SOROT 136

Kembalinya Dinasti Marcos

Imelda Marcos
Sumber :
  • AP Photo/ Pat Roque

VIVAnews – Pada 25 Februari 1986, rakyat Filipina bersukaria setelah berhasil menumbangkan rezim Ferdinand Marcos. Bersama istrinya, Imelda, dan keluarga, Marcos melarikan diri dari Istana Malacanang dengan empat helikopter militer ke Amerika Serikat ke pangkalan udara Clark.

Dikenal memerintah dengan tangan besi dan memelihara rezim yang korup sehingga membuat negara melarat, Marcos sudah tak sanggup lagi menahan kemarahan massa. Militer pun tak lagi mendukungnya. Maka, kabur ke luar negeri menjadi pilihan satu-satunya. Pulau tetirah milik AS, Hawaii, menjadi pilihan bagi Marcos dan keluarga untuk mengungsi. Pulau itu pula yang menjadi rumah terakhir bagi Marcos sampai akhirnya wafat tiga tahun kemudian.  

Mengetahui Istana Malacanang sudah ditinggal pergi penghuninya, yang berkuasa selama 21 tahun, sebagian rakyat yang sudah berdemonstrasi selama empat hari di kawasan EDSA dan jalan-jalan utama lain di Manila langsung merangsek ke dalam. Dalam satu dekade terakhir, istana itu menjadi tempat yang terlarang dikunjungi rakyat biasa. Maka, mereka mencoba menjarah apa saja yang ada di dalamnya.

Mereka pun terpukau dengan begitu banyaknya barang mewah beserta baju dan sepatu mahal yang ditinggal begitu saja oleh keluarga Marcos. Di istana itu, rakyat menemukan bahwa Imelda mengoleksi 2.700 pasang sepatu dan benda-benda mahal lainnya.

Saat itu, 25 tahun yang lalu, rakyat yang berdemonstrasi di Manila dan merangsek Istana Malacanang yakin bahwa dinasti Marcos sudah tamat. Marcos dan Imelda dilambangkan sebagai sepasang tiran yang semena-mena memasung kebebasan dan demokrasi dan tidak segan-segan menghabisi lawan-lawan politiknya, termasuk Benigno Aquino, Jr.

Sejarawan militer Alfred McCoy dalam bukunya, “Closer than Brothers: Manhood at the Philippine Military Academy” dan esei berjudul “Dark Legacy” memaparkan bahwa semasa rezim Marcos, 3.257 orang tewas dibunuh, 35 ribu lainnya disiksa, dan 70 ribu orang dipenjara tanpa kesalahan yang jelas.  

Marcos dan istrinya pun saat itu dianggap lambang korupsi di Filipina. Sementara mereka menimbun kekayaan, mereka membiarkan lebih dari 12 persen dari 54 juta rakyatnya menganggur. Aset Marcos yang disimpan di bank-bank Swiss dikabarkan senilai US$684 juta. Lembaga Transparency International pun menobatkan Marcos sebagai salah satu pemimpin terkorup di Asia.  

Tidak heran bila rakyat yang berdemonstrasi di Manila saat itu gembira mendengar Marcos dan keluarga kabur dari istana. Seorang penulis kenamaan yang menjadi saksi hidup Revolusi Rakyat 1986, Jose Dalisay, merasakan euforia rakyat saat itu. “Rakyat tertawa, melambaikan tangan, dan saling berpelukan. Mereka pun kompak bernyanyi,” kata Dalisay kepada BBC. “Itu adalah momen yang sebelumnya tidak pernah kami rasakan.”

Perlambang demokrasi Filipina dan tokoh Revolusi Rakyat 1986, Corazon Aquino, pun saat itu tidak bisa menutupi kegembiraan atas jatuhnya rezim Marcos. “Kini kita telah memasuki suatu negara baru, masa yang penuh tirani sudah lewat. Kita kini menempuh jalan panjang menuju perdamaian, kemajuan, dan keadilan, yang telah kita perjuangkan dengan pengorbanan,” kata Aquino suatu ketika setelah dilantik menjadi presiden, menggantikan Marcos.

Bangkit lagi

Era kediktatoran Ferdinand Marcos memang sudah tamat. Dia sendiri meninggal di pengungsian di Hawaii pada 28 September 1989, tiga tahun setelah kekuasaannya terjungkal. Namun, dinasti Marcos ternyata belum padam. Istri dan anak-anak Marcos bahkan kembali berkiprah di panggung politik Filipina.

Penduduk Ilocos Norte menjadi kunci kebangkitan dinasti Marcos.  Bermukim di ujung utara Pulau Luzon, mayoritas penduduk provinsi itu justru memiliki pandangan yang berlawanan dengan kebanyakan rakyat Filipina. Mereka masih memuja Marcos, bahkan menganggap dia sebagai pahlawan.

Kesan itu terlihat bila menyambangi Ilocos Norte, yang terletak sekitar 400 km dari utara Ibukota Manila. Setiap kali menjelang pemilu penduduk setempat memamerkan poster-poster bergambar Marcos maupun Imelda dan juga anak-anaknya.

Warga Ilocos memuja Marcos karena mereka merasa wilayah mereka makmur selama sang diktator memerintah. Tidak mengherankan, provinsi itu merupakan kampung halaman Marcos, yang lahir di Sarrat, pinggir Kota Laoag pada 11 September 1917.

Kebanggaan pada Marcos itu diutarakan seorang pengusaha di Ilocos, Toby Bassi. “Tidak terbantahkan lagi, dia (Marcos) sudah berbuat banyak bagi kaum miskin, jadi masyarakat membalas kebaikan itu,” kata Bassi kepada harian The Global Post. “Orang-orang Illocanos seperti keluarga. Bila sudah dihormati mereka, pasti mereka akan memberi dukungan dan perlindungan walau harus menderita.”

Kepada surat kabar yang sama, anggota DPR dari Ilocos, Mariano Nelupta Jr., mengungkapkan penduduk setempat praktis hanya melihat sisi baik-baik dari rezim Marcos. “Mereka mungkin tidak sadar apa yang terjadi di Manila (saat Revolusi 1986). Di sini, tidak ada apa-apa,” kata Nelupta.

Berkat dukungan masyarakat Ilocos, dinasti Marcos tidak perlu berlama-lama mengasingkan diri. Lima tahun setelah Revolusi 1986, Imelda dan keluarga bisa pulang ke Filipina, sambil membawa jenazah suaminya. Sambil menunggu dimakamkan secara kenegaraan, jenazah Marcos diawetkan di suatu musoleum di Batac City, ibukota Provinsi Ilocos Norte.

Belakangan, Ilocos Norte menjadi basis bagi kebangkitan kembali dinasti Marcos. Mereka pun memanfaatkan era keterbukaan dan demokrasi di Filipina, yang membuat siapa saja memiliki hak berpolitik. “Demokrasi itu bukanlah ideologi untuk menghancurkan. Tuhan tidak membuat kita semua sama. Demokrasi memaksimalkan potensi setiap umat manusia dari keutuhan, pencapaian, dan martabatnya,” kata Imelda, yang dikutip The Global Post kala mencalonkan diri sebagai anggota DPR Mei 2010.

Pernyataan perempuan yang kini berusia 81 tahun itu sangat bertolak belakang dengan kebijakan yang pernah dibuat suaminya, dengan menerapkan undang-undang darurat dari 1972 hingga 1981. UU itu jadi tameng Marcos dalam mempertahankan kekuasaannya dengan memberantas para lawan politik dan memasung kebebasan pers dan berpendapat.

Minibus Tertabrak Kereta Api di Brebes, Penumpang Tewas Terseret Hingga 10 Meter

Setahun setelah pulang dari pengasingan ke Filipina, Imelda dengan percaya diri mencalonkan diri sebagai kandidat presiden pada Pemilu 1992--yang akhirnya dimenangkan calon dukungan Presiden Aquino, Fidel Ramos.  Namun, Imelda tidak menyerah.

Tiga tahun kemudian, mantan Ibu Negara itu berhasil menjadi anggota DPR dari Provinsi Leyte, yang merupakan kampung halaman ayahnya. Pada Pemilu 2010, Imelda lagi-lagi berhasil menjadi anggota DPR, kali ini mewakili Provinsi Ilocos Norte. Menariknya, Imelda mengisi kursi yang ditinggalkan Ferdinand Marcos, Jr., yang tak lain adalah putranya sendiri.

Anak-anak Marcos dan Imelda juga sukses berkiprah di panggung kekuasaan Filipina. Marcos, Jr., misalnya, memiliki karir politik yang cemerlang. Kini, politisi yang populer disapa Bongbong itu “naik kelas” di parlemen Filipina dengan menjadi senator.

Bahkan, menurut stasiun berita ABS-CBN, mulai muncul wacana untuk mencalonkan Bongbong sebagai presiden pada Pemilu 2016. Isu itu masih ditepis oleh yang bersangkutan. “Saya masih belum terpikir untuk maju pada Pemilu 2016,” ujarnya.

Sebelum menjadi Senator pada Juni 2010, Bongbong menjadi anggota DPR periode 1992-1995, lalu Gubernur Ilocos Norte dari 1998 hingga 2007, dan kemudian terpilih sebagai wakil rakyat mewakili provinsi yang sama dari 2007 sampai 2010. Sebagai anggota DPR Ilocos Norte, Bongbong menggantikan kakaknya, Imee Marcos. Kakak-adik ini sukses “bertukar jabatan” sebagai penguasa Ilocos Norte. Buktinya, Imee sejak 30 Juni 2010 terpilih menjadi Gubernur di wilayah itu.

Gelar pahlawan

Sukses membangun kekuatan di daerah, dinasti Marcos kini mencoba meluaskan pengaruh mereka ke tingkat nasional. Agenda mereka saat ini adalah memulihkan nama baik Marcos.

Jenazah Marcos terbujur kaku di musoleum keluarga di Batac City, menunggu untuk dimakamkan. Namun, Imelda dan anak-anak ingin suami dan ayah mereka dimakamkan dalam upacara kenegaraan karena statusnya sebagai mantan presiden Filipina. Tidak hanya itu, mereka berupaya agar Marcos diakui sebagai pahlawan Filipina. Jenazah Marcos diusulkan agar dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Libingan Ng Mga Bayani di Taguig City, Metro Manila.

Bongbong beralasan ayahnya, bagaimanapun juga, adalah seorang pejuang saat melawan penjajahan Jepang di Filipina pada Perang Dunia II dan berjasa membangun negaranya. “Sebagai mantan presiden dan prajurit, dia berhak dimakamkan di Libingan Ng Mga Bayani,” kata Bongbong.

Presiden Filipina saat ini, Benigno Aquino III, dengan tegas menolak wacana itu. Seperti dikutip ABS-CBN, presiden yang akrab dengan sapaan Noynoy itu beralasan bahwa Marcos-lah yang bertanggung jawab menghabisi nyawa ayahnya, Senator Benigno “Ninoy” Aquino Jr., pada 1983. Ninoy ditembak tim pembunuh di Bandara Manila sekembalinya dari pengasingan di AS. Saat itu dia dipandang sebagai tokoh oposisi yang bisa mengancam rezim Marcos.

Pembunuhan Ninoy itulah yang membuat ibunda Noynoy, Corazon Aquino, masuk ke gelanggang politik, menumbangkan rezim Marcos pada 1986, dan akhirnya menjadi presiden.

Wacana menguburkan Marcos sebagai pahlawan belakangan malah menguat. Bongbong berhasil mempengaruhi para anggota parlemen untuk membuat resolusi mengenai pemakaman Marcos di taman makam pahlawan.  

Gagasan ini dikecam para mantan tahanan politik rezim Marcos. Sekretaris Jenderal SELDA, Dionito Cabillas, mengingatkan bahwa pada 1992 Pengadilan Federal AS menyatakan Marcos bersalah atas pelanggaran HAM di Filipina dan wajib membayar kompensasi kepada para korban. “Bagaimana bisa presiden-diktator yang fasis, yang diusir oleh rakyat Filipina, kini dianggap sebagai pahlawan?” Cabillas meradang.

Tidak mengherankan

Bagi kalangan akademisi, fenomena ini tidaklah mengherankan. “Saat Revolusi Rakyat 1986, kita saat itu tidak terpikir bahwa Marcos akan kembali. Namun, setelah revolusi, tidak banyak kemajuan berarti,” kata pengamat politik Edmund Tayao.

Setelah era Marcos, pemerintah memang menjamin kebebasan pers dan demokrasi. Militer pun kembali ke barak dan setiap orang berhak berpolitik dan mengritik pemerintah. Namun, para presiden setelah Marcos masih terus berjuang keras mengatasi dua masalah yang menggerogoti Filipina sejak lama, yaitu kemiskinan dan korupsi.

Bahkan, 15 tahun setelah Revolusi 1986, rakyat kembali bergolak menentang presiden yang mereka pilih secara demokratis, Joseph Estrada. Mirip Marcos, Estrada digulingkan dari kekuasaan setelah didakwa korupsi dan penyalahgunaan jabatan.  

Pengganti Estrada, Presiden Gloria Macapagal Arroyo, pun dicurigai tidak bersih. Suaminya, Jose Miguel Arroyo, dituding memanfaatkan kekuasaan istrinya untuk memperluas jaringan bisnisnya.

Bagi pengamat dari The Asia Foundation, Steven Rood, ini menunjukkan Filipina masih belum mengalami perbaikan seperti yang diharapkan saat menggulingkan rezim Marcos. Dikutip BBC, Rood menilai, “Pergolakan itu hanya berupa revolusi politik, bukanlah revolusi sosial.”

Sebagai warga Filipina, Dalisay mengakui perubahan di negerinya belum optimal. “Ini belum sempurna. Kami memetik banyak pelajaran, di antaranya adalah bahwa kebebasan itu lebih sulit dan kompleks ketimbang berhadapan dengan kediktatoran.” (kd)

Momen hangat Menkeu Sri Mulyani saat bersilaturahmi di kediaman Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 10 April 2024 (sumber: instagram @smindrawati)

Momen Sri Mulyani Hadiri Open House Jokowi dan Megawati: Semoga Baik Semua Ya

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengunggah momen hangat saat dirinya melakukan silaturahmi Lebaran Hari Raya Idul Fitri 2024 bersama Presiden Joko Widodo

img_title
VIVA.co.id
10 April 2024