SOROT 153

Dari Bar Hingga Kontraktor

Odie Agam
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVAnews - Memakai baju terusan merah. Gelang banyak di tangan kanan. Biduanita ini berdendang ditimpa kelap-kelip lampu. Di bar yang dihiasi balon warna-warni itu, ia mengajak tamu ikut berdendang. Dan bersahut. Sejumlah pengunjung bernyanyi penuh semangat.

Media Arab sebut Hamas Setuju Bebaskan 33 Warga Israel yang Disandera

Sohor tahun 1980-an. Usia menginjak 50 tahun. Betharia Sonata masih membuai. Penyanyi kelahiran Bandung ini adalah contoh bagaimana mengawet suara hingga separuh umur. Beberapa waktu lalu ia manggung di Bougenville Bar, Hotel Grand Menteng, Jakarta Timur.

Video acara ini diunggah ke situs YouTube, 21 Juli 2011. Sudah ditonton ratusan orang. Meski jarang tampil seperti pada masa jayanya, Betharia tetaplah seorang bintang. Tampil santai. Membuat suasana hangat. Malam itu, penyanyi yang meraih 7 Golden Records ini membawa lagu: Hati yang Luka.

Alutsista Buatan Indonesia Laris Manis di Pasar Global: Bukti Kemajuan Industri Pertahanan Nasional

Lagu itu sohor tahun 1980-an. Diciptakan Obbie Mesakh. Menguasai pasar musik lokal saat itu. Album bertitel Hati yang Luka,  besutan Musica Studio’s itu laku 1 juta keping. Laris manis di pasaran mendorong Obbie Mesakh meluncurkan sekuel lagu ini. Jawaban Hati yang Luka, begitu tajuk sekuel yang didendangkan Obbie Mesakh itu, juga laku keras.

Meski tak lagi muda, Betharia belum tenggelam. Dia adalah satu dari beberapa penyanyi lawas, yang bertahan di tengah deru industri musik yang mengusung begitu banyak darah muda. Penggemar juga masih banyak. 

Pengguna Infinix di Indonesia Bisa Pilih HP buat Main Game

Dalam acara di Bougenville tadi para pengemar itu ramai beryanyi. Lintang, salah seorang penanggungjawab bar itu, kepada VIVANews menuturkan bahwa mantan istri Willy Dozan itu sudah beberapa kali manggung di situ. 

Di Bougenville itu ada pub dan karaoke. Banyak tamu, kata Lintang, yang kerap memesan lagu Betharia. Umumnya minta lagu: Hati yang Luka. Dan, “Itulah alasan kami mendatangkan Betharia pada tahun baru kemarin,” kata Lintang kepada VIVANews, Kamis 15 September 2011.

Dan kehadiran Betharia itu sungguh membawa berkah. Tamu membludak. Dua kali lipat dari daya tampung. Dia jadi magnet sendiri. “Yang harusnya daya tampung pub ini hanya 100 tamu, meledak menjadi 200-an. Penuh sekali,” kata Lintang penuh bangga. 

Berapa bayaran sekali tampil?  Lintang enggan menyebut tarif. Penampilan selama satu jam, katanya, tidak lebih dari Rp15 juta.  “Betharia sangat simpel dalam tawar menawar pembayaran,” ungkap Lintang. 

Di tengah menjamurnya bar anak muda, Bougenville memilih setia menjual kenangan. Semua serba memori. Tamu berumur. Dengan bintang-bintang yang bersinar di masa silam. 

Selain Betharia, sejumlah penyanyi  yang kerap manggung di sini, kata Lintang, adalah Rita Sugiarto, God Bless, Benny Panjaitan, Obbie Mesakh dan sejumlah penyanyi  sohor darri masa lampau. “Betharia sendiri sudah tampil lima kali di sini,” katanya.

Buka studio juga kontraktor 

Lagu itu populer tahun 1980-an. Antara Anyer dan Jakarta. Didendangkan Sheila Majid biduan dari Malaysia, lagu ini sohor hingga negeri jiran itu. Tidak hanya menerbangkan nama sang biduan, lagu ini juga mengharumkan nama si pembesut, Oddie Agam.

Oddie adalah pencipta lagu berbakat pada massanya. Selain Antara Anyer dan Jakarta itu,  besutan lain yang hits adalah Puncak Asmara, Surat Cinta, Memori dan Tanda-tandanya. Kerap menciptakan tembang laris, membuat Oddie diburu para penyanyi. Minta diciptakan lagu.

Kini, di tengah maraknya para pencipta lagu juga penyanyi darah muda, Oddie berusaha bertahan. Ia membuka studio di rumahnya di Jalan Petogogan. Tenaganya tak lagi prima. Tidak segesit dulu. Tampak beberapa kerutan di wajah.

Di tengah hujan yang mengguyur Jakarta, Kamis sore 15 September 2011, Oddie berkisah bagaimana ia bertahan di dunia musik. Berusaha hidup layak. Juga berkisah tentang sejumlah sahabat yang sohor di masa muda, tapi susah ketika penyakit menyerbu di usia tua. 

Penggalangan dana, kata Oddie, “Adalah kejadian yang selalu ironis untuk musisi Indonesia yang punya nama besar.”  Hampir semua artis berumur, katanya, masih bisa hidup layak. Penggalangan dana hanya dilakukan ketika mereka menderita sakit berat.

Itulah yang terjadi dengan mendiang Chrisye dan Utha Likumahuwa. Dua penyanyi bersuara merdu itu sohor pada masanya, tapi mereka kesulitan ketika menderita sakit berat. 

Selain karena kecilnya royalti yang diterima artis-artis tahun 1980-an, kesulitan itu, kata Oddie,  juga karena kurang cekatan berbisnis. Generasi kami, katanya, tidak pintar berbisnis. Sehingga tidak banyak uang yang disisihkan untuk asuransi jiwa, dan urusan kesehatan. “Kalau sakit dihari tua, tidak ada pegangan,” kata mantan suami Chintami Atmanegara ini.

Oddie mengaku sangat beruntung. Penyanyi sekaligus pencipta lagu. Dengan begitu royalti lebih besar. Di masa jayanya, dia pernah mendapat royalti miliaran rupiah. 

Dari Malaysia misalnya,  Oddie memperoleh royalti sebesar Rp8 juta setiap 6 bulan. Itu karena lagu: Antara Anyer dan Jakarta laris manis di sana. Kini setelah separuh umur, Oddie lebih banyak menghabis waktu di studio. Dia sedang mempersiapkan album baru berjudul-- 50:50. Selain itu, ia juga masih sering mengisi sejumlah acara off air.

"Masih bisa hiduplah. Tapi nggak semua musisi seperti ini. Usia kami sudah rentan," ujarnya. 

Seperti halnya Oddie, nama Deddy Dores juga kondang tahun 1980-an. Banyak artis yang diorbitkan Dedy sukses besar. Pamornya melorot setelah mendiang Nike Ardilla, salah satu penyanyi yang diorbitnya, meninggal dunia 1995 silam.

Meski nyaris redup, Deddy termasuk musisi berumur yang beruntung. Dan itu karena ia tidak mengantungkan hari tua pada royalti. Bersama seorang adiknya, Deddy Dores yang sohor dengan suara melo nan melengking itu, membuka usaha. Menjadi kontraktor.

Perusahaan itu bergerak di bidang kontraktor. Sehari-hari dikelola sang adik. “Saya sih di belakang saja, tapi saya juga ikut mengelola,” ungkap Deddy. Tawaran manggung pun masih sering berdatangan meski tidak sebanyak dulu. Tawaran manggung itu lebih banyak dari luar Pulau Jawa.

Soal royalti, kata Deddy, lebih banyak diterima dari negeri seberang ketimbang dari negeri sendiri. Dari dalam negeri, katanya, setahun paling terima Rp100 juta. Sedang dari luar negeri bisa tiga kali lipat dari jumlah itu. 

Pria yang juga sukses mengorbitkan Nafa Urbach ini pernah mendapat royalti S$21 ribu karena lagunya laris di Singapura. Belum lagi dari negeri Malaysia. “Makanya saya bilang kalau di luar negeri itu mereka lebih menghargai, tapi di sini, Aduh,” ujar Deddy.

Pamor memudar, karaoke berjaya

Ia sohor dari panggung dangdut. Joget bernyanyi dalam acara-acara rakyat di pelosok Jawa Timur. Aksi panggung keliling direkam. Diperbanyak lalu disebar dalam format VCD.  Rekaman yang beredar ke mana-mana itulah yang menerbangkan nama Inul Daratista ke jagat hiburan Indonesia. 

Sepanjang tahun 2003, goyang ngebornya laris dihampir semua televisi nasional. Gaya Inul bergoyang kemudian menerbitkan kontroversi. Diprotes keras Rhoma Irama yang dijuluki si Raja Dangdut.  Pro kontra soal soal goyangan ini merebak hingga tahun 2006. Sesudah itu ia seperti lenyap dari jagat hiburan.

Tapi Inul sudah mempersiapkan masa tua. Bisnis karaoke dengan label Inul Vista.  Bahkan istri Adam Suseno ini melebarkan bisnis karaokenya hingga ke luar negeri. Ia membuka tempat karaoke di  Thailand, Filipina, Jepang, dan Hong Kong. “Saya kerjasama dengan seleb-seleb di sana yang paling ngetop. Di sana akan dibantu artis-artis di sana," ujar Inul belum lama ini. 

Selain membuka cabang di luar negeri, Inul juga tengah mempersiapkan bisnis lain. Ibu dari satu anak ini berencana mendirikan label musik dan manajemen artis. 

Meski terhitung cukup sukses, Inul  berharap anak semata wayangnya, Yusuf,  tidak mengikuti jejaknya sebagai penyanyi. Kalau dia mau jadi penyanyi, kata Inul, “Saya tidak setuju. Sebab dunia hiburan itu bukan pekerjaan selamanya.” (wm)

Laporan Dani Wahyu Ramdani | Bandung

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya