- Antara/ Arief Priyono
VIVAnews - Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada menilai partisipasi kalangan pria dalam program keluarga berencana (KB) hingga saat ini masih sangat rendah. Penyebabnya, kaum pria sangat minim dalam memperoleh informasi, pelayanan KB, dan kesehatan reproduksi.
“Hal ini tentunya menjadi tidak sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan peran serta pria dan kesetaraan gender dalam konteks keluarga berencana, karena tidak secara serius menjadikan pria sebagai target sasaran program KB,” kata Peneliti PSKK UGM, Issac Tri Oktaviatie, di Yogyakarta, Jumat, 24 Februari 2012.
Issac mengatakan, kurangnya promosi atau sosialiasi tentang KB pria karena kebijakan di Indonesia masih berfokus pada pencapaian target peserta KB perempuan. Selain itu, pemerintah masih saja berharap para istri akan mengomunikasikan dan menegosiasikan pemakaian alat kontrasepsi kepada suaminya.
Meskipun telah ada ratifikasi terhadap kebijakan program KB dengan mendorong peningkatan alat kontrasepsi pria dan tidak menitikberatkan isu kesehatan reproduksi hanya pada pemerintah, upaya untuk meningkatkan jumlah peserta KB pria masih cukup berat.
Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007 menunjukkan partisipasi pria untuk mengikuti KB masih rendah. Persentase tertinggi pemakaian kondom hanya mencapai 1,3 persen, sedangkan vasektomi belum pernah mencapai 1 persen sejak 1991.
“Hal ini menjadi sebuah tantangan bagi pemerintah dalam mengendalikan laju pertambahan penduduk,” tukasnya.
Aspek sosial budaya masyarakat Indonesia, dia melanjutkan, juga menjadi faktor penyebab rendahnya kesadaran pria untuk berperan menyukseskan program KB.
Hasil penelitian di Kabupaten Gunung Kidul menemukan fakta bahwa masyarakat masih mempersepsikan KB merupakan tanggung jawab perempuan. Selain itu, pemakaian alat kontrasepsi kondom mengurangi kenyamanan saat melakukan hubungan seksual dengan pasangan dibanding jenis-jenis alat kontrasepsi perempuan yang ada.
Sementara itu, untuk metode vasektomi, masih dipersepsikan sebagai bentuk pengkebirian dan akan mengurangi kekuatan pria. Pandangan yang keliru tentang vasektomi ini telah melahirkan stigma terhadap akseptor yang dianggap oleh masyarakat sekitar sebagai pria takut isteri.
Kekhawatiran juga muncul dari perempuan yang beranggapan dengan vasektomi justru akan meningkatkan peluang suami untuk tidak setia pada pasangan karena tidak meninggalkan jejak.
Di samping itu, menurut Issac, penting untuk segera dilakukan advokasi anggaran daerah yang diupayakan lebih berpihak pada pemenuhan kebutuhan kesehatan reproduksi perempuan mencakup KB pria. (art)