Jangan Pikir Bereskan Sepakbola Indonesia dengan Satu Figur
- Instagram.com/@bungtowel8
VIVA – Komisaris Jenderal Mochamad Iriawan atau beken dengan nama Iwan Bule resmi terpilih menjadi ketua umum PSSI periode 2019-2023. Iwan terpilih melalui Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI di Hotel Shangri-La, Jakarta pada Sabtu, 2 November 2019. Iwan menang telak atas Rahim Soekasah dan Arif Putra Wicaksono. Ia meraup 82 suara dari 85 pemilih.
"Ini bukan kemenangan saya, tapi kemenangan insan sepakbola. Di depan mata sudah ada tugas besar yaitu Piala Dunia U-20 2021,” katanya usai terpilih.
“Kepercayaan dari teman-teman voters dan insan sepakbola semuanya ini yang membuat kami bertekad untuk bekerja maksimal semuanya dengan dukungan mereka," ucapnya optimistis.
Presiden FIFA, Gianni Infantino, langsung menyampaikan selamat atas terpilihnya Iwan Bule. FIFA menaruh harapan besar sepakbola Indonesia akan bangkit dengan terpilihnya Mochamad Iriawan itu.
Hal tersebut disampaikan oleh Infantino dalam sambungan telepon dengan Sekretaris Jenderal PSSI Ratu Tisha Destria seusai KLB PSSI. "Saya mengucapkan selamat dan saya menaruh harapan besar di bawah kepemimpinan Anda, sepakbola Indonesia akan bangkit," ujar Infantino dalam sambungan telepon yang turut diperdengarkan kepada Iwan Bule.
Gubernur Sumatera Utara yang juga mantan ketua umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia, Edy Rahmayadi melalui Sekretaris Umum PSMS Medan, Julius Raja menyampaikan ucapan selamat. Ia berharap Iwan Bule mampu memajukan sepak bola Indonesia.
Pengamat sepak bola Tommy Welly tak terlalu berharap banyak atas terpilihnya Iwan Bule sebagai ketum PSSI. Meski Iwan dinilai sebagai darah segar bagi sepak bola Indonesia, tapi gerbong di Komite Eksekutif adalah orang-orang lama. Ia menilai kecil diharapkan terjadi perubahan.
Kepada VIVANews yang mewawancarainya, Tommy menyampaikan apa saja yang menjadi keresahannya dan bagaimana prediksinya untuk kemajuan sepak bola Indonesia.
Apa saja prediksi Tommy dan mengapa ia tak banyak berharap dengan terpilihnya Iwan Bule? Simak wawancara VIVAnews dengan Tommy Welly di bawah ini:
Bagaimana penilaian Anda dengan susunan pengurus PSSI sekarang?
Ya ini jauh dari harapan publik sepakbola. Sebab, publik mengharapkan reformis tapi yang terjadi kompromis. Karena cuma pak Iwan Bule yang orang baru.
Tapi gerbongnya hampir didominasi oleh Komite Eksekutif (Exco) yang lama, atau teman-teman Exco lama. Dari situ harapan publik bola mengecil, padahal mereka berharap saat inilah terjadi perubahan.
Sebenarnya publik tak mau lagi melihat Exco lama yang reputasinya negatif di sepakbola atau nama-nama yang terindikasi bersinggungan dengan match fixing. Dari situ yang membuat Exco kurang mendapatkan respons.
Dengan banyaknya wajah lama PSSI di kepengurusan sekarang, seberapa besar peluang memberantas mafia bola diselesaikan?
Justru yang dianggap ‘mafia bola’ ada di dalam, dirangkul. Jadi jika pertanyaannya seberapa besar, itu tergantung pak Iwan Bule. Leadership-nya mampu enggak? Karena yang selama ini disorot publik bola, yang sudah menjadi rahasia umum sebagai 'mafia bola' itu ada di dalam.
Menurut Anda, hal paling krusial apa yang harus dilakukan oleh Iwan Bule untuk membenahi PSSI?
Yang namanya kerja federasi kurang lebih ada organisasi, ada kompetisi, ada timnas. Tapi, yang paling krusial adalah membenahi organisasi dulu. Karena organisasinya punya rapor merah dari publik terkait isu-isu yang kurang sedap.
Benahi organisasinya. Kembalikan lagi organisasi pada jalur yang seharusnya supaya sehat. Karena kalau organisasi yang sehat produknya atau output-nya akan bagus. Tapi, kalau organisasinya terus berkutat pada masalah-masalah itu saja, sulit. Logikanya, orang yang sehat baru bisa bersaing dan berkompetisi.
Iwan Bule menyebut pembinaan suporter masuk dalam salah satu programnya, akan dibuat divisi khusus. Menurut Anda seberapa kuat PSSI bisa menjalankannya?
Kalau atensi concern-nya bagus. Karena ada isu terkait kekerasan suporter. Tapi, strukturnya di mana? Kalau dijadikan sebagai komite tetap tidak lazim, karena tidak ada di statuta tentang suporter.
Itu juga kita tidak tahu bagaimana cara PSSI? Mau mengurangi persoalannya, atau hanya permukaannya saja. Kan sering kalau penanganan suporter diadakan jambore segala macam, tapi hasilnya tidak terlihat.
Terkait pembinaan suporter, apa perlu koordinasi dengan pemerintah daerah dan aparat kepolisian?
Suporter itu kan berafiliasi dengan klub. Dia terikat dengan klub, contoh Bobotoh (Persib Bandung), Jakmania (Persija Jakarta), Aremania (Arema FC). Jadi yang paling bertanggung jawab untuk edukasi moral suporter ya klubnya masing-masing. Kalau itu masih kurang, maka operator liga, kalau masih kurang ya baru PSSI.
Terkait dengan jadwal pertandingan yang sering ditunda karena tidak keluarnya izin kepolisian. Apa Anda optimistis kehadiran Iwan Bule bisa mengatasi hal itu?
Logikanya begitu harusnya. Tapi kenyataannya apa iya? Saya tidak melihat korelasi langsung. Karena secara teknis perizinan dari kepolisian daerah masing-masing.
Kalaupun faktor Iwan Bule sebagai jenderal pendekatannya bisa lebih baik, tapi, saya lihat belum tentu korelasi langsung. Yang sekarang di kabinet Exco kan lebih banyak dari TNI bukan dari kepolisian. Jadi itu indikatornya.
Sewaktu kampanye, Iwan Bule menjanjikan subsidi klub masing-masing Rp15 miliar. Apakah itu masuk akal?
Ya ditagih saja, karena ada jejak digitalnya. Tapi bagi saya itu hanya penyederhanaan masalah. Persoalan sepak bola kita bukan masalah besar kecilnya subsidi. Karena, kalau bicara subsidi klub, berapa pun yang diberikan bakal habis juga. Jadi persoalannya membangun kompetisi dan klub bukan hanya sekadar subsidi.
Kita bisa lihat, klub-klub selama ini mendapatkan subsidi tapi kita tidak tahu hasilnya apa. Apa ada terlihat di pembinaan, atau apakah mereka punya fasilitas pribadi. Coba kita perhatikan, setiap klub tak punya tempat latihan sendiri.
Mari kita lihat Real Madrid punya Ciudad, Barcelona punya Ciutat Esportiva Joan Gamper, AC Milan punya Milanello. Sedangkan tim di Indonesia berlatih di lapangan TNI, di lapangan kampus dan lainnya. Jadi, itu tadi yang saya bilang. Berapa pun subsidi yang diberikan akan habis juga. Yang terpenting adalah bagaimana klub mengatur itu.
Berkaca kepada kepemimpinan Edy Rahmayadi, di awal ketika masih aktif sebagai pangkostrad, para anggota PSSI patuh. Begitu pensiun mulai banyak perlawanan. Apakah ini bisa terulang?
Kalau terjadi atau tidak, kita belum tahu. Tapi, kejadian itu pantas menjadi pelajaran. Karena, kalau melihat figur, apa kurang seram pak Edy Rahmayadi? Dia dulu pangkostrad dan punya pasukan perang. Jadi saya pikir dalam sepak bola figur memang sangat penting. Tapi yang paling penting adalah harus 100 persen. Kalau tidak paham sepak bola, akan kalah pemahaman di Exco dan situasi itu bisa terulang.
Apakah memang seharusnya PSSI dipimpin orang yang keras dan tegas supaya para anggotanya tertib?
Bukan soal keras dan tegas. Karena kalau ketua umum PSSI itu sudah dari berbagai macam latar belakang. Mau dari militer, dari menteri, politikus, dari pengusaha, profesor, dan terakhir pangkostrad lewat-lewat juga.
Jadi figur memang penting, tapi dalam kepengurusan PSSI itu kolektif kolegial. Jangan pernah berpikir untuk membereskan sepak bola Indonesia karena satu figur.
Leadership-nya memang sangat dibutuhkan, tapi dia tidak bekerja sendiri. Minimal Exco harus kompak, kalau mau lurus ya lurus semua, jangan bengkok.
Sejauh ini, Anda melihat korelasi program asprov dengan pusat kuat atau tidak?
Korelasinya memang ada di dalam aktivitas sepakbola. Contohnya Liga 3, Piala Soeratin itu korelasi langsung. Tapi kalau kita bicara soal performa asprov masih rendah. Karena tak semua asprov punya aktivitas sepak bola yang baik. Jadi korelasinya masih sebatas politik organisasi.
Program Iwan Bule, digitalisasi data. Menurut Anda, apakah itu bakal terlaksana, dan apa tantangan terbesar untuk membangun itu?
Database memang penting, dan itu sudah beberapa tahun lalu dimunculkan tapi pelaksanaannya masih sulit. Karena PSSI tak cukup tangan jadi harus dibantu asprov untuk data-data di daerah.
Tapi, dulu sulit diwujudkan. Saya harap ini bukan sekadar program. Data ini sangat penting, saat ini kita mana tahu jumlah Sekolah Sepak Bola (SSB) di Indonesia? Ada berapa? Wasit ada berapa? Pemain profesional ada berapa? Kita tidak tahu kan? Jadi ini memang sangat penting, tapi isu ini juga bukan hal baru. Kita lihat saja apakah benar terlaksana.
Ada juga janjinya untuk memberantas match fixing, dengan statusnya aparat keamanan, apakah misi ini bakal terwujud menurut Anda?
Janjinya memberantas match fixing boleh saja, tinggal dibuktikan. Cuma, proses mekanisme di komite pemilihan terkait integrity check tidak berjalan dengan baik. Maksud saya gugatan publik bola terhadap proses pencalonan Exco sampai jadinya kemarin waktu pemilihan, catatannya ada di integritas.
Ada Exco yang secara integritas publik sudah tahu rapor merahnya. Beberapa Exco yang terpilih juga sudah jadi rahasia umum. Jadi jangankan memberantas mafia dari aspek proses itu saja masih ada kelemahannya.
Dan sekarang sudah sama-sama duduk bareng dengan mereka. Itu yang saya bilang tadi, keinginan publik reformis tapi yang terjadi kompromis. Jadi agak pesimis bisa memberantas mafia karena sekarang sudah duduk bareng dan bergandengan tangan.
Empat hari setelah dilantik, Iwan Bule langsung pecat Simon McMenemy, menurut Anda?
Ya itu kan tidak butuh ahli untuk mengambil keputusan. Kalau sudah empat kali kalah masa mau dibiarkan. Kan masalahnya adalah pada waktu Pelaksana Tugas (Plt) Ketum PSSI, Iwan Budianto tidak berani memutuskan karena ada kompensasi kontrak.
Kalau federasi tidak bisa memecat pelatih yang sudah kalah empat kali karena uang, berarti federasinya memang bobrok. Empat kali berturut-turut apa mau dibiarkan. Jadi memecat Simon tak butuh harus ahli, apa mau membiarkan mental pemain terus terpuruk?
Melihat kepengurusan sebelumnya tak pernah selesai, bagaimana menurut Anda karier Iwan Bule?
Ya harusnya selesai, karena kalau tidak ini akan jadi preseden buruk. 10 tahun konflik internal di organisasi PSSI cukup tajam. Bahkan kecenderungannya tidak tuntas sampai masa jabatan.
Jadi saya pikir persoalan organisasi paling menyita. Kalau organisasinya lepas dari penyakit bisa stabil kerja. Tapi kalau tidak membersihkan akan repot dan terjadi banyak persinggungan. Justru itu, kabinet Exco yang saat ini kurang mendapatkan tanggapan yang positif dari publik bola.
Setelah Simon dipecat ada nama Luis Milla dan Shin Tae-yong yang muncul ke permukaan, menurut Anda siapa yang cocok?
Mungkin prosesnya yang harus jelas. Karena kalau bicara mengganti pelatih siapa yang punya kewenangan, orang teknik siapa yang bisa memberikan masukan cukup baik? Supaya keputusannya tidak emosional dan penuh perhitungan untuk melihat proyeksi sepakbola ke depan dengan target yang terukur. Sekarang sebetulnya strukturnya belum terbentuk, jadi kalau muncul nama dari rapat Exco, apakah timnas hanya akan dikelola dari Exco atau badan timnas sendiri? (art)