SOROT 347

Skandal FIFA dan Nasib Sepakbola Indonesia

Presiden FIFA Sepp Blatter memberikan keterangan pers di Zurich, Swiss
Sumber :
  • REUTERS/Ruben Sprich

VIVA.co.id - Suara pintu diketuk memecah ketenangan Hotel Baur au Lac. Dua pria yang mengenakan jaket hitam tampak mengetuk pintu salah satu kamar hotel yang terletak di Swiss ini.

Tak berapa lama, seorang pria berambut necis dengan pakaian rapih keluar kamar. Pria ini terlihat kaget, demi melihat dua pria yang menyatroni kamarnya tersebut. Namun, ia pasrah setelah kedua pria tersebut menunjukkan surat penangkapan dari pemerintah Swiss dan Biro Investigasi Amerika Serikat (FBI).

Sebelumnya, belasan polisi tanpa seragam terlihat siaga dan berjaga di luar hotel yang berdinding putih ini. Sebagian dari mereka terlihat mendatangi meja utama di lobi hotel. Mereka meminta kunci kamar kepada resepsionis, sebelum mencokok sejumlah orang yang bermalam di hotel mewah tersebut.

Tak berselang lama, dua orang terlihat digiring keluar dari kamar. Mereka tak diborgol dan tak melakukan perlawanan. Salah satu dari dua orang yang dicokok FBI ini adalah ofisial FIFA asal Costa Rica, Eduardo Li.

Ia tampak menyeret sebuah koper dengan logo FIFA. Kedua pria tersebut langsung digiring menuju mobil sedan hitam yang sudah menunggu di luar hotel.

"Pejabat FIFA Ditahan Terkait Tuduhan Korupsi: Sepp Blatter Bukan di Antaranya" tulis surat kabar top Amerika Serikat, The New York Times, dalam tajuk utamanya bertanggal 27 Mei 2015 lalu.

FBI Geledah Kantor CONCACAF Terkait Dugaan Korupsi FIFA

FBI menggeledah kantor CONCACAF di Florida, AS, terkait dugaan kasus korupsi FIFA. Foto: REUTERS/Javier Galeano

Dua orang yang dicokok FBI ini merupakan sebagian dari 14 orang pejabat di Federasi Sepakbola Dunia (FIFA). Mereka ditangkap dengan tuduhan telah melakukan penipuan, pemerasan, dan pencucian uang. Salah satu di antara mereka adalah Wakil Presiden FIFA dan Presiden CONCACAF, Jeffry Webb. Pria ini digadang-gadang sebagai calon kuat penerus Blatter.

Platini Putuskan Mundur dari Pemilihan Presiden FIFA

Selain Jeffry, pejabat lain yang dicokok adalah anggota komite eksekutif, Eduardo Li dan Eugenio Figueredo. Selain itu juga ada Costas Takkas, yang menjabat sebagai atase Presiden CONCACAF.

Kemudian ada FIFA Development Officer, Julio Rocham dan Presiden Federasi Sepakbola Venezuela, Rafael Esquivel. Jose Maria Marin selaku anggota komite organising FIFA dan mantan Presiden CONMEBOL dan Nicholas Leoz juga ikut digelandang.

Reformasi FIFA, Presiden AFC Ajukan Ide Pemisahan

Mantan Wakil Presiden FIFA dan mantan presiden CONCACAF, Jack Warner juga ikut ditangkap. Selain itu, ada empat nama lain yang merupakan sports marketing executives, yakni, Alejandro Burzaco dari Argentine business Torneos y Competencias SA, Aaron Davidson dari Traffic Sports USA serta Hugo dan Mariano Jinkis dari Full Play Group SA.

Belasan pejabat FIFA ini ditangkap terkait kasus dugaan suap perebutan hak siar dan hak komersial terkait sejumlah turnamen besar dalam dua dekade terakhir. Angka suap dalam kasus ini diperrkirakan mencapai 110 juta dolar AS.

Sanksi Delapan Tahun Disebut Blatter Hanya untuk Pembunuh

Kasus Lama
Kasus ini sebenarnya sudah bergulir sejak awal 1991, saat presiden dua konfederasi di bawah FIFA saat itu, CONCACAF (termasuk AS di dalamnya) dan CONMEBOL (negara-negara Amerika Latin) menggunakan posisi mereka di organisasi tersebut untuk mengepul uang suap. Hal itu dilakukan demi mendapatkan hak komersial turnamen yang sedang mereka gelar.

"Semua terdakwa tersebut telah menyalahgunakan sistem keuangan AS dan melanggar hukum AS. Dan kami berniat untuk meminta pertanggungjawaban mereka," kata Wakil Jaksa Agung AS Distrik New York Timur, Kelly Currie, seperti dilansir Reuters.

Isu korupsi di tubuh FIFA bukan barang baru. Isu ini sudah lama terdengar. Namun, tak banyak bukti yang terungkap sampai akhirnya sebuah insiden besar terjadi hanya dua hari sebelum Kongres FIFA ke-65 digelar.

Kredibilitas Sepp Blatter pun langsung dipertanyakan. Posisi Blatter semakin terpojok, karena kakek 72 tahun itu tetap ngotot untuk maju kembali sebagai pemimpin FIFA untuk empat tahun ke depan. Suara menentang terus berkumandang. Namun, tak sedikit yang setia memberikan dukungan bagi pemimpin FIFA sejak 1998 tersebut.

Setelah melalui drama dan kontroversi, Blatter akhirnya kembali terpilih sebagai presiden FIFA untuk kelima kalinya. Pesaingnya, Pangeran Ali dari Jordania, memutuskan untuk mundur jelang pemilihan putaran kedua.

Sepp Blatter dan Chuck Blazer

Presiden FIFA Sepp Blatter (kanan) dan Ketua Piala Konfederasi FIFA Chuck Blazer berfoto bersama di Frankfurt, Jerman, 13 Juni 2005. Foto:
REUTERS/Kai Pfaffenbach/Files

"Anda ingat empat tahun lalu (usai terpilih), saya punya banyak masalah yang harus diatasi. Saat itu saya menantang Anda. Kini, saya tak akan menantang Anda, tapi kami juga memiliki permasalahan organisasi di FIFA, dan kami harus lebih baik," kata Blatter.

Tiga hari berselang usai terpilih, Blatter membuat kejutan dan menjadi topik serta tajuk utama di sejumlah harian dan dunia maya. Bukan karena kasus korupsi atau keputusan kontroversial, melainkan karena ia memutuskan mundur dari FIFA. Banyak pihak bernafas lega dengan keputusan ini. Mundurnya Blatter menjadi harapan, reformasi di tubuh badan sepakbola dunia itu bisa diwujudkan.

Presiden UEFA, Michel Platini, menyambut keputusan itu dengan suka cita dan memuji langkah sulit dan berani yang diambil seniornya tersebut. Tak hanya dunia sepakbola, apresiasi juga datang dari kalangan pemerintah, salah satunya Amerika Serikat. Gedung Putih menilai, langkah tersebut sangat krusial dalam usaha FIFA untuk mengembalikan reputasi usai dihantam badai kasus korupsi.

Kasus FIFA dan Masa Depan Sepakbola Indonesia
Kasus yang menjerat FIFA bisa memperburuk nasib sepakbola di Tanah Air. Pasalnya, sanksi yang telah dijatuhkan oleh federasi sepakbola dunia terhadap Indonesia ini bisa berlarut-larut dan berlangsung lama.

Kondisi ini dikhawatirkan akan membuat masa depan sepakbola Indonesia makin suram dan runyam.

Dukungan Presiden Joko Widodo yang menginginkan reformasi total di tubuh PSSI, akan semakin menguatkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi terkait pembekuan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).

Kasus dugaan korupsi yang menerpa FIFA membuat Menpora kian yakin, langkahnya membekukan PSSI sudah tepat. Karenanya, ia tetap kekeuh mempertahankan keputusannya tersebut.

"Akhirnya, sekarang tanpa kita sangka ternyata muncul ke permukaan (skandal korupsi FIFA)," ujar Menpora di Denpasar, Bali beberapa waktu lalu.

Aroma pengaturan skor dan indikasi adanya mafia dalam tubuh PSSI menjadi alasan Menpora membekukan organisasi ini. Padahal, isu ini sudah terendus sejak era 1990-an.

Imam Nahrawi tak mau berkomentar lebih jauh terkait skandal korupsi di FIFA dan di PSSI. Meski demikian, ia tak menampik jika mendapat banyak laporan soal pengaturan skor pada laga sepakbola di dalam negeri.

"Biar aparat hukum nanti yang memproses. Kami tidak dalam rangka untuk itu. Tapi faktanya bahwa banyak pengaduan soal pengaturan skor dan lainnya," ujar politisi PKB ini menambahkan.

Suporter sepakbola Indonesia gelar demo di Gedung Dispora Kota Bandung

Suporter sepakbola Indonesia menggelar demo terkait kisruh PSSI di Gedung Dispora Kota Bandung. Foto: ANTARA/Novrian Arbi

Meski banyak pejabatnya yang dicokok polisi, namun secara kelembagaan FIFA tetap bisa bekerja dan berjalan. Hal ini berbeda dengan PSSI. Meski Tim Sembilan bentukan Menpora yang diberi tugas menyelidiki kasus pengaturan skor atau mafia di tubuh PSSI belum menemukan bukti konkret, Imam tetap mempertahankan pembekuan PSSI.

Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengatakan, jika korupsi terjadi di FIFA, maka orangnya yang 'diambil'. Tapi sayangnya, justru terbalik dengan yang terjadi di Indonesia.

"Mestinya kalau salah orangnya, bukan organisasinya. Karena itu jadi masalah. Kalau FIFA, kemudian ditangkap orangnya, orangnya yang bersalah. Bukan FIFA- nya yang dibekukan, sehingga sepakbolanya tetap jalan.”

Nasi sudah menjadi bubur. Sepakbola nasional nyaris mati suri pasca pembekuan PSSI. Kondisi ini diperparah dengan kasus dugaan korupsi yang membelit FIFA. Sementara, hingga saat ini PSSI dan Kemenpora belum bisa duduk satu meja guna menemukan solusi.

Masalah yang menimpa FIFA seyogyanya tak dijadikan alat untuk memberangus PSSI dan membonsai sepakbola nasional. Sebaliknya, kasus yang menimpa federasi sepakbola dunia itu harus menjadi momentum bagi stakeholder sepakbola di Tanah Air untuk introspeksi, bukan mengedepankan ego dan gengsi. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya