SOROT 123

Bertemu "Si Jahat" E. Sakazakii

Bakteri Enterobacter Sakazakii
Sumber :
  • www.sciencephoto.com

VIVAnews - Sri Estuningsih hampir tak percaya. Sampel susu formula itu dipelototi lagi di bawah mikroskop. Matanya yang terlatih mengenal bakteri itu. Bentuknya seperti tumpukan sosis. Dia yakin itu adalah bakteri jahat Enterobacter Sakazakii, alias E Sakazakii.

Tarif Listrik April-Juni 2024 Diputuskan Tidak Naik

Seperti tamu tak diundang, bakteri itu muncul di sampel susu. Estu, yang saat itu meneliti di Dairy Science University of Giessen Jerman, 2003, sebenarnya mencari cemaran Salmonella, Shigella, dan E coli.

Dia menelisik 74 produk makanan bayi asal Indonesia.  Dari sampel itu, terbukti semua bebas cemaran Salmonella, Shigella, dan E coli.  Tapi, itulah, ada 12 produk susu formula bermasalah.  Dari produk susu itu ditemukan "si jahat" E sakazakii tadi.

SKK Migas: Komersialisasi Migas Harus Prioritaskan Kebutuhan Dalam Negeri

Estu pun mengubah fokus penelitiannya. Awalnya dia bekerja untuk penelitian yang bertajuk 'Microbiological Quality of Infant Foods in Indonesia, with special emphasis on Shigella sp., and Other Pathogenic Enterobacteriaceae'. Tapi dengan temuan baru itu, dia mulai berpikir serius soal cemaran E sakazakii pada produk makanan bayi di Indonesia.

Masih di Jerman, 2004, Estu melanjutkan penelitannya. Kali ini, 24 sampel susu formula yang beredar di Indonesia ditelisik. Hasilnya: tiga sampel positif terkontaminasi E sakazakii.

Parkir Cuma Sebentar, Mobil Ini Ditagih Rp48 Juta di Tangerang

Pada 2006, peneliti Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor,  itu kembali meneruskan proyek penelitiannya. Dengan sponsor dari Direktorat Pendidikan Tinggi, ia menggandeng sejumlah rekan: I Wayan Teguh Wibawan, Rochman Naim, dan Hernomoadi.

Mereka menguji 22 sampel susu formula, dan 15 sampel makanan bayi yang dipasarkan di Indonesia kurun April - Juni 2006. "Sampel makanan, dan susu formula yang kami teliti berasal dari produk lokal," ujar Estu.

Hasilnya, lima sampel (22,73 persen) susu formula, dan tujuh sampel (46,67 persen) makanan bayi tercemar E sakazakii. Ini lalu membuat heboh publik, setelah IPB menerbitkannya pada Februari 2008. Bahkan, kasus itu sampai ke Mahkamah Agung.

Pengadilan tertinggi itu mengabulkan gugatan seorang pengacara, yang mewajibkan peneliti mengungkap merek susu terkontaminasi E sakazakii.

Penelitian itu berlangsung dua tahap, 2006 dan 2007. Tahap pertama, isolasi dan identifikasi E sakazakii dalam 22 sampel susu formula, dan 15 sampel makanan bayi. Tahap kedua, menguji kemampuan 12 isolat (hasil isolasi) menghasilkan enteroksin (racun), melalui uji sitolisis (penghancuran sel).

Hasilnya, terdapat enam isolat yang menghasilkan enteroksin. Selanjutnya, menguji enam isolat itu pada kemampuan toksinnya setelah dipanaskan. Terdapat lima dari enam isolat itu yang masih punya kemampuan sitolisis setelah dipanaskan.

Estu kemudian menentukan satu kandidat dari isolat, dan menguji enterotoksin serta bakteri vegetatifnya pada bayi mencit berusia enam hari. Bayi mencit diinfeksi melalui rute oral (cekok mulut) memakai sonde lambung khusus dan steril.

Setelah tiga hari, dilakukan pengambilan sampel organ mencit. Berdasar pemeriksaan dengan metode hispatologi menggunakan pewarnaan Hematoksilin Eosin, infeksi yang terjadi memicu peradangan saluran pencernaan (enteritis), infeksi peredaran darah (sepsis) dan infeksi lapisan urat saraf tulang belakang dan otak (meningitis) pada bayi mencit.

Meski menolak menyebut merek sampel susu formula, dan makanan bayi yang tercemar E sakazakii, I Wayan Teguh Wibawan, yang kini menjabat Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, menjamin kredibilitas hasil penelitian itu.

Menurutnya, hasil penelitian itu sudah mendapat konfirmasi sejumlah pakar di Jerman seperti Dr Heniz Baker, Lab Food Microbiology, Maxmillan University Munich, Germany, dan Dr Steven J Forsythe, Lab Microbiology and Food Technology, Nottingham Trent University.

Hasil penelitian itu juga telah dipublikasikan di jurnal internasional, dan dipresentasikan di tingkat internasional, di Kantor FAO, Roma, Italia. "Jadi yang bersangkutan (tim peneliti) punya kredibilitas diakui di tingkat nasional dan internasional," kata Wibawan.

Saat penelitian berlangsung (2003-2007), belum ada prosedur pengecekan E sakazakii untuk industri makanan bayi di dunia. Codex Alimentarius Commission, badan standarisasi pangan dunia, baru mengaturnya pada Juli 2008. Badan Pengawas Obat dan Makanan meratifikasinya Oktober 2008.

E sakazakii adalah salah satu patogen gram negatif yang dapat menimbulkan penyakit. Hanya, belum ada penelitian mengungkap batas minimal cemarannya, hingga dapat memicu infeksi berbahaya.

Selain diare, infeksi ini dapat menyebabkan gangguan kesehatan serius seperti radang usus (enteritis), keracunan yang disebabkan oleh hasil proses pembusukan (sepsis), serta peradangan pada selaput otak dan sumsum tulang belakang (meningitis).

Berdasar penelitian teranyar IPB, bertajuk 'Kajian Patologi Infeksi Subklinis Enterobacter sakazakii pada Mencit untuk Model Infeksi pada Bayi', infeksi E sakazakii mampu menimbulkan infeksi secara subklinik.

Penelitian pada 2010 itu juga menarik empat kesimpulan lain. Pertama, organ target infeksi adalah otak, lambung, usus, limfonodus dan limpa. Kedua, dosis infeksi yang mampu memberi perubahan patogen mulai 10*2 CFU/ml. Tiga, waktu kejadian infeksi dimulai pada minggu ke-1 hingga ke-8. Terakhir, infeksi meninggalkan kerusakan pada jaringan, terutama organ otak.

Meski dapat menyerang berbagai kelompok usia, bakteri ini paling rentan menginfeksi bayi berumur kurang dari 28 hari, bayi lahir prematur, bayi dengan berat lahir rendah, bayi dengan sistem kekebalan tubuh rendah, dan bayi dari ibu positif HIV.

Di mancanegara, penelitian E sakazakii bukan hal baru. Bakteri ini pertama ditemukan pada kasus meningitis neonatus di Inggris, 1958. Kala itu, dua bayi yang terinfeksi meninggal.

Berdasar publikasi WHO pada 13 Februari 2004 atas laporan tahun 1961-2003, sudah 48 bayi di seluruh dunia terinfeksi. "Tapi, hingga kini tak ada laporan kasus infeksi E sakazakii (di Indonesia)," kata Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih.

Meski kasus infeksi E sakazakii terbilang rendah, namun prognosis penyakit yang ditimbulkan sangat buruk. Angka kematiannya tinggi, mencapai 40-80 persen, terutama pada bayi prematur, dan bayi dengan imunitas lebih rendah.

Selain dalam susu formula, E sakazakii banyak ditemui dalam berbagai produk pangan lain, seperti keju, daging, biji-bijian hingga bumbu-bumbuan. Bakteri ini juga ditemukan dalam pencernaan manusia dan hewan, bahkan di udara.

Tapi hampir semua kasus infeksi E sakazakii terjadi melalui asupan susu formula atau produk makanan pendamping ASI tercemar.

Menurut WHO, ada tiga kemungkinan susu formula tercemar E sakazakii, yakni melalui bahan baku yang digunakan saat proses produksi, melalui bahan lain yang ditambahkan (fortifikasi) setelah pasteurisasi, dan saat penyiapan susu formula.

E sakazakii berkembang optimal pada kisaran suhu 30-40 derajat celcius. Namun, mudah mati pada suhu di atas 70 derajat celcius. Itulah mengapa disarankan menyeduh susu formula dengan air mendidih. “Jika diaduk dalam air mendidih, dalam 15 detik bakteri mati,” kata Menkes.

Belajar dari kasus ini, orangtua sebaiknya memberikan ASI kepada bayinya. Jika ada alasan medik sehingga bayi terpaksa perlu susu formula, perhatikan prosedur penyimpanan dan penyiapannya. “Gunakan air panas minimal 70 derajat, dan minumkan segera kurang dari dua jam.” (np)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya