Di Amerika, Penyebab Hillary Clinton Kalah Itu Hoax

- VIVA/M Ali Wafa
Di Indonesia kompetisinya agak keras, bahkan ada kesan masyarakat itu terbelah antara pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo. Apakah hal yang sama juga terjadi di luar negeri?
Iya. Saya mau ke Qatar 5 April nanti untuk sosialisasi program ini. Dan waktu persiapan memang dilaporkan, dua-duanya memang sangat sensitif.
Apakah diaspora juga terpapar dengan isu-isu hoax yang terjadi dan tersebar di Indonesia?
Kalau menurut saya pasti ada juga. Karena akses terhadap online atau medsos sekarang itu hampir sama. Cuma bedanya mungkin kalau kita di sini ada hoax, kemudian ada pelurusannya atau klarifikasinya, kita langsung faktanya. Tapi yang di luar lebih sulit bagi mereka untuk mengonfirmasi informasi yang beredar di online atau media sosial. Mungkin bedanya, kalau di dalam negeri spending time kita untuk mengecek berita di online lebih panjang dari pada di luar negeri. Kalau di luar paling mereka mengeceknya pagi saja sebelum berangkat ke kantor atau sebelum tidur. Kalau kita di sini bisa seharian kapan saja bisa cek online.
Dan jangan lupa, di pemilu Amerika salah satu penyebab Hillary Clinton kalah karena hoax. Waktu itu banyak berita yang ngawur di Amerika, tapi orang percaya saja.
Kalau kita berkaca dengan pemilu di Amerika, menurut Anda gejala yang dirasakan di pemilu Amerika ketika itu sama tidak dengan situasi di Indonesia sekarang ini, hoax berseliweran, dan sejenisnya?
Oh iya, benar itu. Pokoknya hoax sudah menjadi instrumen politik sepertinya ya.. hehehe.
Bukankah kedewasaan politik diaspora itu lebih matang dibandingkan masyarakat di Indonesia? Karena sebenarnya mereka bisa dikatakan lebih terdidik atau memang sama saja?
Kalau menurut saya sih sama saja. Karena sebagian hoax yang saya baca itu rasionabel. Kelihatannya benar. Misalkan berita 'Jokowi larang orang adzan' kita itu langsung tahu kalau itu hoax. Tapi kalau berita 'si-ini ditangkap di sini karena kasus ini' ya kalau ini, rasanya this is true. Teman-teman di luar negeri juga demikian, kalau mereka mendapatkan berita yang di luar nalar mereka, pastinya tidak mudah percaya, kecuali berita yang benar-benar bombastis.
Berapa sebenarnya jumlah diaspora kita?
Kita ini tidak pernah buat database, dan ini juga kritik saya. Bahkan database talent diaspora tidak ada. Dan saya tahu pemerintah sudah menyadari hal ini. Tapi kalau data kasar, diaspora kita sekitar 6 juta, tapi ada yang bilang 8 juta, ada yang bilang 4 juta juga, jadi tidak tahu saya berapa jumlah pastinya. Jadi, saya ambil angka tengahnya adalah 6 juta. Dari 6 juta ini, 2 jutanya TKI. Nah, yang 4 juta ini yang non TKI, seperti profesional, doktor, inovator, yang punya restoran, dan lain sebagainya.
Jadi kalau dari segi jumlah, mereka kuota kedua terbesar di Indonesia di luar Jakarta, jadi kalau di Jakarta sekitar 10 juta penduduknya, diaspora itu sampai 6 juta. Tapi kalau dihitung WNA, Jakarta jauh kalah banyak. Kalau dihitung WNA ya, seperti Madagaskar, itu 23 juta, kemudian 60 persennya itu dari darah Jawa. Suriname juga, Afrika Selatan ada satu juta orang yang darah Makassar. Jadi diaspora itu bisa sebanding dengan kota terbesar di Indonesia.
Diaspora itu berarti semua orang Indonesia yang tinggal atau bekerja di Luar negeri?
Iya, kecuali mereka diplomat dan turis. TKI, Pelajar, pekerja profesional itu termasuk diaspora.
Selain membuat platform “Know Your Caleg,” apa lagi program Anda yang terkait dengan pemilu, untuk kepentingan diaspora?
Yang kita advokasi itu sebetulnya adalah perlunya Badan Nasional yang khusus mengurus diaspora. Jadi logikanya gini, ada 6 juta orang, kalau kita serukan ayo pulang kampung, pasti ada yang pulang kampung. Itu karena kita serukan. Tapi kalau mereka pulang kampung sendiri, mereka kebingungan setelah sampai Indonesia, mereka akan ke mana? Siapa kantor yang akan mengurus saya? Itu banyak yang jadi pertanyaan diaspora. Sebab tak ada yang mengurus mereka. Yang ada hanya satu staf khusus di Kemenlu, pangkatnya Duta Besar yang untuk ngurusin diaspora, tapi itu benaran satu orang hanya dengan satu sekertaris. Mungkin enggak dia ngurusin 6 juta diaspora? Enggak mungkin.
Ada juga Kasubdit eselon III di Kemenlu yang didampingi anggota stafnya yang hanya tiga orang, anggarannya mungkin sekitar Rp2 miliar. Nah, kira-kira bisa enggak mereka ngurusi enam juta diaspora dengan anggaran seperti itu? Enggak mungkin. Jadi menurut saya perlu satu badan yang khusus menangani, mengurusi diaspora.
Semacam BNP2TKI?