- bdg.co.id
VIVAnews - Julukan sebagai kota "Parijs van Java" masih dilekatkan orang pada Kota Bandung. Sebutan itu tentunya masih relevan bagi banyak orang, terutama setelah Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAPI) memasukan Kota Bandung sebagai salah satu dari tujuh kota di Indonesia yang layak huni.
Pun bagi sebagian warga Jakarta, Bandung masih menjadi tujuan wisata favorit. Saban akhir pekan, ribuan warga Jakarta dan sekitarnya masih berbondong-bondong ke sana. Meski harus berjibaku dengan kemacetan.
Tapi, bagi sebagian penduduk Kota Kembang, julukan Parijs van Java mungkin sudah tidak berlaku lagi jika melihat problematika yang terjadi baik menyangkut masalah lingkungan, tata kota maupun fasilitas publik seperti jalan dan lainnya yang dihadapi Kota Bandung.
Bandung di sebagian titik memang masih menunjukan identitasnya sebagai miniaturnya Kota Paris. Di Bandung industri kreatif tumbuh dan berkembang pesat. Industri jasa dan hiburan pun terus menggeliat di tengah kebijakan jam malam yang diterapkan Pemkot Bandung dan Polrestabes Bandung.
Namun, bagi warga aslinya, Bandung sepertinya terus berubah dan mulai menanggalkan julukan Parijs Van Java. Tata ruang kota yang semrawut, ruang terbuka hijau yang kian berkurang, infrastruktur jalan yang tak seimbang dengan volume kendaraan hingga menimbulkan masalah kerusakan jalan dan kemacetan. Ditambah kasus kriminalitas yang bisa dikatakan tinggi seperti aksi kejahatan geng motor.
Lalu masalah lingkungan seperti belum optimalnya upaya penanganan Sungai Cikapundung yang kian hari makin keruh dan kotor terkontaminasi sampah serta limbah. Kemudian buruknya drainase, yang kerap menimbulkan persoalaan banjir Cileuncang, jadi sekelumit PR Kota Bandung di bawah kepemimpinan Wali Kota Ridwan Kamil.
Kang Emil, begitu orang nomor satu di Bandung itu disapa, bukan tanpa menyadari masalah yang dihadapi Kota Bandung. Sejumlah terobosan dilakukannya untuk membenahinya. Di awal masa kepemimpinannya, Kang Emil cenderung fokus pada pembenahan yang bersifat lingkungan.
Meski masih menuai kritikan, namun Kang Emil santai menjalankan program-programnya yang relatif menyentuh dan dapat dirasakan serta melibatkan langsung warganya. Seperti pengadaan bus sekolah gratis, taman tematik, program untuk membuat Kota Bandung yang lebih melek teknologi dan membuka cakrawala dunia lewat fasilitas wi-fi gratis, pengelolaan parkir dengan menggunakan sistem prabayar meski baru diterapkan di satu titik yakni Jalan Braga.
Lalu, menggelorakan aktivitas yang sifatnya kebudayaan dalam bentuk festival seperti Braga Culinary Night dan kampanye urban farming yang menyasar warganya untuk tekun memanfaatkan lahan kosong untuk berkebun.
Untuk masalah lingkungan, selain ingin membenahi Sungai Cikapundung dan menggalakan program pungut sampah, Kang Emil pun menyoroti kian tercemarnya udara Kota Bandung. Salah satunya dengan menggalakan penanaman pohon. “Jika ingin Bandung sejuk kembali, tidak panas, berarti harus menanam pohon, oksigen dari pohon bisa menurunkan adrenalin sehingga orang bisa berpikir lebih jernih,” ungkapnya.
Soal gerakan pungut sampah, Kang Emil sangat berharap menjadi budaya baru sehingga Kota Bandung akan jauh lebih bersih. “Kalau bisa di foto dan upload di Twitter lagi pungut sampah, saya akan bahagia kalau lihat anak sekolah Bandung hari Rabu berpakaian sunda, bersepeda, dan aktif mengikuti gerakan pungut sampah,” jelasnya.
Jangan Seperti Polisi India
Kang Emil memang terlihat cukup bersemangat membenahi Kota Bandung. Namun, di balik semangatnya terdapat sejumlah masalah yang kurang tersentuh. Terlebih jika masalah itu menyangkut keselamatan warganya seperti kian berkurangnya hidran, jalan rusak, pohon-pohon tua yang kerap tumbang dan jadi mimpi buruk buat warga, terutama di saat turun hujan.
Yang pasti sejumlah peristiwa di masyarakat memberi pesan untuk Kang Emil dan pejabat di bawahnya untuk memberikan perhatian serius terhadap masalah publik secara luas. Jangan sampai pemeo ‘Polisi India’ disematkan kepada pemerintahan Kang Emil karena selalu baru bertindak setelah peristiwa terjadi
Kasus kebakaran yang melanda salah satu pusat perbelanjaan King’s Shopping Centre di Jalan Kepatihan, pada bulan Juli 2014, membuktikan jika keberadaan hidran di Kota Bandung harus benar-benar dioptimalkan. Bayangkan saja selain bekerja keras memadamkan api, petugas pemadam pun dibuat pusing mencari sumber air yang digunakan untuk menjinakan si jago merah karena terbatasnya debit air di dalam hidran. Tak heran jika pemadaman King’s Shopping Centre memakan waktu lama. Butuh 32 jam untuk memadamkannya.
Kepala Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung Hikmat Ginanjar mengakui, salah satu persoalan yang kerap dihadapi pihaknya setiap terjadi kasus kebakaran adalah sulitnya mendapatkan sumber air.
“Jika tidak berfungsi, petugas kami biasanya mengambil dari sumber air lainnya seperti Sungai Cikapundung atau dari hidran di Jalan Supratman yang masih berfungsi cukup baik,” paparnya.
Persoalan hidran ini memang bukan tanggung jawab Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung. Sebab soal penyediaan air merupakan tanggungjawab dari PDAM Tirtawening Kota Bandung.
Dirut PDAM Tirtawening Kota Bandung, Pian Sopian, berjanji akan berupaya keras untuk menuntaskan persoalan hidran ini. Termasuk memperbanyak fasilitas hidran di sejumlah titik yang belum memiliki.
“Ada kaitannya juga dengan masalah volume air yang terbatas. Hingga saat ini air PDAM yang dialirkan ke rumah-rumah warga, masih harus digilir,” paparnya.
Komunikasi Jadi Faktor Penting
Salah satu hal yang dianggap positif dari Kang Emil sejak dirinya memimpin Bandung adalah kebiasaannya berinteraksi berinteraksi lewat media jejaring sosial seperti Twitter. Lewat kicauan-kicauan di Twitter ini, Kang Emil berharap banyak keluhan warga yang cepat sampai kepada dirinya.
Hal itu memang cukup ampuh untuk menampung berbagai keluhan warganya. Namun, kebiasaan seperti itu sempat dikritik pengamat masalah sosial dan ekonomi, Yusnan Solihin di awal kepemimpinan Kang Emil sebagai Wali Kota Bandung.
Menurut Yusnan, Kang Emil juga perlu memberikan ruang komunikasi untuk warganya yang tidak melek teknologi informasi. “Masyarakat bawah juga pasti butuh ruang yang memungkinkan proses interaksi dan komunikasi secara langsung untuk menyampaikan keluhan-keluhannya,” papar Yusnan.
Terlepas dari plus dan minus program-program yang dikembangkannya. Usaha yang dilakukan Kang Emil sangat layak diapresiasi. Paling tidak kini warga Bandung memiliki sosok pemimpin yang cukup interaktif dan komunikatif dengan warganya.
Sosok pemimpin yang berani menerapkan ide-ide dan konsep baik penataan kota yang diharapkan lebih ramah lingkungan. Kemauannya untuk mengajak warga membiasakan diri melakukan berbagai hal positif tak hanya buat diri sendiri tapi lingkungan melalui berbagai gerakan seperti gerakan pungut sampah, gerakan menanam pohon dan lain sebagainya.
Menyulap Bandung menjadi kota impian layak huni karena lebih berbudaya, bersih, ramah lingkungan, berpendidikan dan lainnya memang jadi harapan semua warga Kota Bandung. Namun, untuk mewujudkannya tidak akan semudah membalikan telapak tangan.
Kang Emil tentu tidak bisa bekerja sendiri, butuh dukungan dari orang-orang di sekelilingnya dan yang paling membutuhkan dukungan dari warganya. Seperti kata pepatah Roma Tak Dibangun dalam Semalam. Begitu pun dengan Bandung, untuk membuat Bandung yang asri dan tidak sumpek dengan sejumlah persoalan sosial, ekonomi dan lain-lain di dalamnya tentu tidak butuh waktu hanya dalam, hitungan hari, minggu dan bulan.