3 Faktor Utama Pemicu Perang Amerika-China Meletus di Pasifik

VIVA Militer: Kapal induk Angkatan Laut Amerika Serikat di Laut China Selatan
Sumber :
  • CNN Philippines

VIVA – Sebuah fakta diungkap oleh lembaga Inisiatif Penyelidikan Situasi Strategis Laut China Selatan (SCSPI), yang berbasis di China. Dalam sejumlah data yang dirangkum, terkuak bukti-bukti aksi ilegal militer Amerika Serikat (AS) yang kerap menerobos wilayah China.

Di Tengah Konflik Perang, Tiongkok Dukung Upaya Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Dalam berita VIVA Militer sebelumnya, SCSPI membeberkan data yang membuktikan bahwa militer Amerika sudah melakukan pengintaian terhadap aktivitas Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) lebih dari 10 tahun. Tercatat, militer Amerika sudah ribuan kali melakukan aksi mata-mata lewat udara dengan mengerahkan pesawat-pesawat intai.

Tak hanya itu, dalam kurun waktu tiga bulan terakhir aksi pengintaian militer Amerika semakin menigkat. Menurut laporan Global Times yang dikutip VIVA Militer, militer Amerika sudah melakukan 151 kali aksi mata-mata lewat udara, terhitung sejak Mei 2020.

Honda Kenalkan 3 Mobil Listrik Terbarunya Ye Series, Siap Jegal BYD

Ternyata, SCSPI juga mengungkap data pada Juli 2020 lalu pesawat intai militer Amerika menerobos wilayah China. Pengintaian ini bahkan dilakukan saat Tentara Pembebasan Rakyat China tengah menggelar latihan tempur mulai 1-5 Juli 2020.

VIVA Militer: Armada tempur Amerika Serikat (AS) di Laut China Selatan

Situasi di Timur Tengah Memanas, RI dan China Kompak Dukung Palestina Jadi Anggota PBB

SCSPI menyebut, pesawat intai Amerika itu memasuki wilayah China secara ilegal dengan jarak hanya 40 mil, atau 64,4 kilometer dari pangkalan militer Amerika. Jarak ini adalah yang terdekat dalam operasi pengintaian militer Amerika di wilayah China.

Sejumlah aksi Amerika ini jelas mengkhawatirkan. Dalam kacamata Hu Bo, Direktur SCSPI, operasi mata-mata militer Amerika ini semakin meningkatkan risko gesekan yang bisa berujung konflik horizontal alias perang. Menurut Hu, ada tiga risiko yang bisa menjadi pemicu perang antara Amerika dan China.

Yang pertama, Hu menyebut kapal-kapal perang sering masuk tanpa izin ke perairan China dalam jarak 12 mil (19,3 kilometer) dari Kepulauan Nansha, atau lebih dikenal sebagai Kepulauan Spratly.  Armada tempur laut Amerika menganggap bahwa Kepulauan Spratly tidak termasuk wilayah China. 

Dengan keyakinan itu, militer Amerika merasa jika aksinya tidak melanggar hukum internasional. Hingga saat ini, wilayah Kepulauan Spratly disengketakan oleh China dengan lima negara lainnya yakni, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Taiwan.

VIVA Militer: Armada tempur Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat China

Poin kedua juga masih dari risiko pengintaian militer Amerika yang terlalu dekat. Hu sedikit berkaca, saat pesawat intai Angkatan Laut Amerika (US Navy) EP-3E ARIES II bertabrakan dengan jet tempur Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat China (PLAAF) J-8II. Jika sampai peristiwa serupa terjadi, bukan tak mungkin perang antar kedua negara bakal meletus.

Yang ketiga, dengan meningkatkatnya ketegangan baik militer China maupun Amerika sama-sama akan sering menggelar latihan tempur. Pengintaian dan pemantauan tentu akan jadi materi wajib yang masuk dalam timeline latihan tempur. Akan tetapi jika tidak saling menjaga jarak maka gesekan pun tidak akan terhindarkan.

Kembali berkaca pada sebuah insiden yang terjadi pada 2013, saat armada tempur Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat China (PLAN) yang diperkuat kapal induk Liaoning, melangsungkan latihan di Laut China Selatan. 

Secara tiba-tiba, kapal penjelajah Angkatan Laut Amerika, USS Copwens, melakukan manuver berbahaya dan memotong jalur armada laut China. Tak ada jalan lain, kapal-kapal perang China memaksa USS Copwens untuk berhenti dengan ancaman dengan hanya berjarak 50 meter.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya