SOROT 583

Benang Kusut di Udara

Komponen Harley Davidson selundupan di pesawat Garuda Indonesia.
Sumber :
  • VIVAnews/Arrijal Rachman

VIVA – Industri penerbangan negeri ini geger. Penyelundupan motor gede dan sepeda mahal yang langsung dikaitkan dengan nama Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk, Ari Askhara membuat publik ternganga.

Prabowo-Gibran Menang Pilpres, Bos Lion Air Rusdi Kirana Ungkap Harapannya

Motor dan sepeda tersebut diangkut dalam badan pesawat Airbus A330-900 yang baru dibeli Garuda. Pesawat tersebut terbang dari Toulouse, Prancis, pada 16 November 2019. 

Pada 17 November 2019, pesawat tiba di Jakarta dan dibawa ke Garuda Maintenance Facility (GMF) di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng.

Integrasikan SDM, 16 Universitas di Indonesia Gelar MoU dengan Lion Air Group

Menurut keterangan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, ketika jumpa pers soal Garuda, pesawat dikabarkan nihil kargo. Namun, ketika petugas Bea dan Cukai memeriksa lambung pesawat, ternyata ditemukan 18 kardus. 

Komponen Harley Davidson selundupan di pesawat Garuda Indonesia.Suku cadang Harley yang diselundupkan di pesawat Garuda

Bos Lion Air Jawab Teguran KPPU soal Harga Tiket Pesawat Mahal saat Lebaran

Sebanyak 15 kardus berisi onderdil Harley bekas, sedangkan tiga kardus lainnya adalah sepeda bermerek Brompton dan aksesorinya. Nilainya fantastis. Harley diperkirakan total seharga Rp800 juta, sedangkan satu sepeda Brompton harganya berkisar Rp50 juta hingga Rp60 juta.

Proses penyelidikan yang dilakukan mengarah ke nama dirut Garuda. Ari Askhara dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas lolosnya barang mewah tersebut. Dirut bernama lengkap I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra, yang sering kali disebut sebagai The Rising Star di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu, akhirnya dipecat oleh Menteri BUMN Erick Thohir.

Terbongkarnya kasus penyelundupan moge dan sepeda mewah itu seperti membuka keran keburukan yang sedang terjadi di BUMN ini. Satu per satu kasus terbongkar. Mulai dari mutasi tanpa alasan yang jelas, dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), hingga tekanan terhadap pramugari Garuda untuk menuruti hasrat para petinggi.

Ketua Perhimpunan Profesi Pilot Indonesia Capt. Rizky Budiansyah ketika diwawancara VIVAnews, Kamis, 12 Desember 2019, mengatakan, masuknya barang mewah seperti yang terjadi di Garuda juga terjadi di mana-mana. Namun, Rizky tak ingin berkomentar lebih jauh soal hal tersebut. Rizky membenarkan, hal itu tak hanya dilakukan oleh oknum, tapi juga korporasi.

Garuda seperti tak putus didera masalah. Belum lama ini, mantan Dirut Garuda Indonesia Emirsyah Satar menjadi tersangka dalam proses pengadaan mesin pesawat Rolls-Royce dan Airbus SAS sepanjang 2005-2014. KPK juga tengah menyelidiki kemungkinan korupsi dalam proses perawatan pesawat di Garuda. Potensi kerugian negara ditengarai mencapai Rp100 miliar.

Berbagai masalah memang mendera Garuda Indonesia. Tapi bukan berarti maskapai lain aman dari masalah. Lion Air, 'singa besi' ini juga kerap menjadi hujatan publik. Isunya, mulai dari keterlambatan jadwal, gangguan penerbangan hingga narkoba.

Kasus Awak Kabin, dari Narkoba hingga Pelecehan 

Kasus Garuda menambah daftar panjang berbagai kasus yang terjadi di industri penerbangan dalam negeri. Soal pramugari yang kini juga menjadi ramai dibenarkan oleh YP, seorang pramugari Garuda yang sudah bekerja selama tujuh tahun sebagai awak kabin Garuda Indonesia.

Kepada VIVAnews, YP mengatakan, isu adanya pramugari yang dipaksa untuk melayani urusan syahwat petinggi sudah lama terembus. "Direksi sering kali tiba-tiba datang ke ruang training pramugari, atau ke crew centre, yang jadi tempat berkumpul pramugari sebelum terbang. Ujung-ujungnya minta nomor telepon, dan besoknya sudah chatting," ujar YP kepada VIVAnews, Kamis, 12 Desember 2019.

Pramugari usai bertemu dengan Menteri BUMN Erick ThohirPara pramugari isau bertemu Menteri BUMN, Erick Thohir

Ia menambahkan, tugas direksi sebenarnya sangat banyak, tapi ternyata direksi kerap datang ke crew centre atau ruang pelatihan membuat ia dan rekan yang lain merasa aneh. YP mengaku tak pernah mengalami kasus tersebut, tapi pembicaraan dari mulut ke mulut di kalangan awak kabin terus meruak.

Tak hanya Garuda, karut marut industri penerbangan juga terjadi di maskapai lain. Senin, 18 November 2019, publik dikejutkan dengan berita seorang kopilot Wings Air yang gantung diri di kamar indekosnya di Jakarta Barat.

Tak jauh dari jasad kopilot tersebut, konon ditemukan secarik kertas yang berisi tentang pemecatan dari direktur Operasi Wings Air dan denda penalti sebesar Rp7 miliar. Kedua hal itu yang diduga menjadi penyebab dia gantung diri.

Belakangan, Managing Director Lion Air Group, Daniel Putut Kuncoro Adi, dalam rapat kerja bersama Komisi V DPR RI mengatakan, ada perjanjian kontrak antara Wings Air dan kopilot, Nicolaus Anjar Aji Suryo Putro, yang wanprestasi. Nicolaus terikat perjanjian kontrak kerja selama 18 tahun dengan Wings Air.

Menurut Daniel, dalam perjanjian kerja antara manajemen perusahaan dan karyawan disepakati nilai kontrak karyawan sebesar US$500 ribu termasuk dihitung untuk jaminan training dan goodwill atau iktikad baik. Soal denda juga sudah disepakati dalam perjanjian tersebut.

"Perjanjian kami 18 tahun masa kontrak. Nilai denda setara dengan masa kontrak," kata Daniel. 

Wings Air sudah melakukan pemanggilan sebanyak tiga kali sesuai dengan ketentuan Undang Undang Ketenagakerjaan. Tapi, Nicolaus tak memenuhi panggilan tersebut. Maka surat pemecatan dijatuhkan dan sanksi sesuai dengan yang tertera dalam nilai kontrak, yaitu Rp7 miliar.

Pesawat Wings Air

Corporate Communication Strategic of  Wings Air, Danang Mandala Prihantoro, mengatakan, perjanjian ikatan dinas tersebut telah disepakati bersama oleh kedua pihak dalam keadaan pemahaman yang baik. Menurut Danang, perjanjian ikatan dinas dibutuhkan guna menjamin komitmen awak kokpit dan tersedianya awak pesawat yang telah dididik oleh perusahaan serta dinyatakan memenuhi semua kualifikasi (qualified) oleh regulator untuk dapat melaksanakan tugasnya menerbangkan pesawat yang dioperasikan perusahaan sesuai ketentuan dan aturan yang ditetapkan.

"Proses mencetak dan mendidik awak kokpit dibutuhkan biaya dan waktu yang cukup lama dalam memenuhi segala pelatihan, memahami standar operasional prosedur penerbangan dan keahlian yang wajib dipenuhi setiap awak kokpit," tuturnya. 

Maskapai dalam menyusun rencana operasional penerbangan juga harus didukung jaminan ketersediaan awak kokpit yang cukup dan sesuai standar yang sudah ditetapkan oleh regulator dan perusahaan. Upaya itu agar jasa  pelayanan yang akan dan telah dipasarkan diyakinkan dapat terlaksana atau tersedia dengan baik. 

"Hal ini berlaku umum di industri angkutan udara dalam negeri dan internasional," ujar Danang.

Selain kasus bunuh diri, sepanjang 2011 hingga 2017, tercatat lima pilot dan dua awak kabin maskapai Lion Air ditangkap polisi dan Badan Narkotika Nasional (BNN) karena menggunakan sabu-sabu. Mungkin jumlahnya memang belum sampai puluhan, tapi satu pilot yang terganggu fisik dan psikisnya, bisa membahayakan ratusan orang yang mereka angkut dalam burung besi yang mereka kendalikan.

Capt. Edward Hutabarat, direktur Industrial Asosiasi Pilot Garuda Indonesia yang juga pilot senior Garuda Indonesia, mengakui tekanan kerja yang dialami oleh pilot dan awak kabin sebuah maskapai cukup besar. Edward mengatakan, pilot yang mendapat tekanan biasanya level safety-nya cenderung menurun.

"Perjanjian kerja antara pilot dengan perusahaan berbeda-beda di setiap maskapai. Tak ada standar perjanjian yang sama," ujar Edward. "Tapi setiap yang menandatangani kontrak perjanjian kerja, wajib menjalani apa yang tertulis".

Meski tekanan pekerjaan cukup besar, kesejahteraan pilot dan awak kabin Garuda tetap di atas rata-rata maskapai lain. Ketua Umum Ikatan Awak Kabin (IKAGI) Garuda Indonesia, Zaenal Muttaqin, mengakui hal tersebut.

"Setahu saya kalau di kami, di Garuda, secara kesejahteraan tentunya sudah di atas rata-rata dibanding awak kabin yang ada di Indonesia, selain Garuda. Sebenarnya kita termasuk sejahtera dibanding awak kabin domestik atau yang ada di airline nasional," ujarnya.

Meski demikian, Zaenal mengatakan, ketika perlu terjadi penyesuaian karena fluktuatif perekonomian tak serta merta bisa disetujui. Ada hal-hal yang menghambat proses penyesuaian, sehingga tak bisa segera dilakukan. Dan itu yang kerap menjadi isu juga di internal Garuda.

Pemerintah Lemah Pengawasan 

Pengamat penerbangan Alvin Lie menunjuk lemahnya pengawasan sebagai musabab karut marutnya industri penerbangan. Menurutnya, regulasi sudah ada, tinggal bagaimana mengimplementasikannya.

"Pengawasan itu kan harusnya dilakukan oleh Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Nah, itu yang salah satunya tidak berjalan," ujarnya.

Soal Garuda, Alvin menegaskan bahwa itu hanyalah kasus perorangan, dan seharusnya tak terkait dengan lembaga. Tapi, kasus itu jelas merugikan Garuda sebagai lembaga.

Menurut Alvin, sudah waktunya semua pemangku kepentingan (stakeholder) duduk bersama untuk membenahi industri penerbangan dalam negeri. Ia menunjuk bagaimana kasus perjanjian kerja di Lion Air yang banyak melanggar aturan UU Ketenagakerjaan. 

Petugas Inspektur Kelaikudaraan DKPPU Kementerian Perhubungan dan tekhnisi GMF melakukan pemeriksaan seluruh mesin dan kalibrasi dengan menggunakan alat simulasi kecepatan dan ketinggian pesawat pada pesawat Boing 737-8Max milik Garuda Indonesia di BandarPemeriksaan pesawat oleh Kementerian Perhubungan

Pilot yang bunuh diri karena denda penalti yang terlalu besar dengan perjanjian kerja yang terlalu lama adalah penyimpangan terhadap aturan yang berlaku.

Semua pilot Lion itu, Alvin melanjutkan, tidak ada yang statusnya pegawai tetap, semuanya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). "Yang mana sebetulnya itu tidak boleh, itu bertentangan dengan undang-undang. PKWT itu hanya boleh untuk pekerjaan yang bukan bisnis utama, dan pilot itu adalah pekerjaan dari bisnis utama," tuturnya.

Alvin menyampaikan, PKWT hanya untuk musiman, misalnya musim haji, atau proyek tertentu. Dan itu pun kalau PKWT maksimum hanya dua tahun. Setahun pertama, kemudian diperpanjang lagi.

"Bahwa kemudian setiap airlines itu juga ingin mengikat pilotnya, itu ada di kontrak kerja, tapi juga dianggap sebagai pegawai tetap harusnya kan. Nah, ini aneh, Lion ini tidak mau mengangkat pilotnya sebagai pegawai tetap, tetapi dikenakan ikatan PKWT ada yang 15 tahun, 20 tahun," ujarnya.

Menurut Alvin, penetapan PKWT hingga belasan tahun adalah pelanggaran dan sudah lama dilaporkan oleh pilot-pilot Lion Air. Tapi keluhan itu tak pernah ditanggapi oleh pemerintah.

Soal beban kerja, menurut Alvin, harusnya bukan menjadi halangan. Sebab, meski beban kerja tinggi, tapi pilot juga mendapat gaji yang layak. 

"Wartawan juga beban kerja tinggi, tapi gajinya sering tak layak. Bandingkan dengan pilot yang meski baru pemula gajinya sudah langsung belasan juta," ujarnya sambil terkekeh.

Alvin menegaskan, maskapai penerbangan kuncinya ada pada manajemen perencanaan dan organisasi yang baik. Termasuk juga jumlah rasio pilot dan kopilot terhadap jumlah pesawat yang dioperasikan. Karena rasio yang tepat akan memastikan penerbangan semakin aman dan tak akan terjadi keterlambatan. 

Perencanaan dan organisasi yang baik juga bisa memberi kepastian agar penumpang tak perlu cemas dan khawatir untuk menggunakan jasa penerbangan.

Pernyataan Alvin senada dengan harapan Stefanus Hariyadi, seorang Pegawai Negeri Sipil yang kerap bepergian ke luar kota menggunakan pesawat. Stefanus memahami, kecelakaan pesawat biasanya bisa disebabkan banyak faktor, entah dari kerusakan mesin atau human error atau bahkan karena kondisi alam. Namun, semua risiko itu mungkin bisa diminimalisasi dengan perawatan pesawat dan pelatihan yang ter-update untuk awak penerbangan.

Menurut Stefanus, kondisi penerbangan dalam negeri sudah cukup baik dan mengakomodasi penumpang yang akan bepergian. Mungkin, ujarnya, manajemen penerbangan yang bermasalah. (art)

Baca Juga

Dari Pecah Ban hingga Jatuh di Lautan

Penerbangan Kita Sedang Bersih-bersih

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya