Pengamat Media Sosial Enda Nasution

Buzzer Dicari karena Ada yang Butuh

Enda Nasution
Sumber :
  • Twitter

VIVA – Pesatnya kemajuan teknologi membuat publik kini mengenal profesi baru. Media sosial yang selama beberapa tahun terakhir menjadi pengganti komunikasi tatap muka ikut mencuatkan pilihan profesi baru, buzzer (pendengung) dan influencer (pemberi pengaruh). Dua profesi baru yang kini mulai dikenal publik, selain profesi baru sebagai Youtuber, blogger, vlogger.

Segera Hadir Fitur Baru untuk Pengguna Mobil Listrik

Buzzer dan influencer adalah dua profesi yang semakin sering dibincangkan karena aktivitas mereka di media sosial yang bertujuan mempengaruhi persepsi publik terhadap sebuah persoalan. Melalui tulisan-tulisan mereka, buzzer dan influencer berusaha memenangkan persaingan. Jasa mereka semakin mencuat dalam kontestasi politik era digital. Publik tak semua melek digital dan memiliki literasi yang cukup, sehingga buat mereka buzzer dan influencer sama saja. Bahkan tak sedikit yang memandangnya dengan negatif.

Seorang ekstraordinari blogger, Enda Nasution, dengan tegas membedakan antara buzzer dan influencer. Alumni Institut Teknologi Bandung ini memiliki kriteria untuk membedakan mana buzzer dan mana influencer. Ketika berbincang dengan VIVAnews, Enda mengaku telah memanfaatkan era berkomunikasi dengan media sosial sejak tahun 2004, sejak masih zaman mailing list. Ketika teknologi semakin mencuat dan media sosial semakin beragam, nama Enda menjadi nama yang disebut sebagai pelopor media sosial.

HUT Ke-61, Taspen Tegaskan Komitmen Genjot Kesejahteraan Masyarakat

Laki-laki kelahiran 29 Juli 1975 ini, melalui personal blognya menulis dirinya sebagai seorang Startup Founder, Digital Believer, Lifelong Learner, Soul Noisiest Passenger. "Originally from Bandung, Indonesia now spend most of his time in Jakarta," demikian tertulis tentang Enda.

Kepada VIVAnews, Enda bicara banyak hal. Mulai dari perbedaan tegas antara buzzer dan influencer, bagaimana peran kedua profesi ini dalam kontestasi politik semacam pilpres, pileg, dan pilkada. Berapa dana yang mengucur pada influencer dan buzzer yang terlibat, hingga bagaimana mereka mampu tetap eksis. Berikut petikan wawancaranya:

Presiden Uni Emirat Arab Tinjau Infrastruktur Setelah Banjir di Dubai

Belakangan ini publik banyak diramaikan dengan istilah buzzer politik. Bagaimana anda menanggapinya?
Kalau menurut saya harus diperjelas dulu penggunaan kata buzzer, karena sekarang ini seolah-olah semua yang mempromosikan sebuah informasi atau orang yang menyebarkan informasi ke suatu ke pihak lain via medsos itu disebut sebagai buzzer. Kalau menurut saya buzzer adalah orang yang mempromosikan suatu informasi dengan menggunakan akun-akun yang identitasnya tidak jelas.

Penggunaan akun yang tidak jelas untuk menyebarkan informasi, berdampak tidak ada konsekuensi terhadap apa yang mereka sebar. Dan tidak ada tanggung jawab juga untuk menyebarkan informasi yang tidak benar. Makanya kemudian banyak informasi yang tidak benar atau hoaks disebarkan lewat buzzer-buzzer ini. Jadi, kebanyakan buzzer digunakan untuk menyebarkan informasi yang mungkin kebenarannya bisa dipertanyakan. 

Kalau identitasnya jelas, dia bukan buzzer?
Orang yang menggunakan akun dengan identitas jelas, pertama, kemungkinan besar dia tidak akan menyebarkan informasi yang sifatnya terus-terusan urusan politik tertentu saja, tapi kan ada urusan pribadinya juga yang ditulisnya di akun-akun mereka sendiri.  Kedua, data yang namanya jelas itu pasti mereka tidak akan seenaknya juga menulis status atau menyebarkan informasi satu pihak. Karena tentu ada konsekuensi balik terhadap dirinya, apakah konsekuensi hukum atau konsekuensi sosial. 

Jadi Anda membedakan menjadi dua kategori?
Iya. Pertama buzzer, yaitu mereka yang menggunakan akun-akun tidak jelas identitasnya. Kedua, influencer atau endorser. Mereka memperlihatkan jelas identitasnya. Karena mereka mempertaruhkan reputasi mereka ketika menyebarkan suatu informasi.

Apa yang membuat istilah buzzer jadi bertendensi negatif?
Nah, kenapa kemudian agak merusak efeknya itu karena buzzer-buzzer ini tidak ada konsekuensi terhadap dirinya. Lalu kemudian dia menyebarkan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan hanya untuk memenangkan pertarungan medan perang opini di media sosial. Dan itu biasanya motifnya kebanyakan motif ekonom. Ada yang dibayar, ada juga motif ideologis mungkin. Ada juga motifnya karena preferensi pilihan politik pribadi. Artinya, ada juga yang sukarela. Tapi ketika dia dalam posisi tidak jelas identitasnya, maka tingkat tanggung jawabnya jadi rendah. Sehingga dia bisa seenaknya mem-posting informasi yang bisa jadi malah membikin bingung masyarakat, bahkan memecah belah atau memprovokasi. 

Fenomena buzzer ini sebenarnya suatu yang baru atau sudah lama ada ?
Sebenarnya kalau dilihat dari metodenya sih dulu itu pun ada yang namanya konsultan komunikasi, gitu. Cuma kalau dulu yang bisa memproduksi informasi itu kelompok tertentu, terutama teman-teman jurnalis dan media. Sehingga bagaimana pun juga informasi yang sampai ke publik itu bisa dipertanggungjawabkan. Kalau jurnalis kan jelas, ada ketentuan kode etiknya, ada peraturan yang diatur. Kalau dulu bahkan bisa dihukum bredel dan sebagainya. Nah, konsekuensi munculnya ruang-ruang publik di era digital ini, maka kemudian siapa pun bisa menyebarkan informasi, kan gitu.

Jadi, kalau ditanya apakah ini baru atau sudah dari dulu, sebenarnya jawabannya adalah makin ke sini makin bermunculan, karena kebutuhannya semakin muncul. Bagaimana kita bisa memenangkan pertarungan atau perang opini di ruang-ruang publik digital. Karena kalau lewat media mainstream atau media konvensional, maka tentunya harus disertai dengan bukti, fakta yang jelas.

Kan tidak bisa tiba-tiba media posting apa saja, salah. Kalaupun salah juga kan seharusnya juga harus dikoreksi, dan ada proses check and recheck dan berlapis untuk sampai pengecekannya itu. Bahkan, kalau di media sosial itu bisa sengaja dibuat salah, sengaja dilakukan untuk memprovokasi, atau memancing lawannya emosi, dan sebagainya. Jadi memang ini bisa dibilang fenomena baru yang berkenaan untuk mengisi ruang-ruang publik digital sebenarnya.

Semakin ke sini, buzzer semakin berkembang ya?
Kalau kita lihat ke belakang, tentu dengan kita lihat jumlah ruang publik digital ditambah dengan jumlah pengguna teknologi digital, khususnya internet dan sosial media di Indonesia. Saya pertama kali bikin blog tentang pemilu itu di tahun 2004, saat itu terjadi banyak diskusi di milis-milis (mailinglist). Belum ada WhatsApp group, belum ada Twitter, belum ramai Facebook kan. Ketika itu mungkin partai politik tidak ada yang melirik, pemerintah juga tidak ada yang melirik, incumbent juga tidak ada yang melirik, belum ada yang melihat atau yang melirik media internet pada saat itu. 

Sejak kapan buzzer itu ada di Indonesia?
Mungkin sekitar tahun 2009. Saat itu sudah mulai ada partai dan kandidat yang mencoba mengisi ruang digital, Facebook waktu itu sudah mulai digunakan. Ada partai yang menggunakan, ada kandidat yang menggunakan, tapi juga masih minim, belum dianggap punya pengaruh besar utk bisa mempengaruhi opini publik dan lain sebagainya.

Tahun 2014, pertama kali Jokowi menang di pilpres pada saat itu, sudah mulai terasa. Bagaimana dukungan publik lewat media sosial ternyata bisa mempengaruhi opini publik, bahkan ke mereka yang tidak menggunakan teknologi digital. Jadi seolah-olah ada kemenangan moral di media sosial dan kemudian membuat Jokowi jadi presiden pada saat itu. 

Kapan mulai booming?
Nah, di 2014-2019 ini terjadi akselerasi yang cepat, karena banyak kasus yang terjadi. Ada Pilkada DKI yang dimulai di tahun 2016, yang menyebabkan polarisasi di masyarakat, dan itu peran medsos sudah mulai terasa sejak tahun 2014. Jadi sudah mulai pecah lah di situ. Mulai ada fenomena unfrend, lalu kemudian ada yang berantem di WhatsApp group, dan sebagainya, itu sudah mulai terasa. 

Di tahun 2018 juga ada pilkada di beberapa daerah juga sama terjadi pertarungan sengit di ruang digital. Nah, puncaknya ini terjadi kemarin di 2019, masing-masing pihak sudah punya persiapan untuk menyiapkan pasukan sendiri, dengan berbagai macam strategi tentunya. Ada yang menggunakan strategi dengan menggunakan identitas yang tidak jelas, ada yang mengumpulkan relawan, ada yang mengumpulkan endorser-endorser, dan termasuk juga mengumpulkan tenaga-tenaga buzzer lainnya.

Bagaimana cara kerja buzzer? Benarkah terstruktur, sistematis dan masif, termasuk ada pembagian tugas?
Saya hanya menebak saja ya. Kalau menebak dari luar, ada beberapa kemungkinan. Pertama ada kemungkinan pasukan-pasukan ini berdiri independen. Jadi tim-tim ini berdiri independen, tanpa mereka yang membutuhkan tenaganya. Tapi orang tahu bahwa mereka bekerja di mana, siapa mereka, dan sebagainya. Tapi mereka hanya memberikan arahan dan perintah, kira-kira begitu. Sehingga tim-tim independen ini ikut ke siapa yang mendanai saja, gitu. Dan mereka bisa berubah-ubah, tergantung bohirnya atau pendananya.

Semuanya dibayar? 
Sebagian ada juga yang lewat pasukan yang lebih militan. Bukan hanya karena ada logistiknya atau tidak mereka bekerja, tapi lebih karena terkumpul atau terbina karena kesamaan ideologis atau kesamaan preferensi terhadap kandidat tertentu. Makanya kemarin itu kalau kita lihat perkembangan buzzer, bisa dikatakan cukup serem juga. Bukan hanya tim sukses yang punya pasukan digital, tapi kemarin kita lihat juga beberapa kali sisi lain yang mengangkat isu khilafah, HTI, dan mereka melakukan aksi yang sangat masif di media sosial. Mungkin mereka bisa dikatakan lebih militan, motivasi mereka mungkin bukan karena dibayar, tetapi karena ada kesamaan misi ideologis di situ. 

Karena kita tahu, setiap kali aksi pasti ada reaksi. Nah dari situ masing-masing pasukan menganalisa, dan akhirnya muncul dan makin banyak lagi pasukan-pasukan digital yang mempersiapkan diri untuk melakukan perang opini di media sosial.

Biasanya platform apa saja yang mereka gunakan?
Sebenarnya sih hampir semua platform. Cuma kan memang masing-masing platform berbeda ya. Kalau Facebook lebih ke media personal, walaupun ada ruang publiknya juga seperti grup-grup Facebook ataupun fanpage. Tapi biasaya orang mem-posting di FB itu kan bukan selalu sesuatu yang real time, kadang-kadang setelah event baru kita posting ke FB. 

Instagram bisa dikatakan platform yang narsis, itu platform lebih ingin menunjukkan, "lihat saya nih." Walaupun ada juga akun-akun yang lebih menyuarakan isu politik, isu sosial, ada juga. Tapi sebenarnya yang memang jadi ajang perang itu ya di Twitter. Karena Twitter itu platform untuk orang mencari dan menemukan apa nih yang sedang ramai sekarang. Di lain sisi memang sistem anonimitas di Twitter juga lebih mudah. Jadi orang lebih gampang membuat akun-akun tambahan tanpa identitas yang jelas seperti yang saya bilang tadi. 

Satu lagi yang dapat dikatakan gelap dan tidak terlacak itu sebenarnya di WhatsApp group, atau di chat group. Bisa juga di line, chattime, telegram. Tapi memang chat yang satu dengan chat yang lainnya ini mudah loncat, karena chattingan di WhatsApp di screenshoot baru kemudian di-posting ke Twitter atau Facebook. Begitu juga sebuah twit di Twitter di-capture kemudian di-share seseorang ke WhatsApp. 

Jadi kalau ditanya platform mana saja yang digunakan, bisa dibilang masing-masing platform itu punya strategi khusus, tapi mungkin yang utamanya kalau ingin perang opini, di Twitter dulu, nanti baru disusul di platform-platform lain.

Biasanya siapa saja yang menggunakan jasa buzzer?
Yang biasa menggunakan jasa buzzer, yang pasti sih, tentunya mereka yang ingin memenangkan sebuah opini, atau kandidat dalam konteks pilkada atau pilpres. Tapi kan masing-masing punya strategi atau punya pendapat sendiri-sendiri. Ada juga yang mengatakan tidak penting itu buzzer-buzzer, yang penting itu adalah di lapangan. 

Secara umum sebenarnya ada kelompok-kelompok yang memang mungkin membentuk grup sendiri lebih untuk sebagai tempat-tempat diskusi untuk memenuhi ruang-ruang publik. Atau ketika di momen pilpres tentunya dari kedua kelompok yang beradu di pilpres, tapi ketika masuk ke pasca-pilpres menjelang pelantikan ini kan juga kemarin ada berbagai isu yang cukup memecah belah juga. Ada isu Wamena, ada isu demo mahasiswa, isu KPK, jadi kemarin kita udah enggak bisa lihat dengan jelas lagi batasannya bahwa opininya itu ada di arah mana.

Seberapa signifikan peran buzzer ini dalam mempengaruhi opini publik?
Cara berpikirnya sebenarnya begini, kita tidak bisa memastikan apakah ini dapat mengarahkan opini atau tidak. Tapi ada dua sisi kan, bisa jadi kita berusaha untuk membakar, artinya memprovokasi opini publik, di sisi lain buzzer ini juga bisa menetralisir sebuah isu. 

Nah, kalau pertanyaannya adalah bisa efektif atau enggak? Ya kadang-kadang ada yang bisa jalan, kadang-kadang ada yang terprovokasi. Jadi balik lagi, persoalan efektivitas ini bukan hanya buzzernya, tapi juga isunya apa, lalu timing juga berpengaruh. Lalu kemudian sebenarnya kalau saya amati, bukan buzzer saja yang pegang peranan, tapi harus ada juga kejadian di dunia nyatanya, kemudian buzzer ini fungsinya seperti mendramatisasi apa yang terjadi di kejadian nyata. Kalau gerakannya hanya di online saja, maka kemudian impact-nya biasanya tidak terlalu terasa.

Apakah buzzer-buzzer ini bergerak secara profesional dengan tarif tertentu misalnya?
Kalau dimaknai profesiosional mereka dibayar, iya, mereka dibayar. Tapi apakah mereka profesional dalam arti kode etik atau kebenaran informasi, itu beda lagi. Tapi kalau motifnya bayaran, iya, seringkali mereka bayaran. 

Mereka itu biasanya ada konsultannya, ada yang mikirin strateginya, ada yang mikirin teknisnya bagaimana, berapa jumlah pasukannya, dan sebagainya. Makanya tadi saya katakan mereka bergerak tergantung arahan dan logistiknya juga.

Berapa biasanya tarif operasional jasa buzzer itu?
Persisnya sih saya tidak tahu ya. Karena mungkin, bisa jadi tidak bisa disamaratakan juga kan. 

Mencapai ratusan juta?
Tergantung, kalau misalnya katakanlah timnya itu ada 10 orang, dan masing-masing gajinya 6 juta, maka jadi berarti kan operasional untuk gaji pasukan saja sudah 60 juta perbulan. Itu baru biaya orangnya. Kalau mereka dipertahankan, misalnya tiga bulan atau enam bulan, berarti tinggal dikalikan saja berapa kebutuhannya.

Pertimbangan apa yang bikin harga buzzer jadi mahal atau murah?
Jadi balik lagi sih sebenarnya. Skalanya mau sebesar apa? Apakah mau permanen misalnya, orangnya digaji bulanan, ada kantornya. Atau misalnya, ada yang freelance. Masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya, karena itu tergantung ya. Lalu kemudian yang harus dihitung juga tingkat keamanannya seperti apa. Karena kan bisa saja hal yang tidak diinginkan terjadi. Tiba-tiba akun anonimous dibongkar orang. Kan identitasnya memang harus secure, harus aman.

Nah, kayak gitu semua masuk ke dalam pertimbangan soal harga tadi. Makin canggih mungkin, atau menggunakan teknologi apa yang digunakan gitu ya, bukan hanya orang misalnya, dia ada software, dia juga ada hardware, itu pasti tambah mahal lagi.

Apa yang membuat orang tertarik menggunakan buzzer?
Yang tadi saya sebutkan, sebenarnya karena ada kebutuhan. Segala sesuatunya kan tergantung kebutuhan. Saat ini yang terjadi adalah ada ruang publik yang kosong, lalu kemudian pola konsumsi publik yang makin banyak mengonsumsi informasi melalui semua teknologi, seperti media sosial, bahkan melalui WhatsApp group. Sehingga tentu Informasi yang kita terima akan mempengaruhi opini yang kita buat, atau preferensi yang kita miliki apakah kita pro sesuatu atau kontra sesuatu. 

Nah, ketika hal itu disadarikan, maka langkah berikutnya adalah bagaimana kita bisa me-manage itu, bagaimana kita bisa memasukkan bahwa kita mendapatkan dukungan masyarakat, misalnya gitu. Nah tentunya lewat ruang-ruang publik tadi, bagaimana kita masuk ke ruang publik itu, salah satunya lewat buzzer-buzzer itu.

Kalau di luar negeri bagaimana trend buzzernya? Apakah juga berkembang di tahun yang sama?
Iya, kan kemarin ada report Oxford itu. Kalau dari penelitian Oxford itu, bahkan Indonesia masih masuk dalam kategori yang masih belum terlalu heavy menggunakan pasukan digital. Kemarin kan sempat beredar itu hasil penelitian Oxford itu terkait dengan penggunaan pasukan digital dalam rangka negara memanipulasi atau melakukan propaganda kepada publik. 

Nah, yang heavy itu ada beberapa negara. Di Indonesia sekarang masih belum masuk kategori heavy, bahkan belum termasuk yang dianggap berat dalam penggunaan pasukan digitalnya. 

Negara mana saja yang melakukan peran buzzer itu?
Amerika itu melakukan peran buzzer ketika pemilu Trump vs Hillary kemarin. Kemudian kalau dalam penelitian Oxford itu kurang lebih ada 70 negara yang punya pasukan digital atau cyber troops. 

Negara-negara yang heavy dengan cyber troops itu contohnya, China, Mesir, Iran, Israel, Myanmar, Rusia, Saudi Arabia, Serbia, Amerika Serikat, New Delhi, dan Vietnam. Nah, Indonesia ini kita masuknya masih di low capasity. Jadi ada kategori high capacity, medium capacity, low capacity. 

Kalau di luar negeri itu biasanya mereka digunakan untuk kepentingan apa?
Kalau menurut laporan Oxford itu, ada beberapa yang mereka lakukan ya, ada tiga metode kalau tak salah. Pertama, menekan. Menekan itu artinya supaya kemudian informasi itu tidak muncul. Kedua, mendeskreditkan. Jadi kayak inbox card gitu ya. Informasi yang beredar itu dideskreditkan, dibuat tidak valid atau tidak kredibel. Ketiga, itu di grown out atau dibanjiri, sehingga orang tidak engeh terhadap isu itu, dibuat gaduh sehingga orang tidak fokus atau konsentrasi pada isu yang ada.

Berarti mereka itu lebih pada menciptakan opini gitu yaa?
Iya. Sebenarnya mereka dianggap sebagai sebuah media propaganda dari pemerintah ini. Jadi untuk agenda pemerintah. 

Apakah polanya juga sama, menggunakan anonymous?
Iya sama juga, anonim juga, betul. Bahkan bukan hanya anonim ya, dia juga ada bot. Menggunakan akun-akun cloning. Jadi juga ada yang menggunakan human atau orang, ada juga yang melakukan hacking terhadap akun-akun lain, kemudian ada satu lagi yang disebut dengan sideboth, itu seperti ada orang yang memang dia dipersenjatai dengan kemampuan tambahan. Seperti engine begitu. Tapi semuanya menggunakan akun bohong ya.

Sejumlah kalangan mengatakan Jokowi menggunakan Buzzer. Apa benar demikian. Bagaimana anda menanggapi itu?
Kalau Jokowi itu konteksnya mereka ketika kampanye kemarin ya. Ketika pilpres kemarin kan? Jadi perang opini di media gitu lah. Saya rasa mungkin bisa jadi Jokowi-nya sendiri tidak tahu menahu tentang pasukan digitalnya yang berjalan itu, karena ada banyak tim independen tadi. 

Tapi yang kita rasakan kemarin itu kan, yang terjadi bukan hanya pasukan cyber pasangan incumbent atau Jokowi saja. Kandidat yang satunya, yang kontra pemerintah pun juga mempunyai pasukan digital. Jadi mungkin bisa diidentifikasi masing-masing tim dari partai politik. Tim sukses masing-masing kandidat, lalu mungkin ada juga tim lain yang berdiri sendiri. Mungkin kepolisian, atau tentara juga mempunyai tim sendiri juga mereka. 

Siapa yang mengorganisir itu?
Masing-masing. Mungkin ada kordinasi antara tim satu dengan yang lainnya, saya tidak tahu pasti ya. Mungkin juga mereka masing-masing saja secara independen mereka menentukan isu apa yang ingin diangkat, isu apa yang harus diekspos, dan sebagainya. Atau bisa saja mungkin ada yang mengkomandoinya, tapi saya belum tau pasti karena belum terpetakan ya.

Jadi trend buzzer ini wajar?
Iya wajar sih. Karena, seiring dengan perkembangan teknologi media sosial. Di Indonesia kan juga levelnya masih rendah, tapi kalau soal apakah kita jadi ikutan luar negeri, bukan masalah ikut-ikutannya ya saya kira. Tapi memang saat ini dirasa sudah ada kebutuhan, karena pengguna media sosial di Indonesia tambah banyak. Sekarang sudah hampir 60 persen masyarakat Indonesia menggunakan media sosial. Karena itu jumlah orang yang menggunakan media sosial itu berpotensi untuk diyakinkan atau dipengaruhi lewat informasi-informasi di media sosial. Karena sekarang itu publik sebagian besar konsumsi informasinya sudah dari media sosial kan, makanya harus ada yang mengelola informasi yang beredar di media sosial itu.

Apa harapan anda melihat kondisi saat ini dgn banyaknya orang yang membuat pasukan cyber troops? 
Yang pasti cyber troops sendiri pasti akan masih tetap bertahan ketika masyarakatnya masih mau dimanipulasi dengan informasi yang salah, atau informasi yang memprovokasi, atau informasi yang berusaha memancing reaksi emosional kita. Kalau masyarakat pengguna internet atau netizen di Indonesia ini makin cerdas, artinya makin tidak gampang percaya dari informasi yang beredar, maka sebetulnya pengaruh efektivitas buzzer ini juga akan makin turun. 

Apa yang akan menyulitkan kerja buzzer?
Jadi ke depan salah satu cara untuk melawan informasi yang tidak jelas beredar di internet itu adalah meningkatkan kesadaran literasi digital masyarakatnya, dan penguatan literasi digital itu bisa terjadi kalau masyarakatnya rajin untuk mencari informasi yang benar, tidak malas, dan mau belajar. Jadi dengan begitu ketika ada yang mencoba menyebarkan informasi yang memprovokasi seseorang atau kelompok dengan informasi yang belum tentu benar, kemudian kita terima, tapi kita tidak kemudian langsung menyebarkan kepada orang lain.

Sebaliknya, malah kita tanyakan, ini Informasi datang dari mana? Bisa diterima atau tidak? Karena sekarang ini, informasi yang diterima di media sosial itu kan sekarang terbukti bukan hanya memakan korban perasaan saja, tapi juga memakan korban waktu, korban harta, dan memakan korban jiwa juga. Seperti di Wamena, Papua misalnya. Jadi efeknya itu sudah riil sekarang, bahwa hoaks yang beredar di media sosial itu bisa membuat disintegrasi bangsa. 

Artinya lebih banyak dampak negatifnya?
Betul. Jadi balik lagi, di satu sisi penegakan hukum harus tetap berjalan. Polisi, penegak hukum, kalau benar misalkan ketemu nih sama orang atau kelompok yang memang dengan sengaja menyebarkan informasi yang salah, informasi yang tidak benar, ada pasal-pasalnya di UU ITE. Apakah dia masuk dalam kategori menyebarkan kebencian, informasi bohong? Kan ada semua itu, jadi bisa dituntut, karena secara hukum itu salah. Menyebarkan informasi SARA juga ada ketentuan hukumnya, menghina agama juga salah.

Nah, di sisi lain penegakan hukumnya berjalan, masyarakatnya juga harus semakin cerdas, semakin pinter, jangan mau terus-terusan ikut menyebarkan informasi hoaks yang disebarkan oleh buzzer. Kalau imun kita makin kuat melawan serangan hoaks, maka hoaksnya akhirnya enggak mempan, ketika enggak mempan, sudah itu, orang tidak akan memproduksi informasi hoaks lagi. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya