SOROT 578

'Dwifungsi' Polri

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (kiri) berjabat tangan dengan pendahulunya, Tjahjo Kumolo.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

VIVA – Komisaris Jenderal Mochamad Iriawan resmi menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) masa bakti 2019-2023. Pria yang akrab disapa Iwan Bule ini resmi terpilih setelah melalui pemilihan pada Kongres Luar Biasa PSSI yang digelar Sabtu, 2 November 2019.

Terpililhnya Iriawan menambah panjang daftar polisi atau pensiunan polisi yang menduduki jabatan dan posisi penting di kementerian, badan, atau lembaga dan komisi pemerintah. Sebelumnya, Jenderal Tito Karnavian juga didapuk menjadi Menteri Dalam Negeri. Sebelum resmi diumumkan, santer beredar di publik bahwa Tito akan mengemban jabatan itu. Apalagi, Jokowi kemudian menandatangani surat pemberhentian Tito dari posisinya sebagai Kapolri.

Ketua Umum PSSI terpilih, Mochamad Iriawan. Komisaris Jenderal Mochamad Iriawan ?

Posisi Mendagri yang sebelumnya dijabat politikus PDIP Tjahjo Kumolo ini merupakan salah satu kementerian strategis. Tito mengikuti jejak Komjen Syafruddin yang sempat menjadi Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Lembaga strategis lain yang ‘dikangkangi’ Polri adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah melalui proses yang konteroversial dan menuai banyak kecaman, Irjen Firli Bahuri akhirnya terpilih sebagai pimpinan sekaligus ketua KPK periode 2019-2023. Sementara mantan Kabareskrim Budi Waseso sudah lebih dulu menjadi orang nomor satu di Badan Urusan Logistik (Bulog).

Selain sejumlah nama di atas, masih ada lagi anggota Polri atau pensiunan Polri yang menduduki jabatan strategis, baik di kementerian, lembaga, komisi atau badan strategis lain. Berbeda dengan masa jabatan periode 2014-2019, yang melibatkan militer atau purnawirawan militer memegang jabatan kunci di pemerintahan, periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, pelibatan polisi atau purnawirawan polisi bertambah.

Komjen Mochaman Iriawan alias Iwan Bule mengatakan tak akan ada masalah dengan memiliki tugas ganda. Menurutnya yang penting ia bisa membagi waktu. "Dari pagi saya juga melakukan kegiatan kemudian lanjut ke sini. Asal bisa bagi waktu aja kalau saya tidak masalah," ujarnya kepada VIVAnews.

Iwan Bule mengaku mendapat dukungan penuh dari Tito. Mereka berdua saling support satu sama lain. Tito, ujar Iwan, memintanya untuk memajukan sepakbola Indonesia.

Kepala Biro Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Polisi Dedi Prasetyo.Kepala Biro Penerangan Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Dedi Presetyo

Kepala Biro Penerangan Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Dedi Presetyo juga tak mempersoalkan terpilihnya Iwan Bule. Menurut Dedi, tak ada yang salah dengan posisi Iwan Bule yang masih polisi aktif menjadi Ketum PSSI. Sebab Iwan melalui prosedur yang sama dengan kompetitornya.

"Polanya melalui pendaftaran untuk mengikuti seleksi dan pencalonan sesuai ketentuan atau peraturan yang berlaku secara internal oleh panitia organisasi tersebut. Setiap WNI memiliki hak yang sama sesuai persyaratan kompetensi dan proses pemilihan yang demokratis, transparan serta independen," ujar Dedi kepada VIVAnews.

Dedi menyampaikan selamat atas terpilihnya Iwan Bule dan berharap di bawah kepemimpinannya PSSI dapat lebih berprestasi di kancah persebakbolaan internasional dan memberangus mafia bola di Indonesia.

Banyak Polisi untuk Jokowi

Sikap Jokowi yang melibatkan polisi dan purnawirawan polisi menjadi perhatian. Menurut Iwan Bule, sebagai polisi mereka juga harus siap ditugaskan sebagai apa saja untuk membantu negara. Ia justru menganggap rekan-rekan polisi yang diberikan tanggung jawab di pemerintahan adalah orang-orang yang hebat dan luar biasa jasanya untuk negara, karena mereka siap membantu negara apapun yang diminta.

"Dia (Tito) adalah orang yang berjasa, dan saya akan juga maksimalkan tugas saya ini," ujar Iwan Bule.

Menurut M.Syafii, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra, melibatkan banyak polisi dalam berbagai jabatan di pemerintahan tidak etis. Menurut Syafii,  kalau dalam UU Kepegawaian, yang boleh menduduki jabatan-jabatan sipil strategis adalah yang pensiun. Tapi kalau yang masih aktif, ia mengaku tak tahu aturannya apa. Meski menurut Syafii, ia juga tak pernah melihat ada larangan.

"Kalau aturannya tak tegas melarang itu, ya itu kesempatan yang digunakan Jokowi, karena tak ada larangan tegas, apakah personel Polri yang aktif bisa memiliki jabatan strategis? Cuma paling orang bertanya apakah itu etis? Dari sisi aturannya memang tak jelas larangannya.

Kepala Polda Sumatera Selatan Irjen Pol Firli Bahuri jadi kandidat Capim KPK. Ketua KPK. Komjen Firli Bahuri

Selain Iwan Bule, yang menjadi Ketum PSSI dan Tito Karnavian yang menjadi Mendagri, jabatan strategis lain yang dipegang oleh polisi adalah Ketua KPK. Komjen Firli Bahuri tetap terpilih meski KPK menyatakan, Firli pernah melakukan pelanggaran berat saat menjadi Deputi Penindakan KPK.

Jumlah polisi dan purnawirawan polisi yang memegang jabatan sipil dalam pemerintahan Jokowi memang tidak mayoritas, jumlahnya juga tak sampai 30 persen. Tapi bukan soal jumlah yang jadi persoalan, karena meskipun sedikit tapi mereka memegang berbagai jabatan strategis.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Didik Mukrianto menjelaskan, pengisian jabatan strategis termasuk di kementerian dan lembaga harus disesuaikan dengan basis kompetensi, kapabilitasnya. "Tapi yang tak kalah penting pengisian itu mutlak tak boleh langgar norma dan aturan yang sudah ada," ujarnya.

Menurut Didik, kalau ada dari Polri/TNI di jabatan di kementerian, kelembagaan, harus melihat secara utuh. Selain kapasitas dan kompetensinya, perlu juga dilihat UU TNI-Polri, juga pedoman yang ada. "Jangan sampai terkesan pengisian itu sifatnya sangat politis tanpa melihat unsur teknis atau unsur profesionalisme di sana. Kita tak ingin terkesan pengisian jabatan hanya nuansa akomodasi," ujarnya menambahkan.

Ia dan partainya memastikan akan memantau apakah keputusan melibatkan aparat Polri dan TNI yang masih aktif adalah untuk kemaslahatan negara, atau ada hal lain. Butuh waktu untuk membuktikannya. Didik dan Demokrat siap untuk memantau penyimpangan dari Presiden Jokowi dan tentu siap untuk mengkritisinya.

Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso.Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso

Didik yakin, secara politis, Jokowi memiliki politik yang view-nya lebih besar dibanding orang awam. Ia meyakini, presiden membuat kebijakan berdasarkan pertimbangan yang utuh dan UU Kelembagaan. Sebagai rakyat, ujar Didik, dirinya ingin memastikan apakah yang dilakukan oleh Jokowi akan berdampak baik bagi masyarakat dan negara tanpa ada kepentingan lain.

Pengamat Politik yang juga Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menduga apa yang dilakukan Jokowi dengan menempatkan polisi atau purnawirawan polisi dalam pemerintahannya adalah persiapan menuju Pilkada Serentak 2024. Sebab, pada 2022 dipastikan akan banyak posisi Kepala Daerah yang kosong dan akan digantikan oleh Plt (Pelaksana Tugas). Proses penunjukan Plt ini akan menjadi wilayah Mendagri.

"Nah, kenapa harus Pak Tito yang ditunjuk jadi Mendagri? Pasti ada desain yang mengarah dengan soal kekuasaan. Karena bagaimanapun Plt itu punya pengaruh besar sekali dalam mengondisikan persiapan Pilkada 2024 kan. Itu yang saya juga cermati, kenapa Pak Tito harus diangkat jadi Mendagri? Karena dialah yang akan menunjuk Plt itu semua. Nah, kita bisa bayangkan itu nanti, kalau Plt Kepala Daerah yang akan menjabat dalam waktu satu tahun atau dua tahun itu polisi aktif. Mereka diangkat jadi gubernur," ujarnya.

Menteri Dalam Negeri Tito KarnavianMendagri Tito Karnavian

Ia mengaku khawatir dengan kondisi ini, karena akan mengganggu demokrasi. "Hari ini yang menjadi sorotan bukan lagi Dwifungsi ABRI. Karena ternyata hari ini di depan mata kita polisi juga sudah ada Dwifungsi Polisi, karena ada dua peran yang dimainkan, selain fungsi menjaga keamanan, fungsi sebagai jalur gen politik yang mulai menonjol," ujarnya menambahkan.

Dengan kondisi seperti ini, Pangi menganjurkan regulasi yang lebih jelas, karena penyalahgunaan kewenangan itu berbahaya. Menurut Pangi, bukan hanya tentara yang dituntut untuk profesional, tapi polisi juga harus profesional dengan cara tidak memasuki wilayah politik praktis. Dan itu hanya bisa diatur lewat UU, bukan hanya lewat imbauan.

Menanggapi tentang banyaknya perwira tinggi Kepolisian yang menduduki jabatan atau posisi strategis diluar struktur kepolisian, Aktivis Forkot 98  yang juga Anggota Presidium Indonesian Human Right Commitee for Justice/IHCS Ridwan Darmawan, menilai secara aturan perundang-undangan memang tidak mengangkangi atau melenceng dari apa yang tertuang dalam pasal 28 ayat 3 UU kepolisian Republik Indonesia, bahwa anggota Kepolisian Republik Indonesia boleh menduduki jabatan di luar struktur Kepolisian. Kemudian sebagai operasionalisasi dari UU Kepolisian, ada Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 4 Tahun 2017 tentang pengangkatan anggota Kepolisian Republik Indonesia diluar struktur Kepolisian. Dalam Pasal 5 Perkap tersebut dinyatakan bahwa anggota Kepolisian bisa menempati posisi di luar struktur Kepolisian yakni di kementerian, lembaga, badan dan komisi.

Ridwan menjelaskan, hal tersebut diatur juga di dalam Perkap tentang bagaimana mekanisme seorang anggota Kepolisian dapat menduduki jabatan di luar struktur Kepolisian dan prinsip-prinsip yang harus dipegang oleh semua pihak dalam proses baik mekanisme, prosesnya, maupun juga bagi para anggota Kepolisian yang ditugaskan di dalam jabatan di luar struktur Kepolisian.

Jokowi Harus Paham

Langkah Tegas PSSI Basmi Sepakbola Gajah di Liga 3

Meski tak semua jabatan strategis diisi oleh aparat, tapi terisinya posisi strategis oleh polisi di era pemerintahan Jokowi membuat presiden menjadi sasaran kecaman. Meski tak ada aturan yang dilanggar oleh Presiden Jokowi, namun membiarkan jabatan strategis sipil diisi oleh polisi dan TNI membuat Jokowi dinilai tak etis dan tak cukup peka pada keinginan publik.

Salah satu yang mengecam sikap Jokowi adalah CH. Ambong, aktivis 98 yang pernah terlibat di lembaga  Pusat Informasi dan Jaringan Aksi Reformasi (PIJAR). Menurut Ambong, Jokowi harusnya paham dan tahu bahwa untuk mengurus sebuah organisasi tidak perlu menempatkan seorang anggota Polri aktif, tapi lebih baik diberikan kepada orang yang benar-benar profesional di bidangnya.

Pemain Keturunan Bisa Bela Timnas U-19 di Piala Dunia U-20, Siapa Dia?

Dalam perspektif demokrasi, ujar Ambong, hal tersebut juga tidak sehat. Hal ini justru pertanda terjadinya kemunduran demokrasi di negeri ini. Sebab, seharusnya jabatan yang bisa diserahkan pada masyarakat sipil, wajib diserahkan pada masyarakat sipil. Karena sipil akan lebih paham bagaimana mengelola organisasi sipil.

Kapolri Idham Azis, Jalani Fit and Proper TestKapolri Idham Azis

Indra Sjafri Disuruh Iwan Bule Jujur Soal PSSI, Jawabannya Mengejutkan

Menurut Pangi Syarwi Chaniago, civil society atau masyarakat sipil harus mendorong adanya UU yang lebih jelas. Banyak jabatan sipil yang saat ini diisi oleh polisi aktif sangat tidak baik untuk demokrasi. Ia meminta agar masyarakat sipil terus melakukan pengawasan dan mendorong Polri agat tetap menjalan tugas mereka sesuai dengan kewenangannya.

Pangi tak yakin Jokowi memiliki agenda khusus dengan melibatkan polisi dan tentara dalam jabatan sipil. Sebab, ini sudah periode kedua Jokowi menjadi presiden, sehingga, menurut Pangi, Jokowi tak punya kepentingan lagi. Di periode ini, Jokowi akan fokus menyelesaikan periode keduanya ini.

Aktivis Forkot Ridwan Darmawan membandingkan sikap Jokowi saat ini dengan Soeharto yang melanggengkan Dwifungsi ABRI. Menurutnya, Dwifungsi ABRI dilanggengkan Soeharto untuk juga melanggengkan kekuasaannya. Dan terbukti Soeharto berhasil mempertahankan kekuasaannya selama 32 tahun dengan memposisikan ABRI sebagai kekuatannya, dari tingkat pusat hingga tingkat daerah, dan kampung-kampung dalam posisi-posisi strategis.

"Bahwa kemudian ada sebagian masyarakat atau publik yang menghubungkan dengan nuansa masa lalu saat era Orde Baru yakni konsep Dwifungsi ABRI yang memang mengkonsepsikan bahwa posisi-posisi strategis di negeri ini harus dipegang oleh perwira ABRI/TNI sekarang, saya kira ini tinggal mengoptimalkan peran masyarakat sipil dengan berbagai keunggulan era keterbukaan hari ini yang jauh berbeda dengan era Orde Baru saat itu," ujar Ridwan kepada VIVAnews.

Menurut Ridwan, saat ini publik atau civil society sangat perlu memastikan Kanal-kanal pengawasan berlapis harus dilakukan. Dan itu sangat penting untuk menepis berbagai kekhawatiran terjadinya penyelewengan ataupun penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat kepolisian yang duduk di jabatan strategis di luar struktur Kepolisian, baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun. Dan pengawasan berlapis itu mutlak diperlukan.

Baca Juga

Jejak Dwifungsi ABRI

Dari Mendagri hingga Ketua Umum PSSI

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya