Investasi Besar-besaran di Tengah Hegemoni Mobil Jepang

Alexander Barus, CO-CEO DFSK Motors Indonesia
Sumber :
  • VIVA/Purna Karyanto

VIVA – Pasar otomotif di Indonesia sampai saat ini masih dikuasai merek-merek Jepang. Bukan hanya motor, mobil pun mengalami kondisi yang sama. Hal tersebut terlihat dari data yang disajikan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo).

Terpopuler Otomotif: Mobil China Raih Peringkat Tertinggi, Merek Vespa Bernilai Rp18 Triliun

Penjualan 30 merek mobil penumpang dari pabrik ke diler sepanjang 2018 menorehkan angka 1.151.284 unit. Dan Toyota kembali menyandang predikat sebagai brand terlaris, dengan raihan pangsa pasar 30,6 persen, atau terjual 352.161 unit.

Sedangkan posisi kedua ditempati oleh Daihatsu dengan penjualan 202.738 unit dan market share 17,6 persen. Ketiga ada Honda yang penjualannya di tahun lalu 162.163 unit, diikuti Mitsubishi 142.861 unit, dan Suzuki 118.014 unit.

Eksistensi Pabrikan Mobil China Semakin Terlihat, Ini Buktinya

Artinya lima merek mobil terlaris di Tanah Air berasal dari Negeri Samurai. Namun bukan berarti, tidak ada pendatang baru yang berani mengadu nasib dan berinvestasi besar-besaran di negara kepulauan ini, terutama brand mobil asal China.

DFSK telah menancapkan kuku bisnisnya di Tanah Air sejak 2014 lalu. Merek mobil asal Tiongkok yang berada di bawah naungan PT Sokonindo Automobile tersebut menggelontorkan dana senilai 150 juta dolar Amerika Serikat atau setara Rp2,134 trilun.

Terpopuler Otomotif: Mobil China Diuji Tabrak di Eropa, Review MINI Countryman

Kucuran dana tersebut sebagaian digunakan untuk membangun pabrik di Cikande, Serang. Kapasitas produksinya 50 ribu unit per-tahun, pabrik yang dirikan sejak 2014 dan rampung pada 2017 itu tempat produksi model Super Cab, Glory 580 dan Glory 560.

Pabrik tersebut dapat mengerjakan pencetakan plat baja (stamping), pengelasan (welding), pengecetan (painting), perakitan (assembling), serta proses control kualitas (quality control). Nah di 2018, DFSK baru pertama kali terjun ke pasar, awalnya menjajakan Super Cab dan Glory 580.

Menelisik data Gaikindo tahun lalu, dari daftar merek mobil terlaris nama DFSK berada di posisi 18. Dan selama satu tahun itu penjualannya hanya 1.222 unit, dengan  pangsa pasar 0,1 persen. Memasuki 2019, merek mobil China itu kembali merilis produk barunya, yaitu Glory 560.

Sejak menawarkan tiga produk di pasar, penjualannya terlihat ada peningkatan. Dalam satu semester atau Januari-Juni tahun ini pencapaian wholesalesnya sudah 1.667 unit. Dengan pencapaian tersebut, kini DFSK berada di posisi 13 dari daftar merek mobil terlaris.

Tentu yang menentukan karir DFSK di Tanah Air dalam beberapa waktu depan adalah strategi pemimpin dari perusahaan tersebut. Saat ini PT Sokonindo Automobile mempercayakan Alexander Barus sebagai Co Chief Executive Officer, pria yang mengabdikan dirinya di Kementerian Perindusrian sejak 1986 sampai 2011 itu.

Apa yang membuat Anda percaya diri dapat bersaing di tengah hegemoni merek Jepang?

Dongfeng Sokon merupakan industri mobil di China, bekerja sama antara Sokon Group (Hongkong) dan Donfeng Group. Berawal masuk ke Indonesia, dulu pabrik di Cikander itu pernah produksi motor China, yaitu Sanex. Melalui kajian tim dan principal, pasar otomotif akan berkembang baik di Indonesia. Karena Indonesia pasar terbesar otomotif di Asean, dengan penjualan mendekati 1 juta unit per-tahun.

Alasan lainnya karena negara ini memiliki pertumbuhan ekonomi cukup baik, rata-rata di atas lima persen, lebih baik dibanding negara lain. Sehingga pembelian akan naik terus terutama untuk beli mobil. Indonesia sudah masuk ke lingkup Asean free trade agreement (perdagangan bebas), jadi baik sebagai basis produksi. Itu yang mendasari kenapa DFSK masuk ke Indonesia.

Soal dominasi merek Jepang?

Ya, pertanyaannya pasar saat ini kan dikuasai Jepang. Soal itu, semua pasar di negara manapun sudah pasti ada pemain lamanya. Dulu pasar handphone dikuasai Nokia, tidak ada yang melirik Samsung sebagai pendatang baru. Tapi lihat sekarang, Samsung mendominasi penjualan dan Nokia mulai meredup. Kami percaya dengan kualitas harga kompetitif, dan servis kompetitif kami bisa masuk ke pasar.

Saat merek lain lebih fokus menghadirkan mobil Multi Purpose Vehicle (MPV) di Indonesia, kok DFSK sampai detik ini masih fokus menjual Sport Utility Vehicle (SUV), kenapa?

Kapasitas pabrik kami 50 ribu unit per-tahun, yang terpakai sekitar 10 persen dari 15 persen kapasitas. Kami melihat pasar SUV masih tumbuh, kami tidak berharap menguasai pasar SUV, tapi setidaknya bisa mengisi celah yang tumbuh, itu saja sudah bagus.

Kemudian dari teknologi industri, karena di China kami sudah dominan dengan SUV, kalau bergerak memproduksi MPV maka butuh investasi baru. Dulu awalnya ada MPV DFSK di Indonesia, tapi saat dihitung-hitung (ongkos produksi) tidak masuk dalam persaingan nanti.

Karena di China juga sudah tidak diproduksi modelnya. Sampai hari ini kita belum ada pemikiran untuk keluar dari SUV, dan komersial. Tahun depan pun belum, jadi mau solid dulu untuk kelas itu.

DFSK sudah mulai ekspor beberapa produknya ke sejumlah negara. Seberapa besar kontribusinya?

Nepal, Srilanka, Thailand, Vietnam untuk ekspor Glory 580. Kalau Glory 560 belum kami ekspor karena fokus di dalam negeri terlebih dahulu dan itu masih produk baru. Super Cab juga kami ekspor, dan yang baru permintaan dari Filipina 100 unit untuk varian mesin diesel dan bensin juga masuk ke Thailand.

Bagaimana dengan kandungan lokalnya di setiap produk DFSK?

Super Cab lokal kontennya sudah mendekati 40 persen, saya lagi urus agar dapat free impor duty untuk negara di Asean. Karena kalau sudah 40 persen, kami dapat keringanan saat proses ekspor jadi ibarat kirim ke Depok tapi ongkosnya sama seperti kirim ke Bangkok. Untuk Glory 580 dan 560 komponen lokalnya masih 29 persen, seperti pembuatan bodi sudah di dalam negeri, proses cat, ban. Pelat untuk bodi kami dari Krakatau stel, karena kalau diubah dari China ke lokal harus ada penyesuaian teknis.

Saya targetkan kalau bisa dua tahun lagi sudah 60 persen untuk Glory 580 dan Super Cab. Makannya tanah di depan pabrik sudah kami beli, dan kami akan undang dari China untuk bangun komponen dari sini karena mesin dan transmisi masih impor. Makannya kami ada rencana membangun assembling plan untuk engine, di tanah yang sudah dibeli itu, namun belum tahun ini. Karena masih mengatur penjualan produk di dalam negeri, melengkapi jaringan diler, jadi kita shuttle dulu di dalam negeri.

Kalau enggak kayak gitu sayang nanti investasi ini tidak dipakai kalau belum siap dengan penjualan. Ada juga kepercayaan China dengan kami, karena kenapa enggak di Thailand atau Malaysia, dan pabrik DFSK itu hanya dua di dunia, yatu China dan Indonesia. Karena sejak motor China itu sudah bekerja sama. Jadi di luar China cuma di sini pabriknya, dan kami merasa beruntung dapat kepercayaan.

Oh ya, bagaimana dengan proses transfer teknologi di DFSK dikaitkan dengan tenaga kerja asing?

Total karyawan DFSK sekarang ada 480 orang paling hanya 40 orang asing, di pabrik hampir semua orang Indonesia. Dan itu memang terkait dengan proses transfer teknologi yang membuat kami harus menempatkan beberapa tenaga kerja asing.

Peraturan Presiden soal kendaraan listrik sudah diteken. Dan DFSK juga sudah memperkenalkan mobil listriknya di GIIAS 2019, yaitu Glory E3. Siap diproduksi lokal?

Waktu dipamerkan banyak orang yang mau pesan, kami dipaksa orang yang mau SPK (surat pemesanan kendaraan). Padahal, peraturan belum ada, harga belum ada dia mau bayar DP (down payment) saya bilang jangan dulu. Segitu antusiasnya, tapi kita belum ada harga. Maka dari itu data konsumen yang mau pesan tetap kami simpan. Meski mereka bilang bayar dulu uang muka, saya tahu ada dua orang yang satu minta empat unit dan satu lagi minat enam unit dari Bogor.

Tapi untuk mobil listrik, tentu sebagaimana merek lain kami masih melihat Perpres ini memberikan kami ruang isentif seperti apa jika produksi mobil lsitrik di Indonesia. Apakah E3 yang akan diproduksi disini, belum tentu juga. Jadi tergantung dari Perpres itu, kita punya E36 mobil listrik di China bisa menampung penumpang hingga 16 orang. Kami juga punya Seres yang sekelas dengan Tesla Model X. Tentu sampai hari ini di mana baiknya, yang ditunjang infrasturkur dan isentif dari pemerintah.

Ada investasi tambahan pasti ada jika ingin memproduksi mobil listrik, tapi saya belum bisa katakan berapa. Karena produknya sendiri belum kelihatan yang mana akan ditonjolkan. Untuk langkah awal pasti kami impor dulu built up.

Takut rugi jika langsung produksi lokal mobil listrik?

Karena ada tiga faktor kenapa mobil listrik itu tidak bisa langsung produksi lokal saat masuk pasar. Yang pertama kami persiapkan hasil test pabrik untuk bisa memproduksi komponen mobil lsitrik, kedua kami hitung sisi ekonomi, apa saja yang diproduksi di sini agar ekonomis. Ketiga masyarakat belum terbiasa menggunakan mobil listrik, jadi ada pendidikan budayanya terlebih dahulu jadi harus dibangun dulu, pengetahuan masyarakat. Jika permintaan pasar besar, dan market sudah terbentuk, baru kami solid berinvestasi jadi logikannya impor dulu.

Mobil listrik ini komponennya tidak sebanyak mesin bahan bakar. Kami enggak mungkin produksi rotor, converter di Cikande. Kalau hanya 10 ribu unit, enggak masuk akal. Apa yang kami produksi nanti, hanya bodi, suspensi jadi untuk penggeraknya masiih impor dari principal.

Lalu bagaimana soal baterai mobil listrik yang menjadi jantung utamanya?

DFSK tidak akan masuk ke industri baterai, kami fokus di otomotif. Kalau industri baterai saya kan CEO juga di PT Indonesia Morowali Industrial Park. Yang sekarang kami lagi bangun pabrik komponen baterai 50 ribu nikel kobalt mangan itu katodanya, kalau manodanya bisa dari batu bara dan kita tinggal butuh lithium karena tidak ada di Indonesia.

Semoga ada investor yang mau bangun pabrik baterai mobil listrik atau singkatnya pabrik lithium di dalam negeri, agar tidak impor dari China. Karena semua bahan baku baterai ada di Indonesia. Sayang sekali kalau bahan dasar itu di ekspor lagi, katoda dari Morowali, batu bara dari Kalimantan tinggal impor lithium. Karena baterai itu bukan hanya untuk kendaraan, tapi bsia untuk rumah nantinya rumah tidak perlu lagi saluran kabel untuk listriknya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya