SOROT 354

Merawat Jejak Wayang Sasak

Kegiatan di Sekolah Pedalangan Wayang Sasak
Sumber :
  • VIVA.co.id/Kusnandar

VIVA.co.id - Seperangkat alat musik tampak tertata rapi di sebuah ruangan bekas gudang. Ada gamelan, gending, semprong serta alat musik lain yang biasa digunakan mengiringi pementasan wayang.

Wayang, Media Efektif Membangun Jati Diri Bangsa

Sejumlah wayang kulit terlihat masih menancap di batang pohon pisang yang terlihat sudah menua dimakan usia.

Tak ada yang istimewa dari bekas gudang yang disulap menjadi ruang kelas ini. Kecuali, ukiran kayu yang diletakkan di antara pintu dan jendela. Salah satu dinding ruangan sengaja dibuka agar tembus ke halaman samping yang digunakan untuk latihan menari.

Bangunan ala kadarnya yang terletak di Desa Sesela, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini merupakan Sekolah Pedalangan Wayang Sasak. Sekolah ini didirikan oleh sejumlah orang yang prihatin dengan keberadaan Wayang Sasak yang nyaris punah tergerus zaman.

Sementara itu, jumlah dalang yang bisa memainkan wayang khas Lombok ini terus menyusut. Berdasarkan data Dinas Pariwisata NTB, saat ini jumlah dalang yang tersisa tak lebih dari 40 orang. Dari jumlah tersebut, hanya 13 orang yang aktif, itu pun usia mereka telah lanjut.

Wayang Sasak datang bersamaan dengan masuknya ajaran Islam di Lombok, diperkirakan sekitar abad 16. Melalui wayang, rakyat berkenalan dengan peradaban yang lebih baik dan tata cara bermasyarakat yang luhur.

Muhaimi (53), salah seorang pendiri sekolah ini mengatakan, di Desa Sesela pernah ada sejumlah dalang. Namun, dalang terakhir pentas 15 tahun silam. Saat ini, anak-anak muda nyaris tak pernah lagi menonton pertunjukan wayang.

“Kami prihatin. Beberapa budaya itu sudah banyak ditinggalkan masyarakat, sehingga kami takut nantinya akan ketinggalan jejak,” ujarnya kepada VIVA.co.id yang berkunjung ke sekolah itu, Rabu, 7 Juli 2015.

Kembali ke Tradisi

Kegiatan di Sekolah Pedalangan Wayang Sasak

Suasana belajar mengajar di Sekolah Pedalangan Wayang Sasak di Desa Sesela, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat, NTB. Foto: VIVA.co.id/Kusnandar

Ludruk di Ujung Tanduk

Sekolah Pedalangan

Berawal dari keprihatinan, Muhaimi dan sejumlah koleganya mendirikan sekolah pedalangan. Meski namanya sekolah pedalangan, peserta didik tak hanya belajar seni pedalangan.

Siswa sekolah ini juga belajar bagaimana membuat wayang serta musik yang mengiringi pertunjukan wayang. Saat ini, sudah ada 70 anak muda yang belajar di sekolah ini.

Sebagian besar anak didiknya berusia setingkat SMP atau SMA. Puluhan anak ini diampu oleh sekitar enam guru. “Ada guru penatah wayang, guru pemusik, guru dalang, guru vokal, dan guru karakter serta sastra Inggris,” ujar kepala sekolah Pedalangan Wayang Sasak ini.

Menurut dia, pelajaran pertama sekolah ini adalah mengenalkan wayang pada siswa. Peserta didik akan diajarkan bagaimana menatah wayang. Tak hanya itu, mereka juga akan belajar memahami karakter tokoh wayang.

“Pembuat wayang harus mengenal karakter wayang. Musiknya juga harus mengenal itu, sehingga pas dalam suatu pementasan wayang, itu semua sudah saling memahami apa yang akan dilakukan,” Muhaimi menjelaskan.

Siswa yang belajar di sekolah ini tak harus menjadi seorang dalang. Menurut Muhaimi, peserta didik bisa memilih jurusannya masing-masing. Sebab, untuk masuk sekolah ini mereka juga harus melalui ujian.

Jika peserta didik tak memenuhi kriteria untuk menjadi dalang, dia tidak akan diarahkan untuk menjadi dalang. “Untuk jurusan pedalangan diajarkan nembang, mengenal karakter wayang, sejarah, gerakan memainkan wayang. Kami ajarkan semua. Karena anak–anak ini masih nol.”

Pendiri sekolah yang lain, Abdul Latif Apriaman (41) menambahkan, pendirian Sekolah Pedalangan Wayang Sasak berawal dari diskusi di komunitas serta pegiat budaya di NTB. Berangkat dari rumusan dan pecakapan di komunitas, maka didirikanlah sekolah tersebut.

"Sekolah ini akan menjawab pertanyaan kenapa Wayang Sasak mulai ditinggalkan,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 7 Juli 2015.

Ia mengatakan, salah satu penyebab menurunnya peminat Wayang Sasak adalah terkait bahasa. Sebab, bahasa yang digunakan Wayang Sasak adalah huruf Jawen.

Sementara itu, saat ini hampir seluruh anak muda tak mengerti bahasa tersebut. Masyarakat juga tidak paham dengan bahasa yang digunakan dalang saat mementaskan wayang.

Kegiatan di Sekolah Pedalangan Wayang Sasak

Suasana belajar mengajar di Sekolah Pedalangan Wayang Sasak di Desa Sesela, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat, NTB. Foto: VIVA.co.id/Kusnandar

“Melalui wayang, ini alternatifnya yang akan kami cari, pertunjukan wayang alternatif. Kami tidak bisa biarkan wayang tetap bertahan dengan pola yang lama, sedangkan perkembangannya mulai terkikis,” ujar jurnalis salah satu media nasional ini.

Latif menjelaskan, Wayang Sasak berbeda dengan wayang kulit dari daerah lain. Menurut dia, yang membedakan Wayang Sasak dengan wayang jenis lain terutama dari tema ceritanya. Wayang Sasak membawa cerita menak, cerita tentang kerajaan Islam.

Sementara itu, wayang lain menceritakan Ramayana atau Mahabarata. “Kalau Wayang Sasak itu tokoh-tokoh yang diceritakan tokoh Islam dan penyebaran Islam di Lombok,” dia menambahkan.

Uniknya, meski wayangnya bertemakan Islam, ada beberapa dalang tua legendaris yang memainkan wayang ini beragama Hindu.

“Melalui sekolah dalang ini, kami tonjolkan tentang literatur Wayang Sasak itu seperti apa. Anak anak sekolah itu jadi tahu Wayang Sasak itu seperti apa, belajar Wayang Sasak untuk apa, baru kemudian mereka akan mencari formula untuk tetap menghidupkan Wayang Sasak dengan model yang baru,” ujarnya.

Bantuan Pemerintah

Latif mengatakan, sejauh ini belum ada bantuan dari pemerintah. Menurut dia, orang-orang yang aktif dalam pendirian dan pengelolaan sekolah ini merupakan kelompok masyarakat yang kecewa dengan pemerintah, karena dianggap menutup mata. Mereka bertahan dengan budaya-budaya yang menyita perhatian pariwisata tetapi dukungan pemerintah sangat minim.

“Jadi, kami berpikir tidak perlu bantuan dari pemerintah. Kami bisa berjalan sendiri.”

Salah satu guru Sekolah Pedalangan Wayang Sasak, Sukardi, mengatakan, ia tertarik mengajar di sekolah ini, karena ingin mempertahankan keberadaan Wayang Sasak. Pria yang sudah menjadi dalang selama puluhan tahun ini berharap, keberadaan sekolah ini akan melahirkan generasi penerus Wayang Sasak yang dapat melanjutkan seni budaya Sasak.

“Kalau saya mati, siapa lagi dalang yang akan memainkan cerita Wayang Sasak tentang sejarah perkembangan rakyat Suku Sasak,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 7 Juli 2015.

Sukardi mengajar cara membuat wayang dari kulit agar lebih menghayati perang dan karakter tokoh wayang. Ia mengaku tak menerima gaji atau honor selama mengajar.

“Kami tidak meminta honor atau gaji, karena bersama-sama membangun perjuangan untuk keberlangsungan budaya.” Ia hanya berharap, siswanya bisa menyerap ilmu yang diajarkan agar bisa menjadi penerus pedalangan wayang sasak di Lombok.

Wandi (18), salah seorang siswa sekolah Pedalangan Wayang Sasak mengaku ingin menambah pengetahuan terkait wayang khas Lombok tersebut. Sebab, ia belum pernah nonton Wayang Sasak. Ia mengaku ingin menjadi dalang.

Kegiatan di Sekolah Pedalangan Wayang Sasak

Suasana belajar mengajar di Sekolah Pedalangan Wayang Sasak di Desa Sesela, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat, NTB. Foto: VIVA.co.id/Kusnandar

Ia mengatakan, belajar di sekolah dalang tak mengganggu belajarnya di SMA. Sebab, selain cuma dua kali dalam sepekan, belajar mengajar di sekolah ini dilakukan sore hari.

“Harapannya bisa menjadi dalang, bisa meneruskan budaya Wayang Sasak Lombok. Bisa membuat pertunjukan Wayang Sasak, kalau ada kesempatan, kami ngajar dalang lagi menggantikan pak guru yang mengajar sekarang.”

Warga pun menyambut baik berdirinya Sekolah Pedalangan Wayang Sasak. Ningsih (27), salah seorang warga mengatakan, anak-anak muda bisa belajar tentang wayang di sekolah tersebut. Karena, tak sedikit anak muda yang belajar merupakan anak-anak yang putus sekolah.

“Jadi, daripada dia keluyuran ndak tahu mau ngapain, lebih baik jadi dalang saja,” ujarnya saat ditemui VIVA.co.id, Rabu, 7 Juli 2015.

Ningsih tak menampik jika saat ini warga sudah jarang nontong Wayang Sasak. Menurut dia, warga lebih banyak nonton sinetron dan pertunjukan dangdut. “Tidak ada pertunjukan wayang lagi. Budaya yang masih sering kita lihat paling cuma Gendang Beleq, Rudat, tarian sasak yang untuk saweran itu.”

Tanggapan senada disampaikan Asmuni (48). Kepala Desa Sesela ini mengatakan, keberadaan sekolah tersebut merupakan sesuatu yang positif. Ia mengklaim, warganya tak asing dengan wayang.

Menurut dia, wayang adalah salah satu seni budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. “Kalau dibandingkan dengan seni-seni yang lain seperti Cupak Gerantang dan sebagainya, Wayang Sasak lebih diingat masyarakat, khususnya warga Sesela,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 7 Juli 2015.

Meski demikian, ia mengakui, hingga saat ini pemerintah belum mengulurkan tangan terkait keberadaan Sekolah Pedalangan Wayang Sasak. Menurut dia, pemerintah seharusnya memberikan bantuan.

“Ini seharusnya mendapatkan respons serius pemerintah. Tapi, selama ini tidak ada, baik dari Dinas Pariwisata, Dikpora, juga instansi terkait sampai saat ini belum ada.”

Meski pemerintah tak turun tangan, Muhaimi yakin, melalui sekolah yang dibangun dengan rasa cinta dan keyakinan, ia percaya semua cita-cita dan harapan mereka akan terwujud. Menurut dia, sekolah ini akan menjawab rasa takut dan kekhawatiran akan hilangnya generasi penerus para dalang di Pulau Lombok.

Sekolah ini juga akan menjawab tantangan zaman, dengan melahirkan dalang-dalang muda yang memiliki kepekaan sosial, budaya, dan lingkungan yang tinggi. Juga dalang yang akan memberikan pertunjukan wayang yang segar dan lebih ramah dengan berbagai persoalan masyarakat. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya