- ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
VIVA – Tepat pukul 14.00 WIB, Minggu 20 Oktober 2019, presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, akan dilantik. Pelantikan ini menjadi puncak dari serangkaian proses pemilihan presiden yang diselenggarakan sejak pertengahan 2019. Hanya dalam hitungan hari, Jokowi akan kembali melanjutkan kepemimpinannya, hanya kali ini wakilnya berbeda.
Saat menyampaikan pidato bertajuk Visi Indonesia di Sentul International Convention Center (SICC) beberapa bulan lalu, Jokowi menyampaikan lima program yang akan ia jalankan dalam lima tahun mendatang. Pertama, melanjutkan pembangunan infrastruktur. Kedua, memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM). Menurutnya, pembangunan SDM menjadi kunci Indonesia ke depan.
Selain itu, kualitas pendidikan juga akan ditingkatkan. Jokowi juga berjanji membangun lembaga manajemen talenta Indonesia. Pemerintah akan mengidentifikasi, memfasilitasi, dan memberikan dukungan bagi mereka yang memiliki talenta.
Ketiga, pemerintah akan mengundang investasi seluas-luasnya, dalam rangka membuka lapangan kerja sebesar-besarnya. Jokowi meminta tak alergi dengan investasi karena dengan cara ini lapangan kerja akan terbuka. Untuk itu, Jokowi berjanji memangkas hambatan investasi, seperti perizinan yang berbelit apalagi yang ada punglinya.
Keempat, melanjutkan reformasi birokrasi. Jokowi ingin birokrasi menjadi lebih sederhana agar semakin lincah. Dan Kelima, penggunaan APBN yang fokus dan tepat sasaran. Menurut Jokowi, setiap rupiah yang keluar dari APBN harus bisa memberi manfaat ekonomi, manfaat bagi rakyat dan kesejahteraan masyarakat.
Semua yang dipaparkan Jokowi itu kini tenggelam setelah anggota DPR periode 2014-2019 tiba-tiba ngebut mengesahkan beberapa UU yang kontroversial. Salah satunya revisi UU KPK. Tanpa menunggu lama, revisi UU KPK disahkan, sehingga Jokowi dituntut mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) untuk membatalkan pelaksanaan UU KPK hasil revisi.
Diamnya Jokowi berbuntut panjang. Aksi demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai wilayah selama nyaris dua pekan. Tapi Jokowi tetap bungkam, dan akhirnya UU tersebut diberlakukan.
Direktur Riset Indopolling Network Arum Basuki mempertanyakan, kepada siapa Jokowi-Ma'ruf akan berkomitmen, kepada elit atau kepada rakyat? Arum menjabarkan, jika ditarik ke belakang, ketika Jokowi terpilih di tahun 2014, eforia publik jelang pelantikan amat berbeda dengan yang terjadi pada 2019 ini.
Pada 2014, Jokowi menunjukkan wajah populis. Pemimpin yang berbeda dari banyak elit politik di Indonesia. Bukan bagian dari trah kekerabatan atau dinasti tertentu. Mayoritas pemilih merasa memiliki kedekatan dengan latar belakang Jokowi. Kini, yang muncul wajah oligarki. Arum menganjurkan agar langkah komunikasi politik Jokowi kembali seperti masa di awal ia memimpin. Proses konsolidasi juga tidak boleh hanya di ruang tertutup, hanya dengan, oleh, dan untuk elit.
Ia mengingatkan politik elektoral secara langsung belum lama berlaku di Indonesia. Dan sejak era reformasi, partisipasi publik sangat tinggi. Dari awalnya hanya prosedural (sekadar datang ke TPS dan dimobilisasi), sekarang masyarakat mulai peduli dengan ide, gagasan, track record, dan citra serta keahlian pejabat publik dan politisi.
"Ini harus diapresiasi sebagai bagian dari pendidikan politik. Makanya media, masyarakat sipil, kelompok terpelajar (mahasiswa/akademisi), dan elit partai harus bersinergi bersama. Kekuasaan jangan dipersempit menjadi kursi atau jabatan. Ia harusnya dipandang sebagai cara mendorong dan memajukan kualitas hidup secara kolektif," ujarnya.
PR Kedua
Langkah Jokowi sepertinya tak mudah. Sebabnya, banyak pekerjaan rumah yang harus ia selesaikan. Pertama soal protes publik terkait pengesahan RUU KPK dan rencana pengesahan sejumlah undang undang lainnya.