Kewenangan Komisi Yudisial Hanya Beri Rekomendasi
- Dokumentasi Pribadi
VIVA – Komisi Yudisial atau KY merupakan "anak kandung" reformasi. Lembaga ini sengaja dibentuk, guna mengawal jalannya reformasi peradilan. Ini dilakukan, karena semasa Orde Baru, lembaga peradilan dinilai sarat dengan penyelewengan.Â
Namun, meski sudah berdiri sejak 2004 lalu, lembaga ini dianggap belum bisa bekerja secara maksimal. Sebab, KY tak memiliki otoritas dan wewenang untuk memberi sanksi bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran. Palu tetap ada di tangan Mahkamah Agung atau MA. Tak jarang, rekomendasi KY dianggap angin lalu oleh MA.Â
Meski demikian, KY mengklaim kinerjanya pada tahun ini mengalami peningkatan. Hal itu dibuktikan, dengan semakin banyaknya kasus yang ditangani, serta rekomendasi yang dikeluarkan lembaga ini.
Ketua KY, Jaja Ahmad Jayus mengatakan, secara kuantitas jumlah laporan yang masuk ke lembaganya mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Namun, secara kualitas kinerja KY mengalami peningkatan.
Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Pasundan (Unpas) ini menuturkan, sepanjang 2019 ini, ada 478 berkas yang diputuskan. Dari 478 berkas kasus yang disidangkan, 83 hakim terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Demikian petikan wawancara antara VIVAnews dengan pria kelahiran Kuningan, 6 April 1965 ini. Wawancara dilakukan di di Kantor Komisi Yudisial, Kamis 26 Desember 2019.
Apa saja yang sudah dilakukan KY di 2019?
Untuk masalah pencegahan, kita sudah melakukan beberapa kegiatan yang berkaitan dengan kode etik hakim. Dan, juga advokasi terhadap hakim yang harkat martabatnya diganggu oleh pihak-pihak yang tidak berkaitan atau yang berkaitan dengan masalah penanganan perkara.
Bagaimana dengan laporan?
Jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, jumlah laporan yang masuk ke kita tahun ini menurun.Â
Sepanjang 2019, berapa jumlah laporan yang masuk ke KY?
Terkait pengawasan hakim, KY menerima laporan dari masyarakat sepanjang tahun 2019 per tanggal 23 Desember, mencapai 2435 laporan. Itu terdiri dari laporan langsung masyarakat sebanyak 1544. Sementara, laporan yang melalui surat tembusan sebanyak 891.
Badan peradilan apa yang paling banyak dilaporkan?
Badan peradilan yang paling banyak dilaporkan adalah badan peradilan umum, itu hampir 50 persen, yaitu sebanyak 1156 laporan. Kemudian, laporan terkait dengan Mahkamah Agung itu sebanyak 115 laporan, Peradilan Agama sebanyak 89 laporan, Peradilan TUN (Tata Usaha Negara) sebanyak 77 laporan, Hubungan Industrial sebanyak 28 laporan, kemudian Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) ada 27 laporan, dan karena tahun ini kita juga ada pemilu, jadi Komisi Yudisial tahun ini juga menerima laporan masyarakat terkait dengan perkara-perkara pemilu. Kami menerima 36 laporan masyarakat, terkait dengan pemilu. Selebihnya badan peradilan lainnya.