Rudi Sukandar

FPI dan Resistensi Warga Dayak

Rudi Sukandar, Ph.D.
Sumber :
  • Facebook Rudi Sukandar

VIVAnews - “Siapa menebar angin akan menuai badai.” Mungkin pribahasa itu terlintas dalam pikiran kita ketika elemen masyarakat Dayak di Palangka Raya melakukan aksi penolakan terhadap kedatangan perwakilan pengurus pusat Front Pembela Islam (FPI) di Palangka Raya, 11 Februari lalu.

Kasus Film Porno Siskaeee Belum Juga Disidang, Ini Kata Polisi

Kejadian ini menjadi sorotan dan diskusi hangat karena penolakan tersebut dilakukan dengan cara terbuka dengan mengadopsi cara-cara yang sama seperti yang biasa dilakukan FPI terhadap mereka yang dianggap berlawanan dengan keyakinan ideologis organisasi ini.

Dalam pernyataannya, FPI mengklaim bahwa penolakan tersebut dilakukan oleh preman bayaran dan didorong oleh elit politik daerah yang takut praktek korupsi mereka dibongkar oleh FPI (Vivanews, 13 Februari 2012). Namun demikian, setidaknya ada beberapa alasan yang membuat aksi resistensi terhadap keberadaan FPI di provinsi itu muncul dan menjadi preseden bagi masyarakat di daerah lain.

Penemuan Kerangka Manusia Pakai Sarung dan Peci Bikin Geger Pendaki Gunung Slamet

Pertama, penolakan kedatangan perwakilan FPI oleh elemen masyarakat Dayak Kalteng sebenarnya dapat dilihat sebagai salah satu bentuk mekanisme bela diri (self defense mechanism). Reputasi FPI dianggap tidak kondusif untuk kehidupan sosial di daerah itu karena konsistensi mereka dalam menggunakan kekerasan untuk memperjuangkan aspirasi mereka seperti yang ditunjukkan oleh media.

Keberadaan FPI juga dianggap sebagai virus radikalisme yang berpotensi mengancam keharmonisan sosial masyarakat yang pernah terkoyak akibat konflik etnis tahun 2001. Dapat dipahami apabila masyarakat Kalteng menganggap bahwa keberadaaan FPI di wilayahnya dapat menyulut konflik baru padahal trauma masyarakat Kalteng atas konflik dan kekerasan yang pernah terjadi di daerah itu masih dirasakan sampai sekarang.

Wanita Open BO di Dermaga Pulau Pari Dilaporkan Hilang Sebelum Ditemukan Tewas

Penyelesaian konflik dan kekerasan yang melelahkan dan memakan waktu lama juga menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat untuk tidak lagi mengalami kejadian serupa. Masyarakat daerah lain dengan trauma yang sama dapat melihat apa yang dilakukan elemen masyarakat Dayak Kalteng sebagai sebuah simbol untuk menangkal masuk anasir-anasir yang dapat memicu konflik horisontal dan vertikal.

Kedua, sebenarnya penolakan masyarakat Kalimantan Tengah terhadap kedatangan perwakilan organisasi yang dianggap radikal bukan merupakan hal yang pertama kali terjadi. Saat konflik kekerasan di Provinsi Kalimantan Tengah sedang panas-panasnya, perwakilan dari sebuah organisasi massa (ormas) juga ditolak ketika mereka akan turun dari kapal yang membawa mereka ke Sampit tahun 2001.

Tindakan ini merupakan salah satu respons masyarakat untuk mencegah konflik yang sedang terjadi saat itu dibawa ke ranah agama yang dikhawatirkan akan menyebabkan meluasnya konflik di provinsi itu. Keberanian dan kekompakan masyarakat untuk mengatakan tidak pada ormas yang cenderung anarkis akan mengirimkan pesan yang jelas kepada ormas sejenis bahwa keberadaan mereka tidak diinginkan. Dalam hal ini, resistensi elemen masyarakat Kalteng terhadap ormas penebar ketakutan yang sering melakukan intimidasi dapat menjadi simbol perlawanan bagi masyarakat di daerah lain untuk melakukan tindakan serupa.

Faktor lain yang menjadi alasan penolakan masyarakat terhadap FPI adalah kondisi sosial budaya masyarakat Dayak yang majemuk. Banyak sekali keluarga Dayak yang anggota keluarganya  memeluk keyakinan yang berbeda. Klaim atas kebenaran dan nilai moral suatu agama atau keyakinan merupakan hak pribadi dan secara tradisional tidak dipaksakan kepada anggota keluarga atau masyarakat lain.

Penegakan klaim kebenaran dengan cara kekerasan seperti yang dipertontonkan FPI di media massa merupakan ancaman bagi keharmonisan hubungan antar umat beragama di provinsi ini. Tidak mengherankan kalau penolakan terhadap FPI ini juga didukung oleh sikap para pemimpin umat beragama di Kalteng (NU Online, 14 Februari 2012).

Resistensi kuat elemen masyarakat Dayak terhadap FPI merupakan cerminan betapa masyarakat tidak mentolerir sikap FPI yang memaksakan klaim tunggal mereka atas kebenaran dan nilai-nilai moralitas. Cara penegakan ideologi FPI hanya akan menyumbang kepada terciptanya kerapuhan sosial dimana elemen-elemen masyarakat yang berbeda akan saling berhadap-hadapan meskipun sebelumnya mereka merupakan sebuah sistem sosial yang harmonis. Kearifan masyarakat untuk melakukan introspeksi diri akan kondisi sosial mereka dan bahaya memaksakan suatu ideologi dominasi dalam ruang publik dapat melemahkan kelekatan sosial (social cohesion) yang merupakan modal besar bagi masyarakat untuk menciptakan dan menjaga kedamaian dan perdamaian di daerahnya.

Faktor yang tidak kalah penting dalam melihat munculnya aksi resistensi terhadap ormas anarkis adalah permasalahan besar yang dihadapi pemerintah dan masyarakat Propinsi Kalimantan Tengah, di antaranya berkaitan dengan masalah kepemilikan dan pemanfaatan lahan, penguasaan sumber daya ekonomi, politik/pilkada.

Tanpa kehadiran FPI pun potensi konflik di Propinsi Kalimantan Tengah sudah sangat besar. Oleh karena itu, keberadaan FPI di propinsi itu dikhawatirkan hanya akan memicu munculnya persoalan baru. Masyarakat daerah lain yang sadar bahwa daerahnya juga menyimpan potensi konflik besar serupa dapat mengambil contoh dari langkah yang dilakukan elemen masyarakat Dayak Kalteng untuk tidak menambah potensi masalah yang dapat memicu adanya konflik baru atau mengobarkan kembali konflik lama yang telah diselesaikan.

Namun demikian, aksi penolakan yang dilakukan elemen masyarakat Dayak terhadap FPI di Bandara Tjilik Riwut Palangka Raya menyisakan satu hal yang mengundang keprihatinan besar, yaitu penggunaan kekerasan dalam menyikapi perbedaan.

Tindakan elemen masyarakat Dayak Kalteng yang mengadopsi model kekerasan seperti cara FPI dalam menyatakan pendapat merupakan suatu gejala yang sangat mengkhawatirkan dan banyak dipraktekkan oleh para anggota masyarakat di berbagai tempat di Indonesia.

Oleh karena itu, peran aktif negara dalam melindungi hak-hak warga negara untuk berpendapat dan peran aktif elemen  civil society untuk mendorong proses demokrasi menjadi sangat krusial agar masyarakat dapat menjadi lebih arif dan santun dalam menyikapi perbedaan.

Rudi Sukandar adalah doktor ilmu komunikasi dan Associate Researcher di Maarif Institute Jakarta.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya