SOROT 133

Harta "Pampasan" NII

Panji Gumilang (tengah) saat Sidang Majelis Syuro NII 1997
Sumber :
  • istimewa

VIVAnews – Sebut saja namanya Syarif. Tadinya dia karyawan sebuah bank swasta di Jakarta. Umurnya kini sekitar 41 tahun. Dulu harta Syarif terbilang lumayan. Dari gajinya di bank itu, dia bisa punya usaha lain: tujuh warteg yang laris. Tapi, lelaki itu juga punya mimpi lain. Sejumlah orang mengajaknya “hijrah” ke apa yang disebut Negara Islam Indonesia (NII).

Sejak itu Syarif menghilang. Setelah dibaiat oleh gerakan itu, dia adalah warga dari negara bayangan. Syarif makin larut. “Terakhir ditugaskan pegang keuangan gerakan di Kebon Jeruk,” ujar Syarif. Dia begitu sibuk. Di daerah Jakarta Barat itu, Syarif rajin merekrut anggota. Tapi, tak banyak sedekah dari daerah itu. Dalam peta donasi NII, Kebon Jeruk rupanya minus.

Padahal, Syarif berjanji memberi sedekah dalam bentuk emas 3 kilogram. “Akhirnya, saya jual rumah dan mobil,” ujarnya. Sebagai pengurus di kecamatan itu, dia menombok kekurangan setoran dari jamaah ke “markas besar” NII. Tapi, musibah lain pun datang. Karena tak terurus, wartegnya satu per satu ambruk. Syarif pun jatuh miskin.

Syarif adalah salah satu contoh dari korban dari apa yang disebut NII itu. Belakangan, gerakan itu seperti bangkit lagi. Sejumlah mahasiswa di Malang, Jawa Timur, dilaporkan menghilang karena bergabung dengan NII, dua pekan lalu. Dua mahasiswa Universitas Brawijaya, misalnya, mengaku telah meyerahkan sedekah bagi perjuangan NII. “Jumlahnya Rp 30 juta,” ujar seorang korban mahasiswa.

Di Yogyakarta laporan sama juga muncul. Sebut saja Putri, mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Yogyakarta. Dia dikirimi uang oleh orangtuanya untuk membayar SPP.  Hatinya mendadak bimbang. "Pilihannya sedekah atau SPP," katanya. Akhirnya, dia  memutuskan untuk bersedekah. Apalagi, dalam ajaran NII, uang dari orangtua yang tidak sealiran, hukumnya haram.

Simak kata Ken Setiawan, seorang bekas anggota NII. Dia kini mendirikan NII Crisis Centre di Yogyakarta. “Semua anggota akan rela berkorban, apapun bentuknya demi tegaknya Negara Islam Indonesia,” ujarnya. Kata Ken, mereka beranggapan, semua orang di luar kelompok mereka adalah kafir. Harta dan darahnya halal, termasuk harta orangtua. Karena itu, hartanya bisa diambil untuk kepentingan perjuangan.

Lalu, apa sebetulnya NII itu? Seorang bekas “petinggi NII” Imam Supriyanto kepada VIVAnews menuturkan, gerakan itu punya sejarah panjang. Bermula dari pencetus gerakan Darul Islam (DI) SM Kartosoewiryo pada 1950an, gerakan itu kelak terpecah-pecah sepeninggal sang “Wali Negara”. (Sejarah lengkap NII, silakan baca “Dari Investasi Emas Hingga Deposito).

Berasal dari Komandemen Wilayah IX —suatu struktur wilayah dalam pembagian wilayah NII, kepemimpinan gerakan itu lalu dipegang oleh Abu Toto, alias Abdus Salam alias Panji Gumilang. Pernah merantau ke Malaysia, Abu Toto dikenal mahir soal penggalangan dana.

Itu sebabnya, menurut kesaksian bekas seorang petinggi NII, terjadi pergeseran ideologi di NII.  Bila sebelumnya ada perjuangan militer (asykari), sekarang arahnya berubah pada pendidikan. "Ini setelah Abu Toto didaulat menjadi pemimpin," kata Imam Supriyanto, bekas "menteri peningkatan produksi pertanian" di 'kabinet' NII, kepada VIVAnews.com, Rabu 27 April 2011.

Imam mengatakan orientasi gerakan itu kini berubah dari cita-cita awal. "Ada orientasi bisnis yang kuat dari elitnya, ketimbang perjuangan Islam seperti yang dicita-citakan umat," ujarnya.

Doktrin NII faksi Abu Toto menyatakan "Seluruh wilayah Republik Indonesia dan segala kekayaannya adalah milik NII dan segenap warganya." Doktrin ini merujuk pada klausul proklamasi  NII 1949. Doktrin ini pun juga dikaitkan dengan ayat Alquran "Sesungguhnya bumi ini diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang saleh."

Karena itu, mereka berpandangan, warga NII secara hukum berhak atas harta yang kini berada di tangan warga RI. Untuk mengambil kembali harta dan kekayaan NII tersebut berlakulah hukum Tubarriru al Washilah (segala cara adalah halal).

CIti Gandeng Occam Genjot Kinerja Komunikasi

Mesin uang

NII pimpinan Abu Toto ini punya sistem keuangan canggih. Mereka mengeluarkan obligasi negara, atau harakah qirad.  Sistem ini membolehkan “pemerintah” meminjam uang kepada “warga negara”, dan akan dikembalikan dalam waktu tertentu. Untuk menghindari kerugian inflasi, NII menerapkan kurs emas.

Biasanya, warga negara diminta komitmen memberikan pinjaman, baik sekali setor maupun rutin tiap bulan. Semua dikurskan dengan emas. Dengan iming-iming surga dan kebaikan masa depan, banyak “warga negara” tak segan menjual seluruh kekayaan, dan membeli emas untuk dipinjamkan ke negara.

Respons warga NII sangat luar biasa. Dalam waktu lima tahun, 2 ton emas terkumpul. "Kira-kira saat itu Rp250 miliar," kata Imam. Sayangnya, program ini tak berjalan mulus. Hingga tahun kelima, atau tepatnya 1997, pemerintah NII gagal membayar kembali. "Semua orang meminta kembalian. Tapi kita berdalih ini untuk kepentingan negara Islam," katanya.(Baca wawancara lengkap dengan "Menteri NII" Imam Supriyanto)

Tak cuma itu, NII sebenarnya masih memiliki delapan “mesin uang” lagi yang memasok pemerintahan. Dalam satu kesempatan berbeda, seorang bekas aktivis NII menujukkan skema bagaimana uang itu dikumpulkan dari sembilan pos kepada VIVAnews.  Antara lain, ada konsep nafaqah daulah. Itu adalah infaq “warga negara” kepada “negara”. Besarnya bervariasi, tergantung pada kesanggupan. Namun, biasanya mulai Rp55 ribu hingga jutaan rupiah per orang per bulan.

Ada juga gerakan tabungan harian antara Rp6 ribu - Rp15 ribu per orang per bulan. Lalu ada sedekah tahunan dilaksanakan tiap Ramadan, aqiqah, dan lain-lain. Semuanya bermuara pada keuangan negara.  (Lihat Infografik: “Cuci Otak” A la NII").

Menurut Imam, uang dari iuran rutin "warga negara" ini bisa mencapai Rp10 miliar per bulan. Harta itu terakumulasi pada 1996 hingga 1999. Sebagian besar uang itu disimpan di Bank CIC --yang lalu berubah menjadi Bank Century, termasuk hasil obligasi negara itu. 

Uang miliaran rupiah di Bank Century itu sebenarnya pernah tercium Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Pada rapat dengar pendapat dengan Pansus Century Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua PPATK Yunus Huein mengatakan, ada simpanan sangat besar, yaitu Rp46,2 miliar milik Abu Maarik. Namun dia tak menjelaskan siapa Abu Maarik ini.

Ketua Tim Pengawas Kasus Bank Century di DPR Priyo Budi Santoso sempat mendesak pengusutan dana miliaran rupiah di Bank Century yang diduga milik jaringan Negara Islam Indonesia (NII). "Kami meminta dan mendesak aparat penegak hukum, termasuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) segera mengungkap dana itu," kata Priyo di Gedung DPR, Jakarta, Jumat, 29 April 2011.

Imam Supriyanto yakin nama Abu Maarik itu tak lain adalah Abu Toto alias Syeikh Panji Gumilang, pemimpin Pesantren Al Zaytun, Haurgeulis, Idramayu, Jawa Barat.

Sementara itu, bekas bos Bank Century, Robert Tantular, membantah memiliki hubungan dekat dengan tokoh NII Abu Maarik. "Tidak pernah dengar nama itu. Setahu saya tidak ada hubungan Pak Robert dengan tokoh NII," kata pengacara Robert Tantular, Triyanto SH.

Pergeseran ideologi itu terlihat juga pada cara perekrutan jamaah. Dulu, pada 1970-1980an, anggota baru tak akan dibaiat (dilantik), sebelum merekrut anggota lainnya hingga 20 orang. Pada 1990an, aturan itu lebih longgar. Anggota bisa dibaiat, asalkan membayar sedikitnya Rp2 juta. Tak perlu mencari anggota lain. "Bisa lebih banyak, tergantung kekayaan calon anggota," ujar Imam.

Lalu ke mana larinya semua uang itu? Menurut Imam, sebagian uang dibelanjakan membeli tanah seluas 1.200 hektar di Haurgeulis. Tanah ini kemudian dibangun menjadi pesantren Al Zaytun.

Sebagian dari emas 2 ton itu dipakai membangun gedung dan kompleks mahad ini. Biaya operasional pembangunan gedung sekitar Rp2 miliar per pekan. "Semuanya diambil dari pendapatan rutin yang Rp10 miliar itu." Itu belum termasuk pengeluaran lain, seperti penggajian “aparatur negara”,  Rp2 miliar per bulan. Termasuk gaji pejabat hingga kepala desa, yang punya nomor induk pegawai NII.

Imam memperkirakan, empat unit sekolahan, dan empat unit asrama menghabiskan hingga Rp200 miliar. Gedung pertemuan Soeharto Rp40 miliar, stadion Rp25 miliar, dan puluhan miliar Masjid Rahmatan Lil Alamin. Dengan duit yang melimpah itu, Al Zaytun tampil sebagai pesantren modern.

Di lokasi pesantren ada stadion, dan masjid berkapasitas 40 ribu orang. Gedung asramanya berarsitektur modern. Di asrama, ada kran air panas, dingin, dan airnya siap minum.   Kebutuhan ribuan siswa semuanya dilayani pegawai-pegawai pesantren. Mulai dari dari juru masak, hingga laryawan laundri. Bahkan, seluruh kebutuhan makanan dipasok dari pertanian di kawasan itu. Semua di desain menjadi kota mandiri.

Untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, pesantren ini memiliki dua crane, belasan alat berat, hingga puluhan truk. Semua bekerja membangun mahad, sebutan pesantren bagi mereka.

Imam yang saat itu menjabat "menteri peningkatan produksi pertanian" bertanggung jawab penuh pada kecukupan makanan di Mahad Al-Zaytun. Mulai daging, ayam, telur, beras, hingga sayur-sayuran. Semua disediakan dari peternakan sendiri. Kotoran dan sampah di wilayah itu diolah, menjadi pupuk dan didaur ulang. Bahkan sisa makanan masih bisa diolah menjadi makanan. "Kami desain seperti itu," kata pemegang gelar MBA dari salah satu kampus di Selandia Baru ini.

Seluruh aset pesantren Al Zaytun ini diperkirakan antara Rp3-4 triliun. Namun, sepengetahuan Imam, aset-aset ini sebagian sudah tergadaikan pada Bank Century. Selain memiliki simpanan, Al Zaytun juga punya utang di bank yang kini bernama Bank Mutiara ini.

Saat itu Bank Century membiayai pembelian 1.000 sapi berkualitas tinggi dari Selandia Baru. Proyek itu, kata Imam, mencapai Rp50 miliar. Sayangnya, sapi ini gagal panen. Sehingga Al Zaytun harus menanggung kerugian puluhan miliar. "Sampai saat ini sepertinya masih mencicil Rp1,3 miliar per bulan," katanya.

NII dan Al Zaytun

Lalu, adakah Pesantren Al Zaytun itu bagian dari proyek “negara bayangan” NII? Imam mengatakan, berdirinya Al Zaytun bisa dilacak lewat Yayasan Pesantren Indonesia (YPI). Yayasan ini dibentuk sebagai aksi keprihatinan banyaknya kader NII yang keluar karena berbeda pendapat. 

Tim Saber Pungli Depok Beraksi, Amankan 4 Orang dari Terminal Depok

Pada kurun 1990-1996 itu, Abu Toto adalah komandan di Komandemen Wilayah 9 atau KW9 NII.  Abu Toto berpikir, bila kader memiliki pendidikan sama, akan mengecilkan kemungkinan perpecahan. Karena itu, dibentuklah YPI ini. KW9 itu terdiri sembilan daerah, yaitu Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Tangerang, Bekasi, Banten Selatan, dan Banten Utara.

Usahanya kian mulus setelah pada 1996, Toto menggantikan posisi Tachmid Rahmat Basuki--anak kandung Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, pendiri NII--sebagai pelaksana harian NII. Tachmid saat itu memasuki masa pensiun.

Masa itu, sebagai imam NII adalah Adah Djaelani yang kembali menjabat sejak 1994, setelah ia keluar dari penjara akibat kasus Komando Jihad. Tak begitu lama, Adah juga memberikan kekuasaannya kepada Abu Toto. Tapi, tak semua setuju. Karena itu, faksi NII Abu Toto dikenal dengan NII KW9.

Imam menjelaskan, pendirian YPI ini juga menandai peralihan ideologi perjuangan militer menjadi pendidikan. Sebab, NII yakin, tanpa pendidikan kuat, negara Islam tak akan bisa diterapkan. Dalam perkembangannya, kata Imam, YPI memutuskan mendirikan pesantren Al Zaytun di Indramayu. "Keputusan ini diketahui semua pejabat NII," kata Imam yang pada waktu itu juga menjabat wakil ketua yayasan.

Menurut dia, Al Zaytun adalah salah satu produk NII. Namun, Al Zaytun sendiri bukan NII. "Tak ada ajaran NII disampaikan kepada anak didik di sana," ujarnya. "Anak-anak benar-benar belajar biasa." Meski demikian, seluruh karyawan dan petinggi di pesantren itu adalah “warga NII”.

Bukti keterkairan NII yang lain, menurut Imam adalah pelaksanaan upacara peringatan Proklamasi Negara Islam Indonesia. Upacara pernah dilaksanakan pada 17 Agustus 2004 pukul 06.30, di teras puncak Masjid Rahmatan Lil Alamin, di Mahad Al Zaytun.

Saat itu, Imam NII Syeikh Panji Gumilang alias Abu Toto menjadi inspektur upacara. Upacara juga dilengkapi pembacaan Proklamasi NII oleh Sekretaris Negara Abdul Halim. Tapi tak ada aksi pengibaran bendera dari upacara yang diikuti 30 “pejabat menteri dan eselon satu” gerakan itu.

Majelis Ulama Indonesia juga pernah menyatakan pondok pesantren Al-Zaytun adalah proyek NII. "Itu berdasarkan penelitian kami pada 2002, bahwa pemimpin Mahad Al Zaytun ini adalah pemimpin NII KW9," kata Ketua MUI Amidhan di Jakarta, Jumat 29 April lalu.

Menurut Amidhan, meski pendidikan pesantren Al-Zaytun tak mempelajari doktrin NII, MUI meminta yayasan mengganti pimpinan pesantren. Ini mencegah terjadinya penularan pengaruh NII pada para santri.

Lalu apa kata Abu Toto alias Syeikh Panji Gumilang?

Bobby Nasution akan Jalin Komunikasi dengan NasDem dan PKB untuk Pilgub Sumut

Ditemui wartawan tvOne Riga Danniswara, Abu Toto membantah bila dia dikaitkan dengan NII. Menurut Toto, perjuangan NII telah berakhir setelah Kartosoewiryo meninggal pada 5 September 1962. "Itu adalah fase turun gunung, semua kembali ke Ibu Pertiwi (pemerintahan Republik Indonesia)," ujar dia di kediaman pribadinya, di kompleks Mahad Al Zaytun, Jumat 29 April 2011.

Mengenai pembangunan Al Zaytun, Panji Gumilang mengatakan, semua berasal dari donasi umat dari seluruh  bangsa. "Tidak menggunakan uang negara," katanya. Kalau pun ada sumbangan dari anak bangsa, dia mengatakan, itu murni sumbangan. "Apakah itu salah?," dia menambahkan.

Penggunaan nama sejumlah tokoh di bangunan pesantren Al Zaytun, seperti gedung yang mengambil nama mantan presiden Soeharto, kata Abu Toto, tak punya maksud apa-apa. "Itu hanyalah penghargaan atas karya mereka."

(Laporan Erick Tanjung, Yogyakarta, dan Tudji Martudji, Surabaya|np)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya