SOROT 370

Di Swedia, Sampah Jadi Sumber Listrik

Kamikatsu, desa percontohan zero waste
Sumber :
  • Robert Gilhooly

VIVA.co.id - Seperti kebanyakan orang, perempuan ini rutin buang sampah ke bak di depan rumahnya. Tapi, sampah di rumah wanita ini terbilang sedikit dibanding para tetangganya.

Ternyata sampah yang dikedepankan dan diharap akan diambil oleh petugas kebersihan hanyalah sampah organik. Dia telah lebih dulu memisahkan sampah-sampah sesuai dengan jenisnya.

Misalnya kertas, kardus atau buku-buku ia berikan kepada pemulung, berikut juga plastik, termasuk gelas plastik bekas air mineral, kantong kresek, botol minum dan lainnya.

“Sekalian beramal ke pemulung. Kadang kalau ada barang-barang bekas, ya saya kasihkan juga tapi itu jarang,” kata Sadiah, ibu tujuh anak yang tinggal di Cipinang.

Banyak warga seperti Sadiah yang tidak tahu bagaimana cara mendaur ulang atau pun mengkompos sampah. Oleh karena itu, memilah dan memberikannya kepada pemulung dianggap sebagai langkah yang lebih efisien.

Atas nama beramal ke pemulung, tanpa disadari, Sadiah secara tidak langsung sudah melakukan salah satu upaya zero waste, menciptakan sedikit mungkin sampah (bahkan jika memungkinkan sampai tak ada sampah sama sekali) untuk dibuang ke tempat pembuangan akhir melalui pemilahan sampah di rumah.

Sebuah studi yang dikeluarkan Bank Dunia memperkirakan biaya pengelolaan sampah di seluruh muka bumi dalam kurun waktu 13 tahun mendatang bakal meningkat dari US$205 miliar (Rp1.845 triliun) pada tahun 2012 menjadi US$376 miliar (Rp3.375 triliun) pada 2025.

Dalam laporan berjudul "What a Waste: A Global Review of Solid Waste Management," total sampah yang dihasilkan di seluruh dunia pada 2012 mencapai sekitar 1,3 miliar ton per tahun. Bahkan pada 2025 mendatang, volume sampah dunia diprediksi bisa mencapai hampir dua kali lipat atau sebanyak 2,2 miliar ton.

“Sebuah kota yang tak bisa mengelola sampah dengan baik biasanya menunjukkan ketidaksanggupan dalam mengelola pelayanan masyarakat lain, yang jauh lebih kompleks, seperti kesehatan, pendidikan, dan transportasi.

Meningkatkan kemampuan pengelolaan sampah merupakan salah satu cara paling efektif untuk memperkuat pengelolaan pemerintahan secara keseluruhan," ungkap laporan tersebut.

Amerika Serikat termasuk negara yang menggalakkan seluruh kotanya untuk melakukan pengelolaan sampah sendiri. Masing-masing kota mengeluarkan aturan yang mengimbau warganya untuk mengelola sampah.

Mereka pun harus bekerja sama dengan banyak institusi. Sampai saat ini, ada lebih dari 10 kota di Amerika yang mengikuti tren zero waste.

Salah satunya adalah New York (NY). Dilansir dari Popular Science, kota dengan penduduk 8 juta jiwa itu menargetkan pada 2030 tidak ada lagi sampah yang akan dibuang ke tempat pembuangan sampah (TPS).

Caranya dengan mendaur ulang dan mengkompos sampah, mengurangi penggunaan barang yang berpotensi tidak bisa didaur ulang (reduce), menggunakan kembali barang yang bisa digunakan (reuse) dan mendaur ulang menjadi produk bermanfaat yang baru (recycle).

Sebelum memenuhi target 2030, pada 2018 Pemerintah Kota New York menargetkan program pengolahan sampah organiknya sudah bisa diadaptasi oleh seluruh rumah di kota itu. Saat ini baru 100.000 rumah yang mengikuti program mengkompos sampah dan mengurai limbah.

Sampai 2020 nanti, New York akan menciptakan saluran tunggal untuk daur ulang, sebuah metode yang memungkinkan semua barang daur ulang masuk ke dalam satu tempat yang ditentukan untuk didaur kemudian. Inisiatif lainnya adalah mengurangi penggunaan kantong plastik dan sampah yang tidak bisa dikompos.

Kebijakan ini berlaku tidak hanya untuk pemukiman tetapi juga sekolah, gedung, sampai apartemen, tidak terkecuali.

Tidak seperti New York yang baru menggalakkan zero waste, beberapa kota di dunia telah dianggap berhasil mengurangi volume sampah setiap tahunnya.

Beberapa di antaranya seperti San Fransisco, seluruh kota di Swedia, Buenos Aires, dan Cappanori, Tokyo, Bogota, Kuala Lumpur.

Tawaran Diskon

Sebagai kota terbesar di Amerika, San Fransisco paling berkomitmen menjalankan zero waste sejak 2002. Mereka bahkan berjanji mengurangi sampah di TPS sampai 100 persen pada 2020.

Harian The Guardian menyoroti upaya San Fransisco ini dan mengatakan jika target ini akan tercapai sesuai jadwal. Pemerintahan kota membuat aturan melarang penggunaan kantong plastic dan mewajibkan pengomposan limbah.

Mereka juga menekankan aturan ini pada restoran, hotel, rumah tinggal, sampai pengembang perumahan. Perusahaan pengelolaan sampah, Recology memberlakukan diskon 20 persen bagi warga yang tidak melulu mengandalkan pengumpulan sampah, yang dilakukan dua kali setiap bulan.

Departemen Lingkungan pemerintah kota San Fransisco, melalui situs SF Environment, mengatakan jika volume sampah, sampai 2012, sudah berkurang 80 persen di TPS dan akan menjadi 90 persen jika gerakan ini terus dilakukan ke depannya.

Sedangkan 10 persen sisanya akan tercapai jika ada campur tangan aturan nasional dari pemerintah pusat. Salah satunya dengan memberikan program insentif kepada manufaktur yang mau ikut dalam program ini. Pada 2012, hanya 428 ribu ton sampah di San Fransisco yang dibuang ke TPS. Bandingkan dengan 76 persen dari 3,8 juta ton sampah milik NY yang kerap masuk TPS.

Impor Sampah

Di Eropa, Swedia merupakan negara yang patut dicontoh dalam menerapkan zero waste. Agak sulit mencari kota di Swedia yang masih menghasilkan sampah.

Menurut laman Fastco Exist, semua kota di Swedia sudah hampir mencapai zero waste. Bahkan saking tidak adanya sampah, negara ini harus mengimpor sampah dari negara lain.

Pengelolaan sampah di negara ini telah berlangsung sejak tahun 1970. Tidak heran jika saat ini generasi muda mereka tidak lagi harus kisruh dengan pengelolaan sampah.

Cara efektif bagi mereka mengelola sampah adalah dengan menjadikannya sebagai pembangkit listrik. Sejak saat itu, lebih dari dua juta ton sampah dibakar dan menjadi pembangkit energi.

Cara ini tidak hanya mampu membuat Swedia mengurangi volume sampah tapi juga menghilangkan ketergantungan pada energi fosil untuk kebutuhan pembangkit listrik. Swedia juga dianggap sebagai negara yang sangat efisien dalam program daur ulang dan pengurangan bahan berpotensi sampah.

Saking langkanya sampah, mereka sempat kebingungan untuk mencari sampah yang akan dibakar untuk pembangkit energy negara itu. Akibatnya, setiap tahun Swedia harus mengimpor 800.000 sampah dari negara tetangga untuk "memberi makan" pembangkitnya.

Pasukan Sampah

Buenos Aires, pun bahan pelajaran menarik. Ibu kota Argentina dengan tiga juta penduduknya itu sempat kewalahan dengan jumlah sampah yang terus menumpuk. Sampai akhirnya pada 2005 pemerintah kota menargetkan program zero waste  dengan target tak ada sampah di TPS pada 2020, terutama sampah yang tidak bisa didaur ulang atau dikompos.

Program itu sempat mendapatkan kendala. Tidak hanya karena volume sampah yang semakin lama semakin menumpuk tapi juga karena pengelolaan sampah dikerjakan oleh perusahaan swasta yang ingin mendapatkan keuntungan dari TPS.

Akibatnya, pemerintah kota Buenos Aires mengandalkan campur tangan para pemulung yang mampu memilah sampah. Pemerintah menggalakkan dan memperjakan para pemulung ini untuk memilah sampah dan menjualnya ke perusahaan daur ulang dengan harga bersahabat.

Menurut City Scope, ada sekitar 5.000 pemulung yang dikerahkan pemkot Buenos Aires untuk bekerja digudang melakukan pemilahan. Meski banyak kendala, kota ini yakin bisa memenuhi target zero waste di 2020 nanti.

Cara Jepang

Di Asia, Tokyo menjadi contoh ideal. Mirip Jakarta, ibu kota Jepang itu memiliki populasi sekitar 13 juta jiwa.

Kamikatsu, desa percontohan zero waste

Berkat adanya pengelolaan sampah, penurunan volume sampah yang masuk TPS mencapai 35 persen dari volume sampah yang masuk TPS Tokyo.

Namun, karena pengelolaan sampah telah dilakukan sejak lama maka mereka tidak lagi direpotkan dengan masalah tersebut. Pada 2010 data pemerintah kota setempat menunjukkan adanya penurunan sampah yang masuk TPS, hanya mencapai 1,6 juta ton, atau turun 35 persen dari volume sampah yang masuk TPS Tokyo.

Semua ini berkat adanya pengelolaan Gomi, atau sampah, dengan cara dipilah yang telah menjadi kebiasaan warga Jepang. Bahkan pada 2003, sebuah desa di sebelah Barat Jepang, bernama Kamikatsu, menjadi desa percontohan untuk program zero waste dengan target sampai 2020.

Desa dengan penduduk 2.000 orang ini menerapkan pemilahan sampah sampai 34 kategori sebelum akhirnya diberikan ke tempat daur ulang. Sampai saat ini, metode ini diterapkan di Tokyo.

Kamikatsu, desa percontohan zero waste

Tempat sampah di sudut fasilitas publik tidak hanya dua melainkan empat sampai lima.

Tidak heran jika di beberapa sudut fasilitas publik terlihat banyak tempat sampah, tidak hanya dua melainkan empat sampai lima. Pemerintah juga memberikan subsidi berupa perangkat pengompos sampah untuk di rumah warga dan gedung perkantoran, selain juga kewajiban warganya untuk melakukan reuse, reduce dan recycle.

Ini tercantum dalam UU Daur Ulang yang diberlakukan sejak 1991. Pada dasarnya pemerintah kota menginginkan institusi komersial, baik toko maupun perusahaan, untuk mengurus pembuangan sampah mereka sendiri.

Pemerintah kota bersedia melakuka pengambilan sampah di kota itu jika tidak lebih dari 50 kilogram per hari, tentunya dengan biaya yang tidak murah.

Sementara itu, Kuala Lumpur memiliki masalah yang mirip dengan Jakarta untuk soal sampah. Awalnya, sejak 2011, pengelolaan sampah di ibu kota Malaysia ini dipercayakan kepada pihak swasta.

Alasannya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada warga. Namun Mei tahun ini Malaysia memberlakukan pendekatan baru untuk pengelolaan sampah, yakni melibatkan warga untuk memilah sampah sebelum dibawa ke TPS.

Pemilahan ini mencakup sampah daur ulang dan nondaur ulang. Semua ini tertuang dalam UU nomor 672 atau Solid Waste and Public Cleansing Management Act 2007. Proses pemilahan ini merupakan dasar untuk program daur ulang sampah.

Sampah Tidak Akan Selesai Hanya dengan Ribut

Sayangnya, baru 10,5 persen warga yang sadar dengan hal ini. Warga mengeluh karena kurangnya informasi dan edukasi, terlebih cara untuk melakukan pemilahan.

Menurut Malaysian Insider, sebuah studi yang dilakukan oleh Solid Waste And Public Cleansing Management Corporation (SWCorp) menemukan ada 89 persen dari 55.000 responden yang mengerti akan konsep reuse, reduce dan recycle.

Surabaya Sesumbar Sanggup Wujudkan Nol Sampah

Namun, hal ini tidak dijadikan sebagai budaya. Maka pemerintah kota Kuala Lumpur dan pemerintah pusat Malaysia berjanji untuk terus menggalakkan aturan ini melalui strategi C4E, Communicate, Educate, Engage, Enforce and Empower.

Data terbaru menunjukkan Kuala Lumpur, dengan jumlah penduduk 1,7 juta jiwa memproduksi sampah sebanyak 2.500 ton per hari. Angka itu setara 1,2 kilogram sampah per orang dalam sehari. (ren)

Mbah Mujiyat, si Penjaga Sampah dan Biogas
Wakil Presiden Jusuf Kalla hadiri peringatan Hari Peduli Sampah di Makassar, Sabtu 5 Maret 2016

Cerita Jusuf Kalla Soal Walikota Gagal

Padahal, Walikota itu baru saja membanggakan sesuatu di depan JK.

img_title
VIVA.co.id
6 Maret 2016