SOROT 589

Nasib Keraton 'Pelat Merah'

Para abdi dalem Keraton Solo.
Sumber :
  • VIVA/Fajar Sodiq (Solo, Jawa Tengah)

VIVA – Sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI tentu tidak lepas dari peran serta kerajaan-kerajaan atau keraton-keraton yang ada di seluruh wilayah Nusantara. Sebagai negara kepulauan, hampir di seluruh wilayah terdapat banyak kerajaan berpengaruh di Nusantara. Kerajaan-kerajaan itu sudah tentu memiliki wilayah yang cukup beragam, sehingga keberadaannya memiliki pengaruh politik, ekonomi, sosial dan budaya terhadap perkembangan peradaban manusia di Nusantara. Bukan hanya itu, pengaruh kekuasan atau politik yang dimiliki para kerajaan itu konon berpengaruh kuat terhadap diplomasi kemerdekaan Republik Indonesia terhadap penjajah kala itu.

Nikita Mirzani Tampil di Acara Pura Mangkunegaraan, Netizen Sindir Soal Fitri Salhuteru?

Ketua Umum Forum Silaturahmi Keraton Nasional (FSKN), Sultan Sepuh XIV Cirebon, PRA Arief Natadiningrat mengatakan, jauh di masa prakemerdekaan Republik Indonesia ratusan kerajaan yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara memiliki kontribusi besar terhadap kemerdekaan Indonesia. Ia menuturkan, setidaknya ada beberapa kontribusi besar yang dilakukan oleh keraton-keraton di seluruh Nusantara dalam proses memerdekaan Indonesia. 

Bangunan peninggalan-peninggalan Kesultanan BantenBangunan peninggalan Kesultanan Banten

Putra Mahkota Keraton Solo Terlibat Tabrak Lari yang Berakhir Damai

Para Raja atau Sultan yang saat itu memiliki pengaruh politik di wilayahnya memiliki andil dalam melakukan perjuangan diplomasi dengan para penjajah asing yang berusaha menguasai Indonesia ketika itu. Bahkan, tidak sedikit dari kerajaan atau keraton itu ikut terlibat dalam perang fisik melawan kolonial Belanda. Kerajaan yang memilih jalur perang fisik antara lain, Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), Pangeran Diponegoro (Jawa Tengah), Sultan Hasannuddin (Makassar), dan Pangeran Antasari (Kalimantan).

"Di kita juga ada, Sultan Sepuh Cirebon V, Matangaji. Sampai dalam sejarah ditulis bahwa Belanda itu menyebut Sultan Sepuh Matangaji itu sebagai Sultan Gila. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh keraton yang lainnya yang ikut serta dalam perlawanan secara fisik," kata PRA Arief Natadiningrat kepada VIVAnews, Selasa, 21 Januari 2020.

Kirab Kembar Malam Selikuran Sambut Lailatur Qadar di Keraton Solo

Sampai pada Indonesia merdeka tahun 1945, lanjut Arief, kontribusi kerajaan atau keraton di Nusantara tidak berhenti sampai di situ. Sebagai bangsa yang baru berdiri dan menyatakan kemerdekaannya, Indonesia sudah barang tentu tidak memiliki kekuatan ekonomi yang memadai. Sehingga, tidak sedikit pula raja-raja atau sultan-sultan yang ada ketika itu menghibahkan tanah atau harta kekayaannya untuk dikelola negara atau pemerintah Indonesia. 

"Misalnya di Kalimantan, keraton di sana kan punya lahan luas, ada yang menghasilkan gas, minyak, mineral, emas, dan masih banyak lagi sumber daya alam yang diberikan kepada bangsa ini, untuk membiayai Republik Indonesia ini. Begitu juga di Riau, Sumatera, dan lain sebagainya. Artinya peran keraton-keraton ketika itu juga banyak yang membantu dengan cara memberikan harta kekayaannya untuk para pejuang kemerdekaan," ujarnya menambahkan.

Setelah para founding fathers Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Arief mengakui, ikrar kemerdekaan itu kemudian diikuti pula dengan deklarasi bergabungnya kerajaan-kerajaan di seluruh Nusantara ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurutnya, proses bergabungnya seluruh kerajaan atau keraton itu tidak dilakukan secara serentak atau bersamaan dalam kurun waktu yang sama. Misalnya, Keraton Kasepuhan Cirebon menyatakan diri bergabung ke dalam Republik Indonesia dilakukan pada tahun 1946. "Pernyataan itu dilakukan secara langsung di depan Residenan Cirebon waktu itu," katanya.

Kesultanan NgayogyakartaKesultanan Yogyakarta pernah menjadi Ibu Kota NKRI 

Ia menjelaskan, setelah menyatakan diri bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kasepuhan Cirebon secara politik menyerahkan kekuasaan politiknya kepada negara atau Pemerintah Indonesia. Dengan demikian, secara politik Keraton Kasepuhan tidak memiliki kekuasaan lagi. Arief pun menegaskan, semangat keraton dan kerajaan hampir di seluruh Nusantara ketika itu bergabung ke dalam NKRI murni karena menginginkan persatuan dan kesatuan dari Sabang sampai Merauke. Sehingga, setelah Ir Soekarno dan Moh Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia hampir seluruh wilayah kerajaan di seluruh Nusantara diserahkan kepada Pemerintah Indonesia tanpa syarat.

"Dan memang kita tidak ada perjanjian atau persyaratan apapun ketika itu. Tidak tahu kalau keraton-keraton yang lain, karena kan ketika itu dukungan yang diberikan berbeda-beda, artinya tidak secara serentak bersamaan kan. Seperti Yogyakarta juga berbeda kan antara Pakualaman, Surakarta, menyatakan dukungannya terhadap republik Indonesia, mungkin mereka ada komitmen-komitmen tersendiri," paparnya.

Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar sependapat. Ia mengakui, keberadaan keraton atau kerajaan yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara memiliki andil dalam proses berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, dalam prosesnya, pascakemerdekaan Indonesia tahun 1945, seluruh kerajaan di seluruh Nusantara bersepakat untuk bergabung ke NKRI. Dengan demikian, kekuasaan atau pengaruh politik yang semula dimiliki oleh kerajaan atau keraton kemudian diserahkan kepada Pemerintahan Indonesia.

"Misalnya di Kabupaten saya ini, Bone, Sulawesi Selatan, ini kan dulu kerajaan, tapi di tahun 1948 berubah menjadi kabupaten. Dan Bupati pertama itu raja terakhir di daerah itu," kata Bahtiar.

Tinggal Kenangan

Anggota FSKN yang juga politisi Partai Demokrat, KRMT Roy Suryo mengatakan, saat ini nasib keraton atau kerajaan di Indonesia semakin memprihatinkan. Menurut dia, minimnya perhatian dari pemerintah terhadap keraton atau kerajaan yang ada menjadi salah satu penyebab terkikisnya perhatian masyarakat terhadap peninggalan sejarah itu. Menurutnya, saat ini keturunan raja atau sultan sudah sangat kewalahan dalam merawat kerajaan atau keraton yang tersisa. 

Secara kondisi ekonomi, lanjutnya, kekuatan ekonomi seluruh keraton atau kerajaan yang ada tidak dapat disamakan. Sehingga, tidak jarang para penerus kerajaan merasa kesulitan dalam merawat peninggalan sejarah yang memiliki nilai luhur itu. Padahal, keberadaan kerajaan atau keraton saat ini rata-rata sudah beralih fungsi menjadi museum yang masuk cagar budaya yang harus dirawat dan dijaga oleh pemerintah.

"Keraton itu memang saat ini posisinya diperuntukan sebagai pelestarian budaya. Tapi, pemerintah harus hadir dalam melestarikan budaya di keraton-keraton yang ada itu," kata Roy Suryo.

Siti Hinggil Keraton KanomanKeraton Kanoman

Tak hanya itu, minimnya kesadaran masyarakat dalam menjaga serta melestarikan budaya yang dulu pernah dianut oleh masing-masing keraton juga harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah. Fungsi keraton yang seharusnya dapat dimaksimalkan untuk mengedukasi masyarakat, khususnya generasi milenial menjadi tantangan tersendiri bagi para penerus keraton.

Arief membenarkan. Kondisi keraton atau kerajaan yang saat ini memprihatinkan. Bahkan, dia menganggap kondisi keraton atau kerajaan yang tersisa hari ini sudah di ujung tanduk. Lebih jauh ia katakan, jumlah keraton yang saat ini masih eksis tercatat sekitar 50 keraton di seluruh Indonesia. Untuk menjalankan program keraton pihaknya mengaku kesulitan karena minimnya peran serta dari pemerintah dan masyarakat dalam mengangkat nilai-nilai kearifan lokal yang seharusnya bisa menjadi nilai jual lebih dalam sejarah peradaban manusia di Nusantara ini tidak dimaksimalkan oleh pemerintah.

"Memang keraton yang ada di dalam struktur ketatanegaraan kita NKRI ini hanya Keraton Yogyakarta dan Paku Alam. Dan sedangkan kita atau yang lainnya ini hanya sebagai cagar budaya saja," katanya.

Menurut Arief, kondisi keraton yang tersisa saat ini tidak sama. Ada yang menjalankan kegiatan rutin keraton karena dibantu oleh pemerintah daerah, ada juga yang menggunakan swadaya masyarakat. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang masih tetap menjalankan berbagai kegiatan rutin keraton dengan cara survival.  Hal itu dilakukan karena para keturunan atau keluarga keraton memang bertekad untuk tetap menjalankan amanat para leluhur mereka untuk tetap menjaga dan melestarikan adat istiadat, budaya, serta kesenian keraton atau kerajaan setempat. 

"Artinya apapun yang terjadi, kita harus terus melaksanakan amanat yang ada di keraton ini. Menjalankan adat, tradisi, budaya, melestarikan kesenian, dan lain sebagainya. Karena ini sudah jadi amanah buat kita untuk tetap memelihara bangunan, memelihara cagar budaya, dan lain sebagainya."

Keraton SoloKeraton Solo 

Kementerian Dalam Negeri membantah negara abai dengan keberadaan keraton dan kerajaan yang ada di Indonesia. Menurut Bahtiar, kerajaan atau keraton yang saat ini masih tersisa diposisikan sebagai cagar budaya yang perlu dirawat dan dilestarikan. Menjadikan peninggalan sejarah keraton sebagai cagar budaya jadi salah satu bentuk kepedulian pemerintah dalam melestarikan kebudayaan yang tertanam di masing-masing keraton yang dulu pernah ada. Hanya saja, lanjut Bahtiar, tidak semua keberadaan keraton yang saat ini masih ada dapat dikatakan sebagai keraton yang masih aktif. 

"Karena yang disebut sebagai kerajaan atau keraton itu kan pasti ada syarat atau kriterianya. Di sana harus ada bangunan keratonnya, harus ada penduduknya, harus ada budaya, adat istiadat yang dianut, dan lain sebagainya. Jadi kerajaan yang memang sudah berdiri sejak dulu, bukan yang baru muncul seperti baru-baru ini," kata Bahtiar.

Lebih jauh, Bahtiar menyatakan, Kemendagri telah memfasilitasi lembaga adat, termasuk keraton agar mendapatkan alokasi anggaran dari pemerintah daerah, khususnya keraton atau kerajaan yang masih eksis di daerahnya masing-masing. Fasilitas yang diberikan Kemendagri itu tertuang di dalam Peraturan Menteri Nomor 39 tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan bidang Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya. 

Dalam Permendagri Nomor 39 tahun 2007 itu, kata Bahtiar, Pemerintah Daerah memiliki kewajiban dalam mengalokasikan anggarannya untuk kepentingan pelestarian dan pengembangan budaya keraton atau lembaga adat. Tidak hanya itu, lanjut Bahtiar, yang bertanggung jawab untuk melestarikan dan merawat budaya keraton, termasuk bangunan yang dimiliki oleh keraton, tidak hanya menjadi tanggungan Pemerintah Daerah semata.

Menurutnya, hampir seluruh stakeholder seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pariwisata, Kementerian PUPR juga ikut andil dalam menjaga dan melestarikan budaya yang dimiliki oleh keraton-keraton yang ada di Indonesia.

"Jadi selama ini sudah berjalan kok, di masing-masing daerah sudah berjalan. Selain itu ada Kementerian Pariwisata yang juga ikut andil dalam menjaga budaya atau kelestarian keraton-keraton itu untuk kepentingan pariwisata, jadi banyak sektor sebenarnya yang melakukan itu. Mungkin juga kementerian PUPR melakukan itu juga, biasanya kan bekas-bekas wilayah kerajaan yang masih ada prasasti atau sisa-sisa kerajaan juga direvitalisasi oleh Kementerian PU kan," ujarnya menjelaskan.

Hanya saja, secara teknis yang bertanggung jawab atas pelestarian budaya keraton menjadi kewenangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Jadi Cagar Budaya

Berbeda dengan Bahtiar, Arief menilai dalam tataran pelaksanaan di lapangan, apa yang difasilitasi oleh Kemendagri melalui Permendagri Nomor 39 tahun 2007 itu belum berjalan secara maksimal. Jika melihat dari besaran anggaran untuk pelestarian kebudayaan, anggaran APBD yang dialokasikan untuk pelestarian budaya di lingkungan keraton itu masih jauh dari yang diharapkan. Sehingga, itu tidak dapat dimaknai tanggung jawab pemerintah sudah selesai setelah menerbitkan Permendagri tersebut.

Arief mengatakan, lahirnya Permendagri Nomor 39 tahun 2007 itu karena Forum Silaturahmi Keraton Nusantara yang sejak tahun 2006 mendorong Kemendagri dapat memfasilitasi peraturan agar pemerintah daerah memiliki perhatian terhadap keraton-keraton yang ada.

Kasad Jenderal TNI Mulyono dianugerahi gelar oleh Kesultanan Kutai Kertanegara.

Kesultanan Kutai Kertanegara memberi gelar kehormatan kepada Kasad Jenderal TNI Mulyono

Lebih jauh ia berharap, seharusnya pemerintah dapat membuat undang-undang yang secara khusus mengatur nomenklatur tentang keraton atau kerajaan yang hingga saat ini masih ada. Sebab, kalau dilihat dari undang-undang yang ada, hampir bisa dikatakan nomenklatur yang mengatur keraton secara khusus itu tidak ada.

"Ini kalau bicara nomenklatur keraton yang secara khusus ya, baik itu keraton, istana, kedatuan, Bala Lompoan, puri, itu semua tidak ada nomenklatur yang mengatur itu. Misalnya disisipkan di UU Cagar Budaya kek, itu juga tidak ada nomenklatur keraton di undang-undang itu. Misalnya di undang-undang yang baru lahir tentang Kemajuan Kebudayaan di situ juga tidak ada," ujarnya.

"Jadi baru itu saja nomenklatur yang ada (Permendagri Nomor 39 tahun 2007), itu Peraturan Menteri, bukan undang-undang. Dan itu pun sekarang tidak berfungsi optimal dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Nah, ini salah satu upaya kita agar pemerintah daerah dapat membantu keraton-keraton yang ada di daerah agar mengalokasikan anggaran daerahnya, tapi ini tidak maksimal, karena tidak semua daerah berjalan," tambahnya.

Ia menilai, potensi pendapatan negara dan pendapatan pemerintah daerah yang dapat diperoleh dari pelestarian budaya di lingkungan keraton yang saat ini masih ada, seharusnya dapat dioptimalkan oleh pemerintah pusat dengan cara merawat dan menjaga adat istiadat dan budaya keraton. Potensi itu dapat terealisasi kalau kondisi keraton di Indonesia mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah pusat, terutama terkait dengan anggaran untuk perawatan.

"Budaya keraton itu jendelanya Indonesia. Kita tahu bahwa 60 persen turis yang datang ke Indonesia adalah wisatawan budaya. Jadi ini budaya, adat istiadat, kesenian keraton ini berpotensi untuk meningkatkan pendapatan pemerintah loh," katanya.

Bahtiar mengakui bahwa alokasi anggaran untuk melestarikan dan merawat keraton memang belum maksimal. Namun, ia berharap agar Forum Silaturahmi Keraton Nusantara ini dapat memahami alokasi anggaran yang ada. Sebab, selain untuk perawatan keraton, alokasi anggaran juga diberikan untuk hal-hal prioritas yang lainnya seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lain sebagainya.  

"Tapi bukan berarti merawat keraton, melestarikan budaya yang ada itu kita abaikan. Kan tetap saja ada yang memang harus menjadi prioritas kan. Karena negara ini harus tetap berjalan. Karena kalau bicara negara ini kan banyak sekali yang harus diurus kan." 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya