Dia, Sosok Tanpa Nama Meninggal di Depanku

Hantu wanita.
Sumber :
  • Koreaboo

VIVA.co.id – Ini ke tujuh kalinya aku harus mengalami pindah rumah. Maklum saja, orangtuaku saat itu belum memiliki cukup uang  untuk memiliki rumah tinggal yang tetap. Setiap tahun aku dan keluarga harus bergeser mencari rumah kontrakan baru untuk tempat kami berteduh. Ya, beginilah ibukota, setiap tahunnya harga tanah sekalipun harga kontrakan mengalami peningkatan yang tidak relevan bahkan tidak masuk di akal.

Musyawarah Besar Himpunan Mahasiswa Sastra Inggris UMI

Adalah kali terakhir aku berganti rumah, bukan kontrakan kali ini, puji syukur rumah tinggal tetap yang sudah aku miliki. Rumah tinggal orangtuaku ini memiliki luas sekitar 90 meter persegi. Sebuah rumah sederhana di balik pilar-pilar megah ibukota, menjadi istanaku satu-satunya yang melindungi aku dan keluarga dari sengat matahari dan tamparan air hujan. Namun, ada satu sosok yang ternyata ikut berteduh di dalam rumah ini.

Semenjak kecil aku memang memiliki kekurangan khusus. Kekuranganku terkadang dapat melihat bahkan berkomunikasi dengan makhluk yang tidak dapat dilihat dengan mata pada umumnya. Kenapa aku anggap ini sebagai kekurangan? Karena setiap aktivitas ini berjalan, imbas yang amat sangat sakit datang bertubi-tubi menyerang tubuh. Terkadang pusing, meriang, mual, bahkan tenaga seperti terkuras habis. Apapun itu aku selalu percaya, ada sedikit pelajaran hidup yang dapat diamalkan pada akhirnya.

Wahai Orang yang Tidak Berpuasa, Hormatilah Bulan Ramadan

Mengenai “sosok tanpa nama” yang berteduh di rumahku, awalnya aku tidak sengaja berpapasan dengannya setiap malam, tepatnya di pertengahan tangga menuju kamarku di lantai dua. Rumahku memiliki pondasi dua lantai, dan persis di atas atap kamarku “sosok tanpa nama” ini sering menyendiri. Walaupun tidak setiap saat aku bisa melihatnya, tapi perkenalan singkat ini cukup memberikan pengalaman spiritual yang serius dalam waktu sementara ini. Meskipun sebenarnya “sosok tanpa nama” itu tidak ingin aku ceritakan pengalaman hidupnya kepada siapapun.

Sampai detik saat aku menulis tulisan ini pun, aku merasakan “sosok tanpa nama” hadir di sekitarku. Aku tahu dia memperhatikan apa yang sedang kutulis, karena setiap kali dia hadir, ada gesekan dari setengah badanku di bagian kanan yang rasanya seperti akan tertarik keluar.

Jadi Dewa Mabuk Sehari

Dia adalah wanita, perawakannya tinggi besar melebihi batas normal tinggi manusia, namun mengenakan pakaian yang terlihat seperti gaun, tidak memiliki warna, melainkan seperti plastik bening transparan. Gaun yang dikenakan tidak berwarna putih pekat seperti yang digambarkan orang-orang pada umumnya.

Sebenarnya aku sulit menanyakan namanya, jujur aku pun masih memiliki perasaan takut kalau-kalau tidak sengaja berpapasan dengannya. Wajah yang cantik dengan kedua kelopak mata yang besar dan memiliki garis kehitaman di bagian bawah matanya. Terlihat seperti orang yang tidak pernah tertidur, namun begitulah gambaran sesungguhnya. Bentuk bibirnya pun, maaf, katakan saja bentuknya seperti sumbing ke kanan serta pucat pasi. Tapi jangan pernah berpikir untuk mencibirnya, karena dia masih memiliki perasaan dan hasrat untuk marah kepada siapapun orang yang mencibirnya, termasuk aku sendiri.

Malam itu, aku ingin segera tidur. Di antara perasaan ingin tertidur, namun tidak dapat memejamkan mata, dia datang masuk ke dalam kamarku untuk menceritakan suatu pengalaman kelam yang terjadi pada kehidupannya di masa lampau. Caranya bercerita pun berbeda dengan cara manusia berkomunikasi. Dalam hitungan detik, aku yang masih belum bisa memejamkan mata, sudah berada di masa lampau, seperti ingin menunjukan gambaran masa silam dari kehidupannya terdahulu.

Aku menyebut hal semacam ini dengan sebutan astral projection, yaitu jiwa kita melakukan perjalanan ke alam lain, namun tidak disertai fisik kita. Seperti flashback ke tahun-tahun sebelumnya, bahkan kita belum terlahir pada tahun saat itu. Rasanya seperti terpental, terhentak, terlempar ke dalam ruangan kecil, ruangan tua yang aku yakin sebagai tempat tinggal “sosok tanpa nama” yang sedang menceritakan kisahnya kepadaku.

Seperti menonton film rasanya, namun menonton secara langsung di lokasi tempat film itu dibuat. Seperti itulah kira-kira gambaran yang dapat aku sampaikan. Di sampingku berdiri persis “sosok tanpa nama” sambil menangis, bersamaku menyaksikan kisah kelam hidupnya. Aku dan “sosok tanpa nama” sama-sama menyaksikan kembali kejadian yang sangat pilu, kejadian di mana detik-detik “sosok tanpa nama” ini akan meregang nyawa.

Mungkin bingung untuk dapat membayangkan kejadian yang aku alami, tapi sungguh saat itu aku melihat dua “sosok tanpa nama” yang sama, dalam satu ruang waktu, dan tempat yang sama pula. Perbedaannya adalah, sosok yang bersamaku sudah bukan lagi manusia, dan yang sedang aku saksikan adalah sosok lain dari dirinya yang sama saat akan meregang nyawa.

Dari balik kusen hijau tua yang terbingkai dengan renda-renda, aku dan “sosok tanpa nama” menyaksikan ketika dirinya diperkosa dan mendapat perlakuan kasar oleh tiga orang laki-laki yang benar-benar keji memperlakukan dirinya.

Di atas tempat tidur tua yang terbuat dari susunan balok-balok kayu, di sanalah “sosok tanpa nama” akhirnya meninggal dunia karena perbuatan keji tiga orang laki-laki yang memperkosa kemudian membunuhnya, yang aku sendiri tidak tahu sampai saat ini identitas ketiga laki-laki tersebut serta niat sesungguhnya kepada “sosok tanpa nama”. “Sosok tanpa nama” pun tidak bersedia menceritakan lebih jauh lagi tentang kejadian yang menimpa dirinya saat itu.

Di akhir pertemuan, “sosok tanpa nama” hanya berpesan kepadaku bahwa dia sangat membenci laki-laki yang suka bermain-main dengan perempuan. Dia juga mengingatkanku supaya jangan pernah menyakiti hati perempuan atau sekalipun bermain-main dengan hati perempuan.

Merasa ceritanya sudah selesai diungkap, saat itu pula dalam hitungan detik aku kembali berada di dalam kamarku dengan posisi terduduk dan kondisi tubuh yang sangat lemas. Aku menyaksikan sisa-sisa kain dari gaun “sosok tanpa nama” perlahan-lahan keluar dari kamarku dan kemudian menghilang pergi tanpa berpamitan.

Cerita ini bukan cerita fiksi dan baru bisa diselesaikan pada tanggal 24 Maret 2016. Adapun cerita ini boleh dibuat atas izin langsung dari “sosok tanpa nama”. Alih-alih dia memberi izin untuk diceritakan kembali sebagai kado ulang tahunku yang ke 24 pada tanggal 25 Maret 2016. (Cerita ini dikirim oleh Michael Rizky Syailendra, mahasiswa Universitas Nasional, Jakarta)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya