Prof. DR. Anna Alisjahbana, dr.Sp.A

Selamatkan Bayi Indonesia, Jamin Masa Depan Bangsa

DR. Anna Alisjahbana
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA –  "Upaya menyelamatkan bayi Indonesia akan jamin masa depan bangsa”,  Prof (Em) DR. Anna Alisjahbana, dr. Sp.A, menyampaikan kalimat itu dengan tegas dalam Lokakarya Smiling Children Foundation’s WomenChangeMakers, yang diadakan di Jenewa, 17 – 19 Mei 2010.  

Rumah Dekat Asrama Brimob di Slipi Dilahap Si Jago Merah, 17 Mobil Pemadam Dikerahkan

Saat itu Pia datang untuk memenuhi undangan sebagai pemenang penghargaan "WomenChangeMakers. Peristiwa itu kemudian terulang tahun 2019. Anna datang sebagai calon penerima Pia Alisjahbana Award, sebuah penghargaan untuk perempuan yang mendedikasikan diri pada isu tertentu, bekerja dalam diam, tapi hasil kerjanya sangat manfaat.

Dr. Alisjahbana memiliki komitmen tinggi terhadap keselamatan dan kesehatan anak, khususnya anak-anak yang menghadapi masalah perkembangan kesehatan, maupun kesehatan ibu hamil. 

Kemenkominfo Menggelar Nobar Webinar "Mengenal Literasi Digital Sejak Dini"

Peran dan kontribusi aktif inilah yang mengantarkan Dr. Alisjahbana menjadi salah satu sosok WomenChangeMakers, penerima Ashoka Award, yaitu sebuah penghargaan yang diberikan melalui seleksi ketat kepada mereka yang dianggap berjasa besar dalam membawa perubahan nyata bagi kehidupan masyarakat.

Buah tangannya yang memudahkan ibu memantau perkembangan anak dengan cara yang lebih mudah diabaikan Depkes, tapi ia tetap bekerja. Hingga akhirnya satu demi satu penghargaan internasional ia dapatkan. Kepedulian Pia Alisjahbana membuatnya mendirikan Yayasan Surya Kanti untuk terus memantau bayi dan anak agar mereka mampu melampaui masa krisis usai dilahirkan. 

Biadab! Israel Eksekusi Anak Palestina Beramai-ramai dari Usia 4-16 Tahun

Tahun ini, Pia Alishahbana menyabet Achmad Bakri Award atas dedikasinya pada kesehatan anak dan ibu. Kepada VIVAnews, Anna menceritakan bagaimana ia akhirnya bergelut dengan dunia anak, termasuk perjuangannya mewujudkan anak Indonesia yang sehat dan ceria. Berikut petikannya:

Anda terpilih sebagai salah satu tokoh yang mendapatkan PAB 2019. Tanggapan Anda?
Ya, saya sebenarnya tidak terpikir sama sekali ya kalau saya bisa mendapatkan penghargaan ini, tentunya saya sangat mengapresiasi penghargaan yang diberikan oleh Achmad Bakrie Award kepada saya ini.

Karena pengalaman atau keinginan yang saya lakukan itu sama sekali saya tidak mengira akan mendapatkan penghargaan seperti ini. Saya mengira Bakrie Award itu hanya lebih ke teknis, tetapi ini kan lebih ke sosial ya. 

Saya memulainya ketika menjadi dokter anak, sejak dulu saya memang tertarik untuk melihat lebih jauh lagi apa yang terjadi di luar rumah sakit. Bagaimana anak-anak di luar rumah sakit itu bisa survive atau ada yang bermasalah dalam perkembangan pertumbuhannya. Karena ketika saya masih menjadi dokter anak dulu, kondisinya tidak seperti sekarang ini. Dulu itu mungkin hanya sekitar 10 persen dari total populasi bayi yang lahir di rumah sakit, sisanya itu lahir di rumah. Nah, saya melihat lebih jauh ketika itu. Karena bayi yang lahir di rumah memiliki risiko yang cukup tinggi. 

Ketika itu saya coba mempelajari, apa yang terjadi ketika bayi lahir di rumah. Waktu itu saya melakukan penelitian, bidan dan dukun bayi di desa-desa. Itu saya lakukan sekitar tahun 80-an. Karena ketika itu kebanyakan ibu, mungkin 90 persen melahirkan dengan dukun beranak. Ketika saat itu tenaga kesehatan masih sangat minim. Lalu kita membuat pelatihan dukun bersama UNICEF. Kemudian saya membedakan dukun yang dilatih dan tidak dilatih, ternyata tidak ada beda. 

Mengapa demikian?
Di situ saya timbul pertanyaan, apa yang terjadi sebenarnya ini. Karena mereka sudah beberapa tahun dilatih oleh Depkes dan UNICEF. Dari penelitian saya itu ketahuan, metode pelatihan tidak seperti yang diperuntukkan bagi dukun bayi. Tidak praktis. Jadi mereka dilatih selama tiga bulan, sekali dalam seminggu. Tidak ada refreshing, tidak ada supervisi, yang diberikan kepada mereka hanya alat persalinan satu kotak. Tapi itu pun tidak dipakai oleh dukun, karena takut kotor. Jadi akhirnya ditaruh saja sama mereka sebagai sample bahwa mereka sudah dilatih. 

Apa yang kemudian Anda lakukan?
Kita ubah metode pelatihannya. Kita lakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan daya tangkap dia. Buku-bukunya bergambar, dan juga kita agendakan supervisi, refreshing, dan kita lakukan diskusi-diskusi bersama mereka. Nah, ternyata diskusi-diskusi itu penting sekali dilakukan untuk menunjukkan kepada mereka bahwa kita ini sejajar, kita bisa sama tinggi dan sama rendah dengan mereka (dukun beranak), walaupun ketika itu kedudukan kita sudah tinggi sebagai dokter anak. 

Nah, ketika itu saya melakukan penelitian di dua tempat yang saya lakukan kontrol dan intervensi. Dan memang yang intervensi ada dampaknya, tetapi angka kematiannya masih tidak jauh berbeda antara yang diintervensi dengan yang tidak diintervensi. 

Petugas Puskesmas mengukur tinggi badan sebelum memberikan pelayanan kesehatan imunisasi kepada balita di rumah salah satu warga Desa Srawung, Gesi, Sragen, Jawa Tengah

Mengapa hasilnya masih tak jauh beda?
Ternyata rujukannya yang bermasalah. Sistem rujukan oleh Depkes yang bermasalah. Jadi walaupun dukun yang dilatih merujuk pasien, tapi kalau rumah sakit atau puskesmas tidak siap, ya sama saja. Akhirnya bisa menimbulkan ri88siko kematian juga. 

Lalu saya buat penelitian lagi. Penelitiannya itu agar bagaimana sistem bisa diubah. Jadi rujukannya, dan lain sebagainya itu diubah. Dan ketika itu kita melihat ada dua kemungkinan yang bisa dilakukan, pertama apakah kita mendekatkan services atau pemerintah dengan dukun. Atau yang kedua, ibu yang kita dekatkan ke services (pemerintah), karena pertimbangan faktor geografis, dan sebagainya. 

Kita melakukan sosialisasi program itu dengan membuat alat-alat bantu yang tepat guna. Misalnya kita buatkan alat timbangan yang berwarna, karena mereka tidak bisa membaca kan, tapi kalau warna itu misalnya merah itu artinya harus dirujuk, kuning itu artinya harus diperhatikan, kalau warna hijau itu artinya baik/safety. Nah, akhirnya alat timbangan berwarna itu dipakai oleh masyarakat dan dukun-dukun di pedesaan.

Itu untuk bayi yang baru lahir. Bagaimana memastikan bayi-bayi itu tetap bertahan? Apakah mereka tetap sehat?
Nah, untuk memantau itu saya kemudian mendirikan satu yayasan, yaitu Yayasan Surya Kanti. Ini adalah yayasan untuk pengembangan potensi anak, yayasan itu lah yang kemudian membuat Deteksi Dini Tumbuh Kembang (DDTK). Yayasan ini lebih ke arah preventif. 

Ketika itu saya bekerja sama dengan Jerman, yang punya program bagus terkait isu orangtua, bayi, dan tumbuh kembang anak itu. Tapi saya pikir, kalau cara ini saya sampaikan pada ibu-ibu di desa, saya mesti terjemahkan kepada mereka dengan cara yang mudah dicerna atau ditangkap oleh mereka. Kembali lagi masalahnya ke jangkauan teknologi. Dari situ lah kami membuat Deteksi Dini Tumbuh Kembang (DDTK) anak. 

Apa sebenarnya DDTK itu?
DDTK itu saya buat seperti dalam bentuk poster bergambar. Di poster itu menjelaskan tentang perkembangan bayi dari segi usia. Dan perkembangannya itu dibagi  dalam perkembangan motorik kasar, motorik halus, kemudian bicara, kemudian persepsi, dan sosial. Nah itu per umur dan itu bergambar. 

Kenapa konsepnya harus bergambar?
Karena waktu saya mulai dengan program ini, ternyata banyak sekali ibu-ibu yang datang ke tempat saya untuk meminta diperiksa anaknya. Apakah anaknya memiliki perkembangan tubuh yang lambat, atau memiliki kelainan, lalu lama-lama saya kewalahan dengan ibu-ibu itu karena semakin banyak yang ingin tahu. lalu saya berpikir, bagaimana caranya agar ibu-ibu itu sendiri yang melakukannya (memantau tumbuh kembang anak), jadi saya melibatkan mereka untuk melakukan pemantauan terhadap pertumbuhan anak-anak mereka sendiri. Maka dari situlah saya buat DDTK itu (Deteksi Dini Tumbuh Kembang anak) dengan konsep poster bergambar yang menjelaskan perkembangan per-usia itu. Dari poster itu kemudian banyak ibu-ibu yang tertarik dengan memantau perkembangan anaknya sendiri. Karena poster dengan gambar itu memudahkan mereka untuk memahami perkembangan tumbuh kembang anak-anaknya secara mandiri. 

Dan dari situ ternyata ini dapat meningkatkan grafik perkembangan anak secara nasional juga. Karena dari situlah mereka bisa mendeteksi sendiri gangguan perkembangan pada anak sejak awal. Jadi dia bisa cek sendiri, misalnya kalau anak di usia 4 bulan - 6 bulan itu apakah anak itu bisa melakukan ini atau tidak (sesuai gambar). Kalau anak ternyata belum bisa melakukan itu, maka perkembangan anak itu bisa dikatakan terlambat. Jadi poster DDTK itu memang sengaja dibuat untuk memudahkan ibu-ibu di pedesaan untuk memahami perkembangan anak-anak di usia dini. Karena di situ ada gambarnya, ada penjelasannya dari usia ke usia. Misalnya umur 8 bulan itu sudah bisa memainkan motorik kasar, apakah sudah bisa melakukan ini itu dari aspek pertumbuhan anak-anak pada usia balita.

Sampai hari ini, buku itu masih digunakan?
Ya. Sampai saat ini ini masih jadi rujukan. Dan ini juga pernah mendapatkan penghargaan dari luar negeri untuk ini.

Bagaimana dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Benarkah Kemenkes tak pernah merespons ini? sementara selain PAB Anda juga pernah mendapatkan beberapa penghargaan dari luar negeri terkait dengan ini?
Ya. Justru tidak ada (dukungan dari Kemenkes), justru mereka tidak mengapresiasi. Justru yang mengapresiasi malah Penghargaan Ahmad Bakrie ini. Dan beberapa lembaga dari luar negeri.

Apa yang membuat Kemenkes tidak men-support atau tidak mengapresiasi DDTK ini?
Saya sebetulnya tidak tahu alasannya ya.Tapi saya rasa dari pengalaman saya itu Depkes itu kurang menghargai produk-produk yang dihasilkan oleh bangsa sendiri. Saya juga tidak tahu alasannya ya. Tapi ini salah satu produk kami yang dapat digunakan untuk ibu-ibu agar dapat menjawab permasalahan penting, yaitu apa yang terjadi, apa yang harus dilakukan kepada anak-anak yang baru lahir agar dia bisa terus hidup dan berkembang dengan sehat, bagaimana kualitas anak itu, baik apa tidak. 

Pelayanan kesehatan kepada masyarakat di loket Puskesmas Manyaran

Dan ada satu lagi yang terpenting sebenarnya, yaitu bagaimana kita bisa meningkatkan fasilitas tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan itu termasuk dukun, bidan-bidan desa, nah untuk itu kami membuat alat-alat itu. Alat itu juga (membantu meningkatkan fasilitas tenaga kesehatan). Misalnya itu tadi kita buat alat timbangan bayi. Timbangan itu sederhana sekali kan, dan itu dipakai oleh dukun di pedesaan, dan akhirnya juga dipakai oleh bidan-bidan di pedesaan, karena itu sangat membantu sekali buat mereka.

Timbangan yang dimaksud itu timbangan yang seperti apa? Timbangan gantung atau digital?
Timbangan gantung, karena ketika itu kan saya mulai lakukan penelitian itu sekitar tahun 80-an. Ketika itu kelahiran banyak yang ditangani oleh dukun. 80 persen lebih kelahiran di desa masih menggunakan dukun. Sedangkan kelahiran oleh dukun ketika itu bisa dikatakan masih banyak risikonya. 

Nah, itu problem yang terjadi di masa-masa itu. Dukun itu menjadi alternatif yang harus dipilih oleh ibu-ibu di pedesaan untuk melahirkan. Karena tak ada orang lain lagi. Bidan juga tidak sebanyak sekarang. Maka ketika itu dukun juga kita berdayakan, kira berikan pendampingan. Kita berikan alat-alat untuk menangani pasien, dan kita latih. Jadi ketika itu timbangan nya adalah timbangan gantung yang seperti pegas, untuk menimbang bayi yang baru lahir, jadi kalau bayi yang beratnya itu kurang dari 2.5 Kilo itu berarti jarumnya mengarah ke warna merah itu artinya hati-hati. Karena bayi yang baru lahir itu kan normalnya paling tidak 2.5 kilogram. Jadi ada warna kuning, warna hijau.Timbangan itu untuk membantu dukun-dukun dan bidan di pedesaan ketika itu. Dan itu saya lakukan sejak 80-an sampai 90-an.

Itu kemudian yang saya jadikan tesis saya. Di mana saya melatih dukun-dukun dengan metode-metode yang tepat guna ketika, termasuk booklet bergambar, alat ukurnya bergambar. Jadi betul-betul dukun itu dilatih.

Itu sejak kapan Anda lakukan?
Ketika itu saya masih staf pengajar di Unpad Bandung.  Nah dari situ lah kemudian saya dijadikan konsultan oleh WHO untuk bayi baru lahir. 

Tapi ada masalah yang lain, ada kasus anak yang baru melahirkan ketika itu tidak segera menangis, dan ketika itu tidak ada alat bantuan untuk di desa. Kasus itu seperti gangguan pada pernapasan. Jadi kami pernah membuat alat tepat guna juga waktu itu, begitu anak sudah mulai menangis, alat itu kita lepas. Jadi alat itu namanya resisetasi supaya anak itu bisa menangis. saya ajarkan itu pada dukun, dan dukun bisa melakukan, tapi dilarang sama Depkes. Jadi akhirnya dipakailah oleh bidan desa.

Dan ketika itu alat itu akhirnya di tes di Seattle yang khusus untu mengetes alat-alat medical, dan itu di-approve. Setelah di-approve akhirnya Depkes menerima. Jadi alat itu digunakan oleh Bidan Desa waktu itu. Tadinya kan saya membuat alat itu agar dapat digunakan oleh dukun, tapi pada akhirnya alat itu dipakai oleh bidan desa. 

Nama alat itu apa?
Alat resusitas, Musk and Cup. Alatnya sangat sederhana sekali, kalau misalnya ada kasus bayi baru lahir. Ada risiko bayi kekurangan oksigen, karena paru-parunya tidak berkembang dan menyebabkan bayi tidak segera menangis. Itu kan harus segera dibantu 5-10 menit pertama. Jadi tidak bisa dibawa ke rumah sakit, karena harus dilakukan tindakan cepat. Dalam kasus seperti itu bayi memerlukan pressure, dengan alat atau metode ditiup itu lah paru paru bayi bisa berkembang.

Tahun berapa Anda ciptakan alat itu?
Itu tahun 90-an, sekitar tahun 95 waktu itu.

Itu alat hasil dari penelitian sendiri?
Tidak, dengan WHO colaboration center waktu itu. Jadi gini, waktu saya bekerja bersama dukun-dukun di pedesaan, saya mendapat perhatian dari WHO Geneva. Sehingga waktu itu saya diangkat sebagai Principal Investigated. Sebetulnya Ketua dari WHO Colaboration Center untuk masalah bayi baru lahir. Nah, 10 tahun saya diangkat sebagai Ketua itu, jadi setiap ada penelitian dari WHO saya pasti dilibatkan, dan center itu satu-satunya lembaga se-Asia Pasifik.

Jadi di seluruh dunia ini hanya ada 5 Center WHO Collaborating khusus bayi baru lahir ini, salah satunya adalah yang saya pegang saat itu. Itu sejak 1993-2003 saya jadi ketua WHO Collaborating center itu. 

Nah, dari posisi itulah saya mendapatkan kesempatan meneliti banyak hal. Karena dari posisi itu saya mendapat kepercayaan dari institusi internasional yang membantu lainnya, seperti Ford Foundation, UNICEF, dan sebagainya. Jadi kalau saya ada penelitian tentu lebih mudah lah yaa.. 

Jadi apa saja yang sudah Anda ciptakan?
Setelah saya membuat penelitian yang saya jadikan tesis saya itu, saya ciptakan alat musk and cup itu. Kemudian pada akhirnya alat itu diapprove oleh Seattle WHO. Jadi Seattle itu satu institusi namanya Program for Approved Technologi, jadi dia yang menguji alat-alat medis apakah alat itu dapat digunakan atau tidak secara medis, dan itu approve. Akhirnya alat itu sempat dipakai oleh Depkes, tapi hanya beberapa tahun saja. Karena mereka berpendapat kalau resisetasi itu harus dengan oksigen. Maka kebijakannya berubah, sehingga resisitasi dengan tambahan oksigen. Akhirnya alat itu tidak lagi dianjurkan.

Kenapa alat itu jadi tidak boleh digunakan lagi?
Saya tidak tahu ya. Dengan alasan bahwa resisitasi harus ditambah oksigen itu maka alat yang lama tidak bisa digunakan lagi, jadi harus ada alat baru kan untuk menangani bayi yang lahir tidak menangis itu kan.

Sejak kapan kebijakan alat itu dihentikan?
Itu sekitar 2003-2004.

Kabarnya Anda juga mengurusi kaum-kaum difabel?
Ya. Yang saya lakukan dengan  masalah cacat. Kecacatan itu kan salah satu konsekuensi dari kelahiran. Karena kami kewalahan menangani ibu-ibu yang datang minta penjelasan, minta dibantu oleh kami, akhirnya kami memutuskan untuk membuat alat DDTK, dan ternyata alat itu tidak mendeteksi cacat. Tetapi mendeteksi anak yang memiliki perkembangannya lambat. Karena alat yang memiliki perkembangan lambat itu merupakan proxy atau memiliki potensi yang cukup tinggi untuk cacat atau gangguan perkembangan anak. 

Memang seperti apa benda tersebut?
Nah, prinsipnya adalah bagaimana ibu-ibu itu bisa melakukan stimulasi di rumah pada anaknya sendiri. Jadi kalau tidak berhasil dia harus dirujuk ke sistem infrastruktur kesehatan. Tapi masalahnya adalah sistem ini yang tidak jalan. Tapi kalau sekarang kan, bisa dikatakan pemerintah lebih aware lah terkait dengan sistem tumbuh kembang anak.

Meski demikian, Yayasan Surya Kanti ini tetap ada dan konsen dengan masalah ibu dan bayi yang baru lahir. Karena saya basicnya adalah dokter anak, dan kebetulan saya dulu itu yang mendevelope NICU di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Itu tahun 73. NICU itu khusus untuk menangani ibu dan bayi yang baru lahir. Karena itu saya sampai sekarang tetap konsen. Karena saya melihat bayi yang selamat dari proses kelahiran ternyata masih ada masalah baru yaitu perkembangan anak pasca-dilahirkan itu. Potensi cacat atau perkembangan yang terlambat, dan lain lain. Dari situlah saya membuat yayasan Surya Kanti yang konsen untuk mencegah kecacatan pada anak itu. 

Kenapa fokus Anda pada anak usia 0-5 tahun? 
Sebetulnya fokus intinya ada pada 0-3 tahun. Itu ada kaitannya dengan perkembangan otak anak. Otak itu mulai dari kehamilan, praktis sampai dia tiga tahun itu, dia berkembang pesat sekali. Sehingga umur tiga tahun, otak anak sudah 80 persen dari lingkar otak dewasa. Nah, otak yang terus berkembang itu kalau distimulasi dampaknya akan lebih besar. Tapi kalau sudah tua, manifest bentuknya, itu lebih sulit untuk berkembang. Itu lah yang disebut the Golden Age, masa usia anak antara 0-3 tahun. Kalau sekarang disebutnya 1000 hari pertama. 

Ada juga beberapa referensi yang mengatakan masa-masa keemasan itu ada sampai 5 tahun. Jadi kalau saya katakan usia di atas 5 tahun itu sudah agak terlambat. Memang kita bisa stimulasi anak itu, tetapi dampak stimulasi anak di bawah usia tiga tahun itu jauh lebih baik dibandingkan kita stimulasi di atas 5 tahun. Karena itu DDTK ini kita peruntukan bagi anak usia 0-5 tahun, the earlier the better, karena efeknya itu. 

Kita tahu kecacatan itu tidak bisa dicegah, tetapi paling tidak upaya preventif bisa kita lakukan. Kita sebut itu primary prevention. Tapi kalau dia sudah jadi, kita bisa cegah dengan second prevention, artinya kita bisa meringankan atau mencegah agar tidak berkelanjutan. Itulah mengapa fokus kita itu lebih kepada prevention. Upaya menyelamatkan bayi Indonesia akan jamin masa depan bangsa.

Petugas Kesehatan Puskesmas Muara Dua melakukan pemeriksaan stunting anak meliputi status gizi, berat badan dan tinggi badan di Desa Meunasah Alue, Lhokseumawe, Aceh

Bagaimana Anda melihat angka kematian anak dan ibu yang melahirkan saat ini?
Sebenarnya angka kematian pada saat melahirkan itu saya melihatnya sejak tahun 70an itu sudah sangat tinggi. Tetapi saya lebih fokus pada bayinya, kematian di dalam perut, sampai kematian satu bulan setelah lahir, itu fokus saya.

Jadi memang angka kematian bayi dan ibu yang melahirkan sejak dulu sudah tinggi?
Dulu itu tinggi sekali, yang saya laporkan di tahun 70an adalah angka kematian bayi mencapai 100 kematian dari setiap 1000 kelahiran. Jadi dari 1000 yang melahirkan, 100 bayi meninggal dunia. Nah, di tahun 2000 itu menurun jauh, jadi 47 bayi yang meninggal dunia dari 1000 kelahiran. Artinya tiap 20 kelahiran, satu bayi meninggal dunia. 

Waktu saya pegang NICU, saya itu berfikir, apa yang sudah saya lakukan untuk menyelamatkan bayi ini? Apakah bayi yang lahir itu bisa survive atau tidak? Itu selalu yang ada di pikiran saya.

Nah, karena kebetulan saya itu peneliti di WHO, saya mengambil kesempatan untuk keliling dunia. Mencari tahu bagaimana agar kita bisa melakukan after care atau cara menyelamatkan bayi setelah melahirkan, atau early detection untuk mencegah cacat pada bayi setelah lahir. Dan masalah di kita adalah, banyak ibu-ibu di desa-desa tidak mengetahui atau memahami tentang early detection itu. Dari situlah saya membuat early detection,  DDTK itu. Untuk melatih ibu-ibu, melatih dukun-dukun di desa-desa, melatih bidan-bidan dengan early detection yang kita buat DDTK itu.

Siapa yang melanjutkan perjuangan Anda?
Sampai sekarang belum ada yang membuat DDTK itu. Yang ada SIDTK (Stimulasi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak) yang dibuat oleh Kemenkes, tapi itu pun masyarakat di pedesaan itu masih kesulitan memahaminya. 

Jadi itu agak lucu, DDTK tidak diakui, kemudian Kemenkes membuat yang baru, SIDTK itu. Tapi itu tadi masalahnya, di desa itu kesulitan membacanya. Sehingga waktu kita melatih 13000 bidan, mereka lebih memilih DDTK. 

Apa yang membedakan, apakah tools nya berbeda?
Ya, tools-nya memang berbeda, dan DDTK mungkin lebih mudah dipakai dan dipahami yaa.

Apa SIDTK tidak menggunakan konsep gambar ?
Tidak, jadi SIDTK itu konsepnya lebih banyak tulisan, jadi agak sulit dipahami oleh ibu-ibu di pedesaan yang buta huruf, dan sebagainya.

Bagaimana upaya Anda membangun komunikasi dengan Depkes atau Kemenkes?
Kalau dulu masih sering komunikasi yaa. Kalau sekarang sudah tidak intens. Tapi so far tidak ada masalah lah yaa, karena intinya bagaimana kita bisa bersama-sama meningkatkan kualitas tumbuh kembang anak. Jadi kualitas anak adalah yang utama. 

Mungkin Kementerian kesehatan lebih fokus pada bagaimana mengurangi angka kematian pada ibu dan anak ya. Jadi bukan pada bagaimana menciptakan kualitas tumbuh atau perkembangan anak. Saya berharap pemerintahan Jokowi yang saat ini dalam visinya selalu berbicara bagaimana membangun SDM berkualitas itu bisa diwujudkan sejak anak diusia emas itu, yaitu dari usia 0-3 tahun.

Sebagai dokter anak berpendapat demikian, kalau kita mau meningkatkan SDM itu kita harus start from zero. Karena di situlah efek untuk stimulasi paling baik, di 1000 hari pertama itu.

Jadi di 1000 hari pertama itu treatment apa yang paling dibutuhkan?
Ya, bukan treatment sih, tapi lebih pada intervensi ya. Baik untuk anak yang lahir dalam kondisi baik, maupun anak yang lahir berisiko tinggi.

Menurut Anda seberapa penting itu harus dilakukan?
Itu suatu keharusan yang selalu harus dilakukan oleh tiap ibu. Dan itu menurut saya dapat memberdayakan ibu juga. Itu adalah konsep mengasuh anak yang baik, dan ini juga kita masukan ke dalam konsep pendidikan keluarga.

Apa harapan anda kepada pemerintah ke depan?
 Intinya gini, kalau semua ibu di Indonesia ini bisa melakukan ini, itu kan create demand, pemerintah harus merespons create demand ini. Tapi jujur, sampai sekarang respons yang dilakukan oleh pemerintah masih belum yang kita harapkan. Dan pemerintah juga mesti melibatkan perguruan tinggi untuk melakukan ini, supaya infrastruktur disability ini jalan, perlu pengawasan dari bawah ke atas. 

Nah, ini yang belum ya. Karena yang saya lihat, dokter-dokter dan bidan di level Puskesmas itu mereka lebih kepada teori yaa, belum sampai pada level mempraktikkan bagaimana mengajak atau meningkatkan kesadaran ibu-ibu di pedesaan itu sadar dengan controling terhadap tumbuh kembang anak itu. 

Kendala di bawah itu, pertama di sistem rujukan. Kalau dokter di level puskesmas menemukan rujukan, nah rujukan ini harus di bawa ke mana? Apakah harus dirujuk pada level 1 itu Puskesmas tingkat kecamatan, atau level 2 rumah sakit tingkat provinsi, atau level 3 rumah sakit pendidikan. Sebenarnya puskesmas itu cukup mengonfirmasi kalau intervensi tumbuh kembang anak itu dilakukan oleh ibu-ibu di rumah. Mengonfirmasi benar gak intervensi sudah dilakukan oleh ibu, kedua perlu gak dirujuk. Sebenarnya itu saja yang harus dilakukan, kalau saya melihat sistem rujukannya yang masih belum siap. Dan itu dibutuhkan kebijakan oleh pemerintah untuk mendukung itu semua.

Harapan saya hanya itu saja, bagaimana quality of life pada anak-anak kita. Sekarang ini jumlah anak yang mati di usia dini semakin lama sudah semakin sedikit, sedangkan yang survive semakin lama semakin banyak, tapi bagaimana kualitas anak-anak yang survive ini. Ya program pemerintah itu harus benar-benar sampai pada sasaran, apalagi di daerah terpencil itu. Pemerintah harus fokus atau konsen bagaimana meningkatkan kualitas SDM pada anak sejak usia dini, itu yang harus dilakukan. 

Ada yang ingin Anda sampaikan untuk publik dan pemerintah?
Kita tidak bisa menunggu dari pemerintah, karena terlalu banyak birokrasi, terlalu banyak masalah antar sektor yang ada, jadi harapan saya itu, kalau kita bisa memberdayakan perempuan atau ibu, dari keluarga lah yaa, jadi gerakannya itu bisa dilakukan dari bawah dan dari atas. Mungkin dengan begitu hasilnya akan lebih baik, bagaimana SDM itu berkualitas, harus diperhatikan sejak usia dini.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya