Rupiah Dipotong?

- VIVAnews/ Anhari Lubis
VIVAnews – Nama kios kecil itu, FaizCell. Berukuran 3x3 meter. Beberapa merek telepon seluler bekas dan aksesorisnya terpajang di etalase. Ada juga voucher perdana dan isi ulang.
Di depan kios terpampang daftar harga voucher dengan deretan angka dua digit. Di antaranya 21 dan 51. Tak ada embel-embel lain. Kecuali logo sejumlah operator. Salah seorang pembeli yang datang menanyakan harga pulsa yang tertera angka “21”. Faiz, pemilik kios menjawab, ”Itu.. Rp21.000 untuk pulsa Rp20.000.”
Penyingkatan jumlah angka itu memang disengaja. “Agar praktis saja."
Bukan hanya kios pulsa, kedai kopi Starbucks di sudut lobi gedung Bursa Efek Indonesia juga menyajikan angka-angka dua digit di daftar menu. Sebut saja, menu Grande 43 dan Venti 49. Penyebutan harga tanpa embel-embel Rp (rupiah) atau US$ (dolar AS).
Retno, salah satu pramusaji mengatakan, harga 43 merupakan penyederhanaan dari Rp43.000, sedangkan 49 untuk Rp49.000. Starbucks sudah menggunakan penyederhanaan harga sejak pertama kali dibuka. "Supaya lebih mudah saja."
Fenomena yang sama juga terlihat pada restoran cepat saji, Burger King, di Skyline Building, Jakarta. Namun, konsumen di restoran itu tidak pernah bingung. "Selama ini belum ada yang menanyakan soal itu," kata Iwan Kurniawan, Asisten Manager Burger King.
Pencantuman harga tanpa menyertakan tiga digit angka nol di belakang, ujar dia, sudah menjadi aturan pusat. Aturan itu berlaku untuk kawaan Asia Pasifik sejak 1997.