SOROT 141

TKI di Ujung Pancung

Aksi Untuk Ruyati
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVAnews - Rumah itu berada di samping jalan aspal yang terbilang baru. Beralamat di Jalan Raya Sukatani Kampung Ceger, Desa Sukadarma, Sukatani, Kabupaten Bekasi, rumah itu cukup mudah dikenal. Dindingnya cerah warna merah muda. Tapi hati penghuninya tengah dirundung mendung.

Di luar rumah, beberapa karangan bunga berdiri segar. Ada tulisan 'Bupati Kabupaten Bekasi', 'DPRD Kabupaten Bekasi', ada pula tertanda dari Istri Gubernur Jawa Barat.

Tak ada tenda dan kursi yang disewa khusus. Dalam ruang tamu berukuran sekitar 4 x 3 meter persegi, para penghuni berjejer, duduk lesehan di tikar. Ubedawi (59), Een Nuraeni (35), Evi Kurniati (32), Irwan Setiawan (27), serta beberapa sanak keluarga.

Sayup-sayup dari dalam terdengar suara pengunjung melantunkan Surat Yasin. Mereka adalah keluarga Ruyati binti Satubi, buruh migrant yang sekonyong-konyong dihukum pancung di Arab Saudi.

Tak ada kabar, atau telegram duka cita kepada keluarga Ruyati. Seperti bermimpi, putrinya Een, memegang lekat foto Ruyati yang telah ia copot dari bingkainya. Di foto itu, Ruyati berkerudung hitam. Berkali-kali pula Een menyeka air mata dengan jilbabnya yang sudah basah.

Keluarga sempat melarang Ruyati ke Arab Saudi, karena dia sudah tua. "Seharusnya ibu di rumah saja, istirahat. Biar anak-anaknya yang mencari nafkah," kata Evi, putri Ruyati yang kedua. Tapi dia nekat. Bahkan sempat memalsukan umur menjadi sebelas tahun lebih muda. Menurut dia, itu permintaan perusahaan penyalur. Tanpa dimudakan, Ruyati tak boleh ke Arab.

Sudah berkali-kali Ruyati menjadi TKI. Sebelumnya, lima tahun lalu bekerja di Madinah. Yang kedua, Ruyati bekerja selama enam tahun di Kota Abha. Rumah yang ditempati Evi, adalah hasil jerih payah Ruyati. Dari hasil kerja, Ruyati bisa menyekolahkan Evi di keperawatan. Berkat Ruyati, kini Evi bekerja di satu rumah sakit.

Ditanya Kontrak STY, Erick Thohir Sebut Sepakbola Indonesia di Jalur yang Tepat

Yang terakhir, Ruyati bekerja pada seorang keluarga bernama Omar Muhammad Omar Halwani, di Al Khalidiya Makkah, selama satu tahun empat bulan. Di sinilah pangkal petaka itu dimulai.

Pada 14 Januari 2010, Warni --teman Ruyati di Arab Saudi, menghubungi keluarga dan mengatakan Ruyati membunuh ibu majikan, Khairiyah binti Hamid (64).

Dalam persidangan, Ruyati mengaku membunuh karena sakit hati, sering dimarahi korban. Ruyati pernah berencana melarikan diri, tapi gagal. Pintu rumah selalu dikunci. Sehingga, pada satu kesempatan, tepatnya 12 Januari 2010, Ruyati melawan. Ruyati menghujamkan pisau dapur ke tubuh korban. Dan, meninggallah Khairiyah.

Tak ada ampun di pengadilan Arab, kecuali bila keluarga korban mengampuni. Nyawa dibayar nyawa. Pengadilan pun memutuskan Ruyati harus dihukum pancung. Sayangnya, keluarga tak tahu persis kabar miris ini. Mereka hanya tahu,  perempuan 54 tahun itu dituduh membunuh, dan meringkuk di bui.

YouTube Luncurkan sebuah Serial Dokumenter 5 bagian berjudul “Seribu Kartini”

Keluarga Ruyati sudah pergi ke Kementerian Luar Negeri melacak kebenaran kabar itu. Tak hanya itu, keluarga juga mendatangi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), dan lembaga swadaya masyarakat Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat (Migrant Care). "Saya minta bantuan ke semua lembaga agar ibu saya diringankan hukumannya," kata Een. Dia tahu, bila terbukti membunuh, ibunya bakal terkena qisas.

Pada Sabtu, 18 Juni 2011, Ruyati dijemput petugas penjara di Makkah. Tak ada sanak keluarga, atau kerabat yang tahu bagaimana prosesnya. “Bahkan pengacaranya berkunjung sehari setelah eksekusi. Dia terkejut, sel Ruyati telah kosong. Orangnya telah dieksekusi,” ujar Faizol Riza, staf khusus menteri di Kementerian Tenaga Kerja RI.

Kritik pun muncul. Bagaimana mungkin eksekusi mati Ruyati yang sudah diketahui sebagai narapidana dengan hukuman mati itu sampai luput dari perhatian pemerintah RI di Arab Saudi?

Kegeraman pun meletup. Yang ditunjuk hidungnya siapa lagi kalau bukan pemerintah. Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin, mengatakan pemerintah lamban menangani masalah TKI. DPR, kata dia, kerap kali menegur pemerintah karena tak kunjung beres ihwal buruh migran itu. "Kami teriak-teriak, pemerintah tak peduli."

Lembaga yang memantau nasib buruh di manca negara, Migrant Care, menuding pemerintah teledor melindungi nasib pembantu rumah tangga di luar negeri. Kasus Ruyati, kata dia, telah disampaikan kepada pemerintah sejak Maret 2011. "Namun tidak pernah ada tindak lanjutnya," ujar Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah. Kasus Ruyati bukti terang adanya keteledoran dalam diplomasi perlindungan pekerja Indonesia.

Tapi tudingan pemerintah tak kerja, sepertinya tak tepat benar. Konjen Republik Indonesia (KJRI) di Jeddah penah menghadiri persidangan Ruyati dua kali, pada 3 dan 10 Mei 2010. Dalam sidang itu, Ruyati didampingi dua penerjemah mahkamah berkebangsaan Indonesia, dan dua orang dari KJRI Jeddah. Pada saat proses investigasi dan reka ulang pun, Ruyati didampingi penerjemah.

Konjen Jeddah juga memberikan bantuan hukum, dengan mengirim dua Nota Diplomatik ke Kementerian Luar Negeri Arab Saudi pada 19 Mei 2010 bernomor 1948, dan 14 Agustus Agustus 2010 bernomor 2986. Kedua nota itu meminta akses kekonsuleran seluas-luasnya, termasuk informasi jadwal persidangan, pendampingan dan pembelaan, serta mendapatkan salinan putusan hukum Ruyati.



Yang jelas, mesti ada upaya, tapi toh tak mustajab. Pada Sabtu 18 Juni 2011, Ruyati digiring ke tempat hukuman pancung di Makkah. Seperti laporan yang diterima Pemerintah RI, hari menjelang petang saat pedang algojo itu memisahkan kepala Ruyati dan tubuhnya.  Tak ada yang tahu. Tak juga ada saksi dari kerabat, atau pun teman dekat.

Lalu, mengapa informasi itu sampai luput? Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi, Gatot Abdullah Mansyur, upaya membela Ruyati sudah dilakukan jauh hari. “Kami menyewa pengacara dari firma Nasir dan Dhani, yang juga konsultan hukum KBRI di Riyadh,” ujar Gatot.  Soalnya, sejak awal di proses pemeriksaan, Ruyati telah mengaku membunuh majikannya.

Gatot melanjutkan, dalam sistem hukum Arab Saudi, pengakuan adalah segala-galanya. Pengakuan itu adalah soko-nya keadilan dalam hukum pidana Arab. “Jadi kalau pengakuan dan bukti-buktinya dirasa cukup, ya sudah, vonis harus cepat diputuskan,” ujarnya. Setelah Ruyati divonis mati pun, Gatot mengatakan, mereka sempat menjenguknya, dan memantau keadaannya. “Kita tahu bagaimana keadaan Ruyati”.

Itu sebabnya, Gatot heran saat eksekusi terjadi, pihaknya malah tak diberi tahu. Kejadian itu dari berita pagi di koran. “Kami langsung mengutus orang ke kantor polisi untuk mengklarifikasi, dan memang betul Ruyati sudah dipancung dan sudah dimakamkan,” ujar Gatot.  Dia juga sudah mengirimkan dua nota diplomatik, yang intinya agar diberitahu setiap kali proses sidang berlangsung.

Faisol Riza, staf khusus menteri tenaga kerja, pernah diceritakan oleh salah seorang bekas staf lokal KBRI di Arab Saudi, perihal lika liku hukuman mati di Arab Saudi itu. Sang bekas staf lokal itu mengatakan, dalam memantau mereka yang divonis mati, surat menyurat belaka tak cukup. “Rupanya mesti ada lobi intensif, termasuk bersilaturahmi dan berkunjung ke keluarga korban, atau juga para pejabat pengadilan”, ujar Riza.

Pendekatan seperti itu penting. Sebanyak 26 pekerja Indonesia kini di ujung hukuman pancung di Arab Saudi. Berdasarkan data dari Migrant Care, ke-26 TKI ini tengah menunggu vonis dan menunggu eksekusi. (Lihat Infografik).

Sebelum Ruyati, dulu ada juga kasus sama. Adalah Yanti Irianti binti Jono Sukardi, yang kepalanya dipenggal oleh pengadilan Arab Saudi. TKI asal Karang Tengah, Cianjur, Jawa Barat itu dituduh membunuh majikan. Dia dieksekusi pada 12 Januari 2008. Tapi hingga kini mayatnya tak pernah dikembalikan ke Indonesia.

Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat mengatakan, saat ini ke-26 TKI itu sedang dalam penanganan pemerintah. "Termasuk kasus Siti Zaenab, karena ahli warisnya belum akil baligh," katanya.  Pemerintah, kata Jumhur, akan terus melobi keluarga korban agar memaafkan TKI bermasalah itu. "Cara itu yang paling krusial," kata Jumhur saat ditemui VIVAnews.com di kantornya, Selasa pekan lalu.

Zaenab ini, terancam pancung karena dituduh membunuh majikannya. Dia sebenarnya akan dieskekusi pada 1999. Namun, Presiden Abdurrahman Wahid yang mendengar kabar eksekusi langsung mengirim surat penangguhan dan langsung menelepon Raja Arab Saudi, Abdullah bin Abdulaziz al-Saud. "Gus Dur cuma menelepon sekali saja, dan ditanggapi dengan baik," ujar Anis.

Menurut aktivis Migrant Care ini, Gus Dur tahu apa yang harus dilakukan, karena peran raja di Arab Saudi sangat sentral. Untuk itu, sebagai Kepala Negara waktu itu, Gus Dur melakukan hal yang tepat. "Di Arab, otoritas raja adalah segala-galanya," katanya. "Kalau raja memberikan maaf, maka putusan eksekusi bisa dicegah". (Baca peran Gus Dur menyelamatkan TKI di sini)

Memang tak semuanya terdakwa mati nasibnya berakhir di tangan sang jagal. Kementerian Luar Negeri mengungkap ada 303 Warga Indonesia yang terancam hukuman mati sejak 1999 - 2011. Tiga nama telah dieksekusi  di dua negara, dua dipancung di Arab Saudi dan satu orang dieksekusi di Mesir.

Dari 303 WNI, setidaknya 18 orang lolos dari hukuman mati dan mendapatkan keringan hukuman. Empat di antaranya di Arab Saudi, 12 di Malaysia, satu di Suriah, dan satu lagi di Uni Emirat Arab. (Baca selengkapnya di sini)

Mudik Lebaran 2024 Dinilai Beri Dampak Positif untuk Perekonomian Indonesia


Lima hari setelah Ruyati dieksekusi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya menyatakan sikap. Bertempat di Kantor Kepresidenan, Kamis 23 Juni, SBY memutuskan moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi. Keputusan itu efektif berlaku 1 Agustus 2011. Moratorium akan diberlakukan hingga ada kesepakatan dengan Arab Saudi. "Saya minta warga patuh, mendukung," kata SBY.

Bukan cuma SBY yang sepakat dengan moratorium. Dua hari sebelumnya, Selasa, 21 Juni 2011, Dewan Perwakilan Rakyat menggelar sidang paripurna terkait eksekusi mati Ruyati. Saat itu, semua fraksi DPR sepakat mendesak pemerintah agar menunda pengiriman TKI, hingga pemerintah membenahi semua sistem rekruitmen.

Apa yang terjadi jika moratorium dilakukan? (baca lebih lengkap di Moratorium TKI, Siapa Merugi)

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan, moratorium mewajibkan sejumlah syarat agar majikan yang mempekerjakan TKI terseleksi lebih baik. Misalnya, calon majikan harus melengkapi surat kelakuan baik, gaji minimum 11 ribu riyal atau sekitar Rp25,2 juta per tahun, peta rumah, jumlah dan foto keluarga, serta pernyataan kesediaan membuka akses komunikasi.

Tapi, moratorium itu suka tak suka akan "memancung" kesempatan para pencari dinar. Angka mereka yang kecewa juga besar. Menteri Muhaimin mengatakan dalam setahun kini ada 180-216 ribu calon tenaga kerja ke Arab Saudi. Itu baru satu negara. Tahun ini mereka gagal berangkat akibat kebijakan moratorium. Pertanyaan berikutnya: siapkah kita dengan lapangan kerja di negeri sendiri? (np)

Laporan Erick Hamzah|Bekasi

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya