Di Amerika, Penyebab Hillary Clinton Kalah Itu Hoax

- VIVA/M Ali Wafa
Iya. Sekarang sudah ada BNP2TKI yang memang khusus mengurusi TKI, kalau saya usulkan, BNP2TKI ini diperluas saja. Jadi BNP2TKI itu bisa mengurus TKI dan Diaspora. Jadi yang 1/3 (TKI) diurus, yang 2/3 (diaspora)-nya juga diurus. Badan ini nanti yang membuat dan punya database diaspora. Siapa inovator, siapa yang punya paten, siapa doktor, siapa lawyer di luar negeri sana. Siapa tokoh masyarakat, siapa tokoh agama di sana, siapa yang bisa jadi juru bicara kita di luar negeri, siapa yang punya rumah sakit, siapa yang punya restoran, dan lain sebagainya. Harusnya semua itu bisa didata.
Kita tak punya data itu sama sekali?
Enggak ada. Saya sudah mengusulkan ini, aduh sudah bertahun-tahun, tapi tidak terjadi.
Sebenarnya sejauh ini apa saja problem-problem diaspora?
Problemnya ada dua. Satu problem yang berkaitan dengan TKI, terkait perlindungan hak dan fasilitas pekerjaan. Sementara yang non TKI, problemnya enggak banyak, hanya bagaimana mereka bisa sinergi dengan tanah air. Biasanya mereka sudah ada pekerjaan, sudah senang, sudah kaya, tapi mereka masih banyak hasrat untuk Indonesia, what can i do for Indonesian? Jadi mereka itu nasionalis dan idealis umumnya. Tapi mereka keluhkan, bagaimana kalau mau membantu Indonesia.
Misalnya ada dokter di Belanda, dia sukses menciptakan peralatan medis yang mutakhir. Tapi setiap setahun atau dua tahun harus diganti peralatannya, jadi peralatan yang lama yang masih bagus dia mau kirim ke Indonesia, digratiskan. Tapi alatnya enggak bisa keluar dari pelabuhan Indonesia, karena harus bayar bea cukai. Banyak kasus seperti itu. Kenapa itu terjadi, karena tidak ada badan yang menangani diaspora itu.
Menurut Anda, badan itu bisa memfasilitasi atau menjadi jembatan untuk membantu mengatasi masalah diaspora?
Iya, betul. Dan ini suatu sistem yang normal di negara-negara lain yang memiliki banyak diasporanya. Tiongkok punya, India juga punya. Dan apa yang bisa membuat nasib India sekarang berubah? Karena diaspora. Diaspora India itu jumlahnya nomor kedua terbesar setelah China, ada 20 juta diaspora India, dan itu tidak main-main. Ada yang punya pabrik, punya segala macamnya di London, kita lihat apa yang dikasih kepada mereka dari pemerintah India? Person of Indian Interest. Itu semacam KTP. Dengan kartu itu walaupun you sudah warga negara Inggris, warga negara Amerika, you bisa masuk India tanpa paspor, tanpa visa, hanya perlu kartu itu saja. Apa you tidak merasa dimanjakan, diistimewakan? Dan setelah itu, you will do anything for India. Jadi diaspora itu perlu diperhatikan saja sih sebenarnya, habis itu mereka will do anything untuk Indonesia.
Waktu saya di Amerika, banyak mendapatkan keluhan dari diaspora kita, mereka merasa tak diperhatikan. Tapi waktu saya bikin kongres, mereka mengapresiasi. Kongres kita waktu itu enggak didukung pemerintah, mereka bilang kita enggak ada duit untuk kongres ini, jadi diaspora kolektif untuk kongres di LA Convention Center yang dihadiri 2.000 orang. Kenapa diaspora bisa seperti itu? Karena mereka merasa disapa, merasa diistimewakan. Intinya begitu. Makanya kalau ada data base, kemudian ada badan khusus yang menangani diaspora, baru bisa mulai berjalan kerjasama diaspora ini.
Banyak diaspora kita yang istimewa ya?
Iya. Sebagai contoh, satu orang diaspora di California, dia punya hak paten lebih banyak dari hak paten seluruh bangsa Indonesia. Dan waktu saya di Amerika, diaspora Indonesia income perkapitanya lebih tinggi dari pada orang Amerika sendiri. Kalau tidak salah Amerika itu US$49.000 dan diaspora itu US$59.000. Jumlah orang yang punya title S1 itu lebih tinggi dari orang Amerika sendiri, saya lupa angkanya berapa persen. Jadi lebih pintar, lebih kaya, lebih ini, dan lain sebagainya. Potensinya luar biasa banget diaspora kita itu.
Kemarin saya dari Sydney, di sana itu ada orang Indonesia yang punya pabrik tahu dan tempe. Dan itu bukan pabrik kecil, gede banget. Dan mereka ekspor ke New Zealand, ekspor ke negara lainnya juga. Kacang kedelainya mereka beli dari mana? Mereka beli dari Australia, kemasannnya yang bikin orang Australia, segala macamnya orang Australia. Dan produk itu namanya Tempe of Indonesia. Bayangkan itu, dia sudah jadi orang Australia, tapi jiwa nasionalismenya terhadap Indonesia masih tinggi sekali.
Apa harapan teman-teman diaspora terhadap pemilu 2019 ini?
Harapan kita, dari segi back picture-nya, sekarang kan demokrasi lagi mundur atau sedang mengalami kemunduran. Banyak demokrasi yang jadi otoriter di tempat lain. Kalau tidak jadi otoriter, banyak demokrasi yang kualitasnya menurun, Lebih banyak korupsinya, lebih banyak pelanggaran HAM nya, orang jadi gak percaya sama Pemerintah, dan sebagainya. Saya ingin 2019 ini Indonesia bisa menunjukkan kepada dunia demokrasi kita bukan hanya terus berjalan, tetapi kualitasnya semakin membaik. Dan semakin maju, bukan semakin mundur. Itu satu untuk demokrasi kita.
Kedua, khusus mengenai diaspora itu saya ingin kali ini ada game changer. Jadi konsep caleg diaspora ini bisa merubah persepsi diaspora terhadap iklim politik di Indonesia, dan membuat mereka menjadi stakeholder karena merasa mempunyai wakil di DPR, mudah-mudahan nanti wakil di DPR nya juga benar-benar bisa akuntabel, dan amanah terhadap diaspora. Tapi yang paling penting sih, pemilu kita ini kan pemilu paling rumit nih di seluruh dunia nih, dan kalau kita bisa sukses saja, ini luar biasa.
Selain Dwi Kewarganegaraan, isu apa lagi yang penting bagi diaspora?
Isu yang terpenting berikutnya adalah Generasi Kedua. Generasi Kedua itu, misalnya, saya diaspora yang tinggal di Jerman, sudah mampu, sudah punya pekerjaan di sana, sudah menetap di sana, tapi punya anak. Anak saya enggak bisa bahasa Indonesia, anak saya enggak suka rujak atau gado gado, anak saya enggak bisa tari Bali, mungkin bisa dikatakan keindonesiaannya agak kurang gitu. Nah, ini yang menjadi kekhawatiran orang tuanya. Jadi menurut saya, harus ada respons pemerintah untuk masalah ini. Responsnya tidak terlalu sulit juga kok, misalnya bikin Sunday school.
Anak saya waktu di Amerika ada sekolah Indonesian Islamic Center. Di sana dia berkumpul, bertemu dengan anak-anak Indonesia yang lainnya. Maksud saya kalau bisa Pemerintah itu untuk masalah budaya, masalah identitas, kita jangan pelit-pelit, jangan tawar menawar, itu penting buat bangsa kita. Sekarang ini hanya satu yang paling besar, dan membuat kita bangga. Di Timor Leste. Coba lihat di sana di Timor Leste itu ada KBRI dan ada gedung budaya Indonesia yang lebih hebat dari gedung KBRI. Maksudnya ada tarian di sana, ada orang yang belajar bahasa Indonesia, ada orang belajar tarian di sana. Tapi hanya ada di Timor Leste saja yang seperti itu, di tempat lain enggak ada. (umi)