Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Agung Suprio

Saya Yakin Semua Sepakat Penyiaran Harus Diawasi

Ketua KPI Pusat Agung Suprio
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA – Rapat Pleno Pertama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat periode 2019-2022 yang berlangsung pada Jum’at, 2 Agustus 2019, memutuskan Agung Suprio menjadi Ketua KPI. Agung bukan orang baru di KPI. Dia adalah petahana yang sebelumnya menjabat sebagai Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran.

Survei LSI: Tingkat Kepuasan Publik pada Jokowi Naik 76,2 Persen

Pidato Agung sebagai Ketua KPI yang baru mengundang kontroversi. Sebab, Agung melontarkan ide untuk melakukan pengawasan pada media baru, yaitu media yang melakukan siaran publik tanpa melalui jalur frekuensi publik. Usulan itu dikecam. KPI dianggap belum menjalankan fungsi pengawasan maksimal, namun sudah berniat membatasi kebebasan publik memilih tontonan. 

Kepada VIVAnews, Agung memberikan penjelasan, latar belakang ide itu ia kemukakan. Sebagai Ketua KPI yang baru, yang juga petahana, Agung mengaku sudah banyak hal yang ingin ia lakukan. Salah satunya adalah merampungkan revisi UU Penyiaran yang selama bertahun-tahun terkatung-katung. Ia tahu, risiko berhadapan dengan publik, tapi perkembangan teknologi yang makin tak terbendung tak bisa dielakkan. Seluruh elemen dalam masyarakat harus bisa menerimanya. Maka ide-ide siap ia lontarkan.

PYCH Binaan BIN Buat Kegiatan Rutin di Papua: Pengembangan Wisata hingga Usaha

Latar belakang Agung Suprio, pria kelahiran 2 September 1975, cukup mumpuni untuk berada digaris depan KPI. Agung adalah  lulusan Universitas Indonesia dan terlibat menjadi aktivis 98. Koordinator Nasional UNFRELL (University Network For Free and Fair Election) pada tahun 1999, yaitu lembaga pemantau pemilu demokratis pertama sejak masa Orde Baru yang berbasiskan perguruan tinggi dari Aceh sampai Papua. Usai pemilu, Agung menjadi anggota Badan Pekerja Cetro (Center for Electoral Reform) pada 2000 – 2001 bersama tokoh nasional seperti almarhum Nurcolish Madjid dan Todung Mulya Lubis.

Agung memilih radio sebagai perjalanan awal karirnya dalam dunia penyiaran. Minatnya terhadap masalah sosial politik membuatnya tampil menjadi penyiar radio yang berbeda dengan penyiar radio lainnya. Agung kerap melontarkan canda tentang situasi sosial politik, hal yang akhirnya menjadi ciri khas Agung sebagai penyiar. Karirnya terus melaju, meski dijalani sambil melanjutkan pendidikan pascasarjana di UI. Tahun 2016, ia terpilih menjadi anggota KPI. Dan tahun 2019, ia kembali terpilih menjadi anggota KPI sekaligus dipercaya menjadi ketuanya. 

Ajak Warga Sumut Sukseskan PON 2024, Usung Tagline 'Apa yang Kau Bisa Mainkan'

Apa yang diimpikan Agung terkait dunia penyiaran dengan menjalankan amanat sebagai Ketua KPI? Apa saja yang akan ia lakukan? Bagaimana menghadapi tekanan publik soal pengawasan media baru? Apa saja ide-ide lain yang ingin ia wujudkan? Agung menjelaskan itu semua dalam wawancara khusus dengan VIVAnews di kantor KPI, akhir Agustus lalu. Berikut petikan wawancaranya:

Pernyataan Anda untuk mengawasi konten digital seperti YouTube, Netflix dan Facebook membuat heboh. Bagaimana sebenarnya?
Iya, jadi pertama kali pernyataan itu muncul pada saat pidato pengukuhan di kantor Kominfo (11 Agustus 2019-red). Hadir pada saat itu Menteri Kominfo Rudiantara, Pimpinan Komisi I DPR RI, ada Bapak Abdul Haris ketua komisi I, Satya dari Golkar, dan Asril Tandjung dari fraksi Gerindra juga hadir ketika itu, karena mereka ini adalah unsur pimpinan komisi I DPR RI. Hadir juga pada saat itu wartawan dari berbagai media yaa, ada media online, media cetak, maupun dari televisi dan radio juga banyak sekali. 

Pada saat itu saya diminta untuk berpidato selaku Ketua KPI periode 2019-2022. Pidato yang saya sampaikan sebetulnya ada empat poin, pertama tentang pengawasan karena itu adalah tugas utama kami, pengawasan lembaga penyiaran. Kedua, tentang rating. Kami mengkritisi masalah rating ini, artinya agar jangan sampai lembaga penyiaran itu hanya mengacu pada rating, tetapi tidak mengacu pada kualitas. Pada poin kedua ini kami pun menginginkan munculnya lembaga rating yang baru sebagai alternatif terhadap satu-satunya lembaga rating yang ada di Indonesia. Karena sekarang hanya ada satu-satunya kan, jadi bisa dikatakan sebagai monopoli.

Ketiga, tentang tantangan media baru. Keempat tentang dukungan kami terhadap digitalisasi penyiaran di daerah perbatasan. 

Kenapa itu penting? 
Karena di daerah perbatasan itu terjadi dua hal, pertama luberan asing atau dari negara tetangga. Jadi masyarakat di daerah perbatasan itu sekarang banyak yang menonton siaran televisi negara tetangga. Kedua adalah lembaga penyiaran konvensional. Tidak ada penyiaran di sana, ini kita tetap lakukan pengawasan. Karena tak ada penyiaran di sana, maka hari ini mereka mengonsumsi konten digital, yang kami khawatir kalau kita bicara tentang radikalisme itu bisa tumbuh di situ. Artinya kemudian, kami sangat mendukung setiap usaha penyiaran di daerah perbatasan, termasuk dalam hal ini adalah penyiaran digital atau yang menggunakan multiplexer. Mungkin ini istilah yang sangat teknis. Yang jelas kalau ada digitalisasi penyiaran maka masyarakat akan dapat menonton televisi konvensional, yang selama ini mereka mungkin jarang menonton karena tidak ada siaran yang masuk ke perbatasan.

Bagaimana dengan pengawasan media baru?
Nah, tentang media baru itu saya memulai prolog begini, generasi milenial sudah jarang melihat televisi. Ini didukung oleh banyak survei ya. banyak masyarakat yang beralih ke media baru. Contoh, anak saya yang paling tua usianya 10 tahun, anak kedua 9 tahun, anak ketiga menjelang tiga tahun. Anak yang usia 10 dan 9 tahun itu saya bisa katakan sudah tidak pernah menonton televisi. 

Jadi mereka menonton melalui smartphone. Atau kalau nonton TV karena TV sekarang sudah ada smart TV, sudah Hybrid, jadi sudah terkoneksi dengan internet atau WiFi. Maka yang ditonton bukan free to air, tetapi media baru. Saya tidak usah sebut brand apa saja media baru itu, tapi teman-teman sudah tahu lah ya. Nah, anak saya yang menjelang tiga tahun, itu sudah bisa juga dia buka handphone. Artinya memang generasi ini lebih banyak mengonsumsi media baru dari pada televisi atau lembaga penyiaran konvensional. Oleh karena itu lah, KPI berencana mengawasi. Jadi ada kata berencana untuk mengawasi. 

Ketua KPI Pusat Agung Suprio

Jadi belum pasti, karena ada kata rencana? 
Karena kami menunggu UU penyiaran yang baru. Itu intinya. Jadi apakah itu harus diawasi? Saya yakin semua sepakat harus diawasi. Sekalipun misalnya platform tersebut menyediakan filter atau parental log. Nah artinya memang pengawasan itu diserahkan kepada masyarakat atau dalam konteks ini adalah keluarga. 

Lalu bagaimana untuk masyarakat usia dewasa? Kan memang masyarakat usia dewasa itu tentu mungkin banyak juga mengonsumsi konten-konten yang katakanlah 'pornografi.' Kita punya standar nilai KPI, namanya PPPSPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) yang mengawasi televisi dan memberikan pengawasan. Mana yang boleh dan mana yang tidak. Nah, kalau dikomparasi dengan PPPSPS jadi jauh sekali. 

Apakah pengawasannya itu nantinya seperti lembaga sensor?
Nah, ini juga yang perlu diluruskan, karena memang seperti ada 'mis' di masyarakat. Kami bukan lembaga sensor film. KPI tidak pernah menyensor karena itu tugas LSF, menyensor film itu. Kami juga tidak pernah melakukan blur. Pernah juga ada heboh juga sekitar tiga tahun lalu, ada orang di kolam renang kemudian di-blur. Itu bukan kebijakan KPI lho, itu jangan salah. Ada orang pakai kebaya di-blur, kita tidak pernah menyuruh itu lho.

Jadi siapa yang mengeluarkan kebijakan itu?
Nah itu memang kebijakan dari pemilik televisi. Ada kekhawatiran mereka, takutnya disanksi KPI, makanya mereka membuat blur. 

Maksudnya kebijakan KPI terkait dengan pengawasan? Bukan meminta mem-blur gambar?
Iya, KPI tidak mem-blur.

Bukannya memang ada anjuran dari KPI untuk itu?
Tidak. Ada patung di-blur, orang pakai kebaya di-blur, tidak, KPI tidak pernah menganjurkan seperti itu. Pandangan orang sexis banget kan, ada laki-laki yang bertelanjang dada kok tidak di-blur. Nah, ini saya tegaskan, "KPI tidak ingin berpandangan sexis dan tidak akan berpandangan sexis" itu harus digaris bawahi.

Apakah rencana pengawasan terhadap platform digital itu disebabkan selama ini televisi konvensional ada SP3PS-nya, sementara yang baru (digital) ini belum ada aturannya?
Itu dampak saja saya kira, karena yang kita lihat adalah kontennya. Jadi kita tidak melihat persaingan usaha. Walaupun memang kami berdiskusi harus ada tata niaga konten. Dan lembaga penyiaran konvensional memang kalau cerita sama kami seperti itu ya, ada semacam ketidakadilan, apalagi tren mereka kan mengalami penurunan. Boleh saya katakan, industri penyiaran itu sunset. Dalam kondisi menurun saat ini. Iklan semakin menurun, walaupun masih merajai, cuma sudah mulai diambil alih oleh media baru. 

Tapi kita tidak mau masuk ke situ sebenarnya, karena itu kan persaingan. kita hanya masuk kepada konten. Oleh karena itu memang berkembang ada tata niaga, dan sebetulnya hal ini yang kemudian memancing isu yang lebih luas. Misalnya, harus ada kantor perwakilan platform-platform yang bersiaran di Indonesia, harus berbadan hukum tetap. Sehingga kemudian kalau kita memakai regulasi yang sekarang, mungkin saja bisa dijangkau kalau kemudian dapat juga ditafsirkan untuk juga mengawasi internet.

Namun memang demi kehati-hatian kami menunggu UU Penyiaran yang baru. Jadi ini kompleks, ada menko perekonomian yang harus memikirkan bagaimana caranya agar platform itu memiliki atau berbadan hukum tetap atau memiliki kantor di Indonesia, sehingga dapat diambil pajaknya, kemudian kontennya juga dapat diawasi.

Kalau usulan Anda selain tiga platform itu, seperti Netflix, Facebook, YouTube, apalagi yang perlu diawasi?
Sebenarnya saya tidak menyebut nama brand ya.  Intinya begini, semua platform yang melakukan siaran itu harusnya diawasi atau diatur lah bahasanya. Kalau diawasi, saya khawatir perspektifnya itu masih menggunakan perspektif masa lalu yang masih otoriter. Sekali lagi, kami tidak pernah menyensor, tidak boleh nge-blur. Tapi kami hanya ingin ada peraturan. Silakan saja DPR menentukan siapa yang kira-kira diamanatkan oleh UU untuk mengawasi itu semua siapa. Kalau KPI yang ditunjuk, mau tidak mau KPI harus siap. Karena KPI kan pelaksana UU, kami tunduk kepada UU. Jadi ketika nantinya DPR mengamanahkan kepada kami bahwa KPI harus mengatur konten digital, maka tidak ada kata tidak siap bagi kami. 

Ketua KPI Pusat Agung Suprio

Tapi sampai sekarang memang belum ada pengaturan untuk konten digital?
Iya, yang ada kan UU ITE sebetulnya, yang kemudian digunakan oleh Kominfo. Tapi kan kita bandingkan UU ITE dengan UU nomor 32 itu, kami lebih komprehensif. Karena kami diminta oleh UU 32 untuk membuat standar program isi siaran, makanya kami membuat P3SPS tadi sebagai panduan standar program siaran yang kita berikan kepada televisi, kalau ada yang melanggar maka kita akan berikan sanksi. Tapi di dalam UU ITE kan tidak demikian. Jadi atas dasar pengaduan dari masyarakat.

Kalau dalam UU ITE yang ditindak adalah pemilik akun. Tapi kalau memakai UU 32 tentang penyiaran, yang ditindak adalah lembaga penyiarannya, bukan artisnya. Nah, kalau kita pakai kontruksi UU 32 tentang penyiaran, maka yang dihukum bukan akunnya, tetapi pejabat pemilik platform digital itu, yang punya kantor perwakilan atau berbadan hukum tetap di Indonesia. Nah ini bedanya antara UU 32 tentang penyiaran dan UU ITE. Namun sekali lagi saya tegaskan supaya tidak mispersepsi, kita menunggu UU baru dari DPR, kalaupun nanti kami yang diamanatkan, kami tentu siap untuk itu.

KPI pernah mengusulkan secara resmi teknis pengawasan platform digital dalam UU Penyiaran yang saat ini masih digodok di DPR?
Belum. 

Idealnya nanti seperti apa kira-kira pengawasannya, karena ini kan ada Kominfo, ada KPI juga yang memang sebelumnya sudah melakukan fungsi pengawasan pada lembaga penyiaran konvensional?
Yang kami lakukan adalah koordinasi dengan stakeholder terkait. Dengan Kominfo, dengan Menko Perekonomian. Kalau misalnya nanti UU nya mensyaratkan mereka harus berbadan hukum tetap dan berkantor di Indonesia. Lalu nanti kami akan berkoordinasi dengan pejabat utama mereka yang mewakili mereka di sini. Jadi nanti kalau misalnya ada konten pornografi, atau konten radikalisme, atau konten kekerasan, maka kami bisa minta kepada pejabat tersebut untuk menurunkan dalam kurun waktu tertentu harus sudah selesai, jadi nanti harus ada koordinasi seperti itu khusus di Indonesia. Seperti itulah kira-kira gambarannya nanti kalau memang UU Penyiaran itu memberikan amanat kepada kami. Tapi lebih pada teknisnya belum ada, mungkin kami masih butuh waktu untuk mendistribusikan itu dengan para komisioner yang baru.

Tapi sudah fixed ya, usulan KPI dalam UU Penyiaran itu nanti harus ada pengawasan pada platform digital?
Iya. Tapi lebih jauhnya lagi lebih baik ditanyakan ke DPR, karena itu kan kewenangan DPR yang membuat regulasi, jadi kita menunggu saja. 

Sudah sejauh mana pembahasan Revisi UU Penyiaran di DPR?
Kalau kami sih berharap UU ini secepatnya disahkan. Namun, sekali lagi, ini tergantung dari DPR. 

Apa upaya KPI agar revisi UU itu cepat diselesaikan?
Iya sekarang tinggal tergantung DPR saja. Saya tidak mau komentar lebih jauh soal itu, hehehe.

Sebenarnya apa kendala yang menyebabkan revisi UU penyiaran itu belum diketok-ketok, karena sudah 17 tahun ini tak selesai juga. Sementara digitalnya sendiri sudah jalan bahkan lari?
Secara umum begini, undang-undang itu kan mengakomodasi segala kepentingan. Ada kepentingan publik, kepentingan industri, ada kepentingan pemerintah. Kepentingan kami tentunya termasuk publik karena kami reperesentasi kepentingan publik. Kalau saya melihat perkembangan terakhir atau informasi yang saya dapat, saat ini semua kepentingan sudah terakomodir, kepentingan pemerintah, kepentingan industri, sudah terakomodir. Memang sekarang tinggal proses teknis saja. Jadi menurut saya sekarang sudah tidak ada isu lagi yang mencolok, cuma kami menghormati pertimbangan-pertimbangan DPR saja.

Pernyataan itu membenarkan ada isu tarik menarik yang cukup kuat antara lembaga penyiaran dan pemerintah di dalam UU ini?
Saya tidak mau bicara tentang itu. Tapi yang jelas memang setiap undang-undang harus mengakomodasi semua kepentingan itu tadi. Lembaga penyiaran atau industri, pemerintah, dan publik. 

Apa poin yang urgent dalam revisi UU Penyiaran itu selain pengawasan terhadap platform digital?
Di dalam rancangan UU itu yang terkait dengan KPI, ada yang mengatur tentang denda. Jadi KPI berhak memberikan denda, sekarang pun ada juga, cuma ditegaskan secara detail dalam RUU Penyiaran itu, denda bisa langsung dikenakan langsung kepada KPI baik kepada lembaga penyiaran maupun pada artisnya. Jadi bisa menyasar pada talent-nya. Nah, ini yang nanti kami akan buatkan peraturan turunannya, semacam PKPI, kalau UU itu disahkan. 

Selain itu?
Digitalisasi. Jadi harap dibedakan antara digitalisasi penyiaran dengan konten digital. Kalau digitalisasi penyiaran ini, nanti televisi tidak lagi bersiaran dengan sistem analog seperti sekarang, nanti dia akan melakukan siaran dengan versi digital. 

Bisa didetilkan, apa bedanya versi digital dan analog?
Nah apa itu versi digital dalam konteks digitalisasi penyiaran? Pertama, tayangan di layar kaca akan jadi lebih jernih. Kalau sekarang kan kalau kita nonton free to air dengan TV biasa, itu kan kurang jernih, harus pakai antena, bahkan kita harus langganan TV kabel agar kita bisa nonton siaran dengan jernih. Dengan digital, kita bisa nonton dengan jernih tanpa harus berlangganan.  Kedua, frekuensi menjadi lebih hemat. Kalau di analog, satu televisi satu frekuensi. Jadi kalau di Indonesia misalnya ada 15 televisi berjaringan, itu berarti ada 15 frekuensi, boros. 
Tapi kalau di digital, satu frekuensi bisa diringkas untuk 12 televisi. Jadi kalau untuk 15 televisi, kita cuma butuh dua frekuensi, kan seperti itu. 

Jika versi digital berhasil, sisa frekuensi mau dibuat apa? 
Nah, sisanya ini bisa buat kebencanaan. Kita kan belum punya kan Sistem Terpadu Kebencanaan. Lalu apalagi? Ini yang orang sebut dengan sebutan bonus digital, yaitu untuk internet. Jadi memang logikanya, kalau ada bonus digital itu internet akan semakin murah. Kalau sudah bonus digital, tentu kecenderungan trennya orang akan lebih sering konsumsi media baru. Sekali pun TV tayangannya itu menjadi lebih jernih, nah kita lihat ke depan itu tayangannya jadi bagaimana. 

Artinya dengan digitalisasi penyiaran akan ada potensi bermunculan saluran televisi baru?
Iya. Dalam digitalisasi penyiaran nanti akan ada lagi TV baru yang bermunculan. Karena misalnya begini, sebuah lembaga penyiaran mempunyai lima frekuensi, itu artinya kalau dikalikan 12 siaran per frekuensi, berarti dalam lima frekuensi itu bisa menampung 60 siaran, jadi bisa bermunculan itu TV digital baru. Nah, Anda bisa bayangkan dalam kompetisi yang sangat sengit antara TV baru dan TV konvensional, belum lagi media atau TV konvensional sekarang ini yang bersaing dengan memperebutkan kue iklan yang sudah semakin mengecil. Itu Anda bisa bayangkan persaingan ke depan, artinya mereka yang akan berbisnis di televisi, ke depannya akan menghadapi tantangan yang sangat berat.

Di Korea saja ada dua TV seperti ini bangkrut. Karena iklan memang sudah susah. Jadi ini sebetulnya juga imbauan untuk mereka yang mau usaha di dunia pertelevisian. Pertama harus padat modal, karena pasti jumlah karyawan akan sangat banyak, untuk biaya membuat konten juga cukup mahal, sewa PH, dan sebagainya.  Kedua, harus punya konten yang kreatif dan harus segmented. Kalau enggak pasti ditinggal. Nah, itu tantangannya ke depan. Jadi sekarang pemilik TV atau insan kreatif yang ingin berbisnis di televisi itu harus betul-betul mengasah otaknya, bagaimana agar konten yang mereka buat itu bisa dikonsumsi oleh masyarakat banyak dan kemudian menghasilkan iklan.

Jangan-jangan karena kepentingan pengusaha yang menyebabkan pembahasan Revisi UU Penyiaran itu tidak bisa cepat?
Tidak juga.

Jadi bukan karena ada tarik menarik antara pengusaha lembaga penyiaran itu?
Tidak juga. Saya kira sudah selesai ya. Para pemilik televisi sebenarnya juga menyadari bahwa teknologi itu terus berkembang. Mau tidak mau harus dihadapi. Dan Indonesia itu masuk dalam sedikit negara yang belum digital. Di tempat lain sudah digital kok, belum lagi nanti kalau masuk pada eranya bonus digital. Kita bicara 5G, Anda bisa bayangkan, sekarang kita baru 4G lho. Ketika 5G nanti, ponsel juga mau tidak mau ikut 5G juga. Artinya perkembangan teknologi itu sudah tidak bisa dibendung lagi.

Jadi menurut Anda apa yang menghambat proses transformasi konvensional ke digital?
Ya itu tadi, intinya adalah biar bagaimanapun undang-undang harus berbicara akomodasi kepentingan industri dan kepentingan pemerintah, dan kepentingan publik, itu saja sih sebetulnya.

Atau jangan-jangan pemerintah lebih berpihak pada kepentingan pengusaha, bukan kepentingan publik?
Enggak. Enggak juga. Saya yakin sih pemerintah ataupun Presiden Joko Widodo itu punya komitmen yang sangat besar kepada kepentingan publik. Saya tidak pernah meragukan itu, dan ini prosesnya, dan saya pribadi menghargai DPR. Mungkin ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang kami belum tahu. Tapi yang jelas memang kalau bagi saya pribadi melihatnya sudah tidak ada isu yang sangat krusial untuk segera disahkan sih. Jadi tidak ada isu tarik menarik kepentingan industri penyiaran di situ?
Tidak, sudah selesai itu semua.

Kembali ke poin penting di dalam UU Penyiaran mendatang, selain dua isu tadi, apa lagi isu krusial lainnya? 
Begini, nantinya di dalam rancangan UU Penyiaran itu lebih ada seperti implikasi atau dampak secara teknis pengawasan. Karena seperti yang saya sampaikan tadi, kalau ada lima penyiaran, itu berarti bisa 60 siaran televisi. Dan bisa saja kalau ada pengusaha yang "gila" untuk menggunakan 60 siaran tv itu. Dengan demikian tentu saja pengawasan manual tidak bisa lagi dilakukan. Kita harus memakai AI (artificial intelegent) itu dampak dari rancangan UU Penyiaran. Jadi udah tidak lagi memakai paradigma manual. Karena akan semakin banyak televisi, maka teknologi pengawasannya pun tidak akan lagi dilakukan secara manual. Kalau sekarang kan masih manual, tiap satu televisi diawasi oleh empat orang, shift tiap enam jam sekali. Nah, kalau nanti ada 60 TV misalnya, maka yang awasi itu sampai 240 orang, karena 60 x 4 orang kan, nanti ruangan tidak cukup itu. Makanya dampak teknisnya akan terasa itu.

RUU Penyiaran itu akan memperkuat fungsi dan peran KPI atau tidak?
Memperkuat, akan memperkuat. 

Termasuk dengan fungsi pengawasan konten digital?
Nah ini yang masih dibahas di DPR sebetulnya. Apakah kemudian konten digital itu dimasukkan ke dalam UU Penyiaran yang baru, atau dimasukkan ke dalam UU lain misalnya, kan kita belum tahu itu. 

Menurut Anda, idealnya konten digital dalam penyiaran itu harus diawasi siapa?
Kalau kita bicara tentang penyiaran, maka memang fungsi pengawasan terhadap semua konten penyiaran itu KPI. Ideal lembaganya ya KPI. Atau yang lebih mendekati KPI-lah, jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga lainnya.

Artinya hari ini atau sekarang memang tinggal landasan hukumnya saja yang belum pasti untuk melakukan pengawasan konten digital itu?
Iya memang sekarang yang masih jadi problematiknya kan itu landasan hukum. Jadi ketika saya pidato, sekali lagi saya sampaikan, itu adalah 'merencana' karena memang konten digital itu sudah banyak yang mengkonsumsi.

Ketua KPI Pusat Agung Suprio

Protes publik, bagaimana mungkin KPI melakukan pengawasan terhadap konten digital, sementara pengawasan konten televisi konvensional saja masih belum  efektif?
Iya ini bagus banget ini pertanyaannya. Jadi netizen ini ada berapa puluh ribu yang merespons atau mengkritik seperti itu. intinya memang netizen itu sepakat untuk diawasi, intinya itu. Cuma apa iya KPI mampu mengawasi itu? Atau jangan-jangan nanti ada sensor-sensor, jadi ini ada mispersepsi. 

Tapi yang jelas begini, di era media baru ini, adalah media yang sangat demokratis. Setiap orang bisa menjadi artis, content creator, dan dari situ bisa menghasilkan. Baik pendapatan, dan apapun, bahkan juga bisa membagikan gagasan keindonesiaan, Pancasila, kebhinekaan kepada dunia luar. Karena dalam konten digital, sudah tidak bisa lagi dibedakan mana yang konten global, mana yang konten lokal. Semua konten adalah sama. Sementara di media konvensional tidak begitu, orang mau jadi artis itu susah banget, bahkan saya melihat ada kecendrungan oligarki. Saya melihat artisnya itu-itu saja. Jadi memang media baru ini menjadi alternatif, dan kami mendukung itu. Banyak kok content creator yang bagus. Kami  tidak berencana melemahkan atau membatasi content creator, tidak ada. Kami bahkan ingin industri kreatif ini tumbuh berkembang, justru memang menemukan tempatnya itu di media baru.

Lalu bagaimana dengan lembaga penyiaran konvensional? Selama ini KPI hanya memberikan batasan, jadi tidak berbicara tentang kualitas konten. Protes yang ada selama ini saya kira ini masalah selera sebetulnya ya, tayangannya konservatif banget. Walau tidak melanggar P3SPS, tapi yas konservatif, datar-datar saja. Ya ngapain sih saya nonton? Nah, memang kritik ini sebetulnya masukan buat industri konvensional. Kalau Anda tidak bebenah, maka Anda akan ditinggal oleh masyarakat. Karena generasi milenial itu trennya sudah menonton media baru. Dan ini tamparan yang keras buat Lembaga penyiaran konvensional.

Jadi ini yang harus diperjelas juga kepada masyarakat, KPI selama ini hanya memberikan batasan saja, misalnya tidak boleh ada kekerasan, dan sebagainya. Kalau kontennya sudah sesuai dengan batasan itu kan tetap aman, tetapi kalau kualitas kontennya jelek, orang akan meninggalkan. Itulah pekerjaan rumahnya bagi lembaga penyiaran konvensional kedepan.

Tapi usulan itu membuat KPI dikritik habis? 
Kami menerima kritikan netizen selama ini kepada KPI. Saya apresiasi banget. Ini hal yang menarik buat kita, partisipasi publik sekarang ini kan tidak lagi lewat konvensional, tetapi juga petisi online. Jadi kami juga ingin minta masukan kepada masyarakat terkait dengan konten penyiaran konvensional. Kan banyak juga itu yang menyampaikan petisi, acara ini tidak menarik, dan sebagainya.  Makanya ke depan kita akan mencoba membangun sinergi antara kita dengan netizen untuk kemudian sama-sama kita membuat agar tayangan di televisi bisa lebih berkualitas.

Kritik publik adalah soal KPI yang dianggap tutup mata pada stasiun televisi, yang sebenarnya menggunakan frekuensi publik tapi mereka sering dipakai kampanye lagu mars parpol, dan diulang-ulang terus menerus. Tanggapan Anda?
Kami tidak menutup mata juga sebenarnya, dalam sejarahnya ada mars partai tertentu yang terus menerus disiarkan oleh group televisi tertentu, kami sudah membuat keputusan agar tidak menyiarkan mars partai itu. Bahkan itu sampai ke pengadilan, kami kalah ketika itu di pengadilan. Panjang lah ceritanya. Tapi yang jelas ke depan itu, di dalam rancangan UU Penyiaran yang baru, itu mengatur televisi hanya boleh melayani dua iklan, pertama iklan komersial, dan kedua iklan ILM (Iklan Layanan Masyarakat). Artinya nanti di rancangan UU penyiaran yang saat ini sedang digodok,  iklan partai politik pun akan dibatasi. 

Sebagai ketua yang baru diangkat, dan Anda juga petahana, apa yang akan Anda lakukan agar KPI lebih bertaji?
Pastinya yang pertama saya akan menjalankan fungsi pengawasan secara profesional. Misalnya pertama harus responsif, harus terukur, kita punya misalnya indikator dimana kemudian tayangan itu berhasil kita awasi dan menjadi lebih baik. 

Kedua, kita akan selalu membaca aspirasi dari publik, ini yang menurut saya tidak kalah penting. Aspirasi dari publik itu adalah sesuatu yang tidak boleh ditolak atau diabaikan. Aspirasi itu menjadi masukan buat kita, jadi kalau kita mengabaikan aspirasi itu sama juga KPI kehilangan ruhnya.  Jadi harus ada penegakan regulasi dan mengakomodasi setiap aspirasi publik, kalau itu terjadi maka KPI akan bagus.

Ada pekerjaan rumah yang diwariskan oleh pemimpin sebelumnya?
Setiap masa ada tantangan, Setiap masa ada kebijakan dari pimpinan, nah tentu kan berbeda ya. Apalagi saya juga bagian dari pengurus yang lama dan sekarang menjadi ketua dalam periode sekarang ini. Jadi saya kira saya melanjutkan apa yang sudah berjalan ya. Terkait dengan pengawasan dan lain sebagainya itu kan sudah berjalan. Paling itu, RUU Penyiaran yang kita kawal bersama-sama.

Apa harapan Anda?
Harapan saya UU Penyiaran dapat segera diselesaikan tahun ini. Kalau itu segera selesai, pengawasan terhadap lembaga penyiaran tentu akan lebih baik ke depannya.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya