama adalah pemilihan platform yang disesuaikan dengan target audience, yang kedua adalah pemilihan isu yang ingin dijadikan pemicu diskusi, yang ketiga adalah mempengaruhi cognitive domains audience dan yang keempat adalah mempengaruhi affective domains audience.

Kartika mengatakan, tugas utama buzzer adalah meningkatkan public engagement dan mempengaruhi voting decision. Dan yang membuat buzzer marak saat ini adalah karena buzzer dianggap sebagai pembentuk opini publik. "Media massa konvensional sering mengangkat berita berdasarkan hashtag yang sedang trending di media sosial, padahal hashtag-hashtag tersebut tidak semuanya genuine, ada juga yang menggunakan akun akun BOT yang secara coverage dan engagement tidak berpengaruh sama sekali," ujarnya.

Sementara Enda Nasution mengatakan jasa buzzer akan terus dibutuhkan oleh mereka yang ingin memenangkan sebuah opini, atau mereka yang menjadi kandidat dalam Pilkada atau Pilpres.

"Tapi kan masing-masing punya strategi atau punya pendapat sendiri-sendiri. Ada juga yang mengatakan tidak penting itu buzzer-buzzer, yang penting itu adalah di lapangan," katanya. (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya